Sertifikasi Guru dan Keterbukaan Informasi
Di negeri ini, niat baik saja tidak cukup untuk melahirkan suatu kemaslahatan. Tanpa dibarengi dengan tindakan yang hati-hati dan penuh perhitungan, niat baik itu bisa berujung pada kesia-siaan atau ketidakadilan bagi banyak orang.
Demikian halnya dengan Program Sertifikasi Guru yang dicanangkan pemerintah. Merujuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005, tujuan program ini sungguh mulia, yaitu meningkatkan kesejahteraan para guru pendidik guna meningkatkan kualitas pendidikan.
Guru akan mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok dengan syarat lolos Program Sertifikasi Guru, yang didasarkan pada kualifikasi akademik, kompetensi, kesehatan jasmani dan rohani, serta kemampuan mewujudkan tujuan- tujuan pendidikan.
Dana publik
Namun, persoalan menjadi kompleks ketika Program Sertifikasi Guru dilakukan dalam skala nasional, harus menjangkau 2,3 juta tenaga guru dan menggunakan dana publik yang sangat besar. Kompleksitas itu harus sedemikian rupa direduksi dan disistematisasi sehingga terjadi transformasi dari Program Ser- tifikasi Guru menjadi Proyek Sertifikasi Guru. Ketika sudah menjadi proyek, maka akan ada pemilihan lembaga pelaksana proyek, penyaluran dana publik ke lembaga tertentu, pemberlakuan sistem kuota guna menyeleksi kelompok guru prioritas, dan seterusnya.
Lalu bagaimana mengukur kompetensi dan akuntabilitas pelaksana proyek? Bagaimana menjamin fairness penunjukan pelaksana proyek? Bagaimana memastikan sertifikasi guru tidak mubazir dan tepat sasaran? Bagaimana memenuhi rasa keadilan 2,3 juta guru?
Dalam konteks inilah, proyek sertifikasi guru mutlak berlangsung di atas fondasi transparansi dan keterbukaan informasi. Bahkan sejak proses penunjukan pelaksana proyek dan penentuan mekanisme serta kriteria sertifikasi, proyek ini harus kondusif bagi publik untuk tahu. Dibutuhkan mekanisme yang mendukung akses 2,3 juta guru terhadap berbagai informasi tentang seluk-beluk pelaksanaan sertifikasi.
Urgensi transparansi dan keterbukaan informasi dalam konteks sertifikasi guru setidaknya bisa dijelaskan dari dua aspek. Pertama, sertifikasi guru melibatkan dana publik yang sangat besar. Pemerintah telah menentukan biaya sertifikasi untuk seorang guru Rp 1,5 juta. Dengan demikian, total biaya untuk sertifikasi 2,3 juta guru adalah Rp 3,45 triliun. Meskipun alokasinya secara bertahap, pengelolaan dana publik sebesar ini jelas sangat rumit dan problematis. Transparansi dan mekanisme akses informasi dibutuhkan untuk mengeliminasi potensi konflik kepentingan, kolusi, dan nepotisme dalam alokasi dana publik yang besarannya pasti mengundang ketertarikan banyak pihak itu.
Hasil kajian ICW menunjukkan, sejauh ini mekanisme penentuan instansi pelaksana proyek sertifikasi kurang transparan dan cenderung tertutup. ICW mengkhawatirkan ketertutupan ini membuka peluang kolusi antara perguruan tinggi dan Departemen Pendidikan Nasional dalam proses penentuan penyelenggara sertifikasi. Ketertutupan itu juga mengondisikan terjadinya tender suap oleh pejabat terkait dengan memberikan peluang lebih besar kepada perguruan tinggi yang mampu menyediakan sejumlah dana untuk memenangi tender proyek sertifikasi.
Transparansi mutlak
Kedua, transparansi sertifikasi guru mutlak dibutuhkan karena menyangkut nasib dan kehidupan begitu banyak pihak, 2,3 juta guru beserta keluarganya. Bagaimana menjamin keadilan 2,3 juta guru itu, sementara proses ser- tifikasi tidak berlangsung serentak dan menggunakan sistem kuota? Kuota sertifikasi guru untuk setiap provinsi per tahun jumlahnya terbatas, sedangkan hampir semua guru ingin mengikuti program sertifikasi. Kriteria dan mekanisme penentuan guru yang masuk daftar tunggu sertifikasi sepenuhnya ada di tangan dinas pendidikan.
Keterbukaan informasi dibutuhkan, misalnya, untuk mengeliminasi praktik jual beli daftar tunggu oleh pihak yang berwenang dalam menentukan kuota sertifikasi. Keterbukaan informasi diperlukan untuk menghindari kolusi antara guru dan kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan untuk mendapatkan daftar tunggu sertifikasi.
Tanpa kehati-hatian, proyek sertifikasi guru hanya efektif untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok guru, tetapi tidak benar-benar efektif meningkatkan kualitas pendidikan.
Lebih buruk lagi, proyek yang mulia itu alih-alih melahirkan kemaslahatan buat komunitas guru, justru menjadi ajang korupsi dan penyelewengan baru. Satu hal yang selalu terjadi manakala suatu proyek dilaksanakan dalam proses yang tertutup, penuh kerahasiaan, dan tanpa mempertimbangkan partisipasi publik.
Dalam konteks ini, keterbukaan informasi dibutuhkan, bukan sebagai obat mujarab untuk mengatasi korupsi, melainkan sebagai safeguard agar sertifikasi guru tidak berhenti sebagai proyek penghambur-hamburan triliunan rupiah dana publik, dengan efektivitas pencapaian tujuan yang buruk.
Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET
Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 September 2007