Serikat Pekerja Lapor KPK; Dugaan Korupsi Pembelian Merpati MA-60

Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu kemarin melaporkan dugaan mark up harga dalam
pengadaan pesawat Merpati MA-60 kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Merpati MA-60 didatangkan dari China dan tidak memiliki lisensi internasional (FAA). Pesawat jenis itu hanya berlisensi lokal. Sabtu (7/5) lalu, salah satu Merpati MA-60 jatuh di perairan Kaimana, Papua Barat, menewaskan seluruh 27 penumpangnya.

Juru bicara Federasi Serikat Pekerja, Tri Sasono, mengatakan, kualitas pesawat yang buruk disebabkan oleh praktik korupsi dengan cara penggelembungan harga. Menurutnya, ada unsur memperkaya diri dan orang lain dalam pengadaan pesawat tersebut.

”Kami meminta KPK menyelidiki dugaan kerugian negara senilai 46 juta dolar dalam pengadaan pesawat buatan China itu,” kata Tri di Gedung KPK, Kamis (12/5).
Dia berpendapat, semestinya pengadaan 15 unit pesawat MA-60 dari Xian Aircraft Industry hanya menelan biaya 174 juta dolar, bukan 220 juta dolar AS. Selisih harga itu, menurutnya, membuat pemilik PT Bukit Pelangi Golf, Mulyadi Senjaya, sebagai broker menjadi kaya-raya.

“Pengadaan tidak memerlukan broker. Apalagi sistem pengucuran pinjaman dijamin oleh Pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Dia juga menuding ada oknum di Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan direksi Merpati yang mesti bertanggung jawab atas mark up pembelian tersebut. 
“Juga ada oknum Komisi IX yang memuluskan dikeluarkannya subsidiary loan agreement atau SLA sebesar 220 juta dolar,” tudingnya.

Kepala Biro Humas KPK Johan Budi SP mengatakan, pihaknya akan menelaah laporan yang diserahkan oleh federasi pekerja. ”Laporan tersebut akan kami telaah,” ujarnya.

Sementara itu, DPR masih menelusuri sejumlah kejanggalan dalam proses pengadaan pesawat tersebut, di antaranya adanya uang fee dalam proses pembelian.

”Salah satu yang menjadi perhatian kami, setelah disetujui DPR total nilai kontraknya adalah Rp 2,138 triliun, tetapi yang masuk ke account Merpati hanya Rp 2,108 triliun. Yang Rp 30 miliar ke mana? Data ini ada di APBN Perubahan 2010 yang diterima Komisi XI,” ujar anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta dalam diskusi di Gedung DPR, kemarin.
Anggota DPR dari Fraksi PDIP ini juga mempertanyakan adanya panambahan bunga pinjaman untuk pembelian pesawat. Dalam proses pembelian ini, pemerintah meminjam kepada bank ekspor impor China dengan bunga sebesar 2,5 persen. Namun setelah diteruskan ke Merpati, bunganya dinaikkan menjadi 3 persen.

”Artinya, ada beban bunga tambahan yang harus ditanggung Merpati sebesar 0,5 persen,” tambahnya.
Mantan anggota Komisi V DPR, Avin Lie menyatakan, pengadaan 15 pesawat MA-60 dari China itu semula tidak ada kaitannya dengan rencana investasi China untuk proyek listrik 10 ribu megawatt di Indonesia. Sebab, kedua proyek itu memang berbeda.

”Tapi pada akhirnya menjadi saling mengkait karena sama-sama masalah negara dengan negara,” katanya.
Menurut Alvin, pengadaan pesawat MA-60 dari China itu semula adalah urusan bisnis Merpati dan Xian. Namun karena Merpati kesulitan keuangan, sebagai BUMN kemudian minta bantuan pemerintah. Pada saat itu pemerintah juga sudah ada persetujuan soal proyek listrik 10 ribu MW tersebut.

”Maka, yang bicara kemudian G to G dan China tentu melindungi usaha dalam negerinya, dalam hal ini industri pesawat mereka. China bicara akan menghentikan proyek listrik 10 ribu MW kalau pembelian pesawat itu gagal,” tandasnya. (J22,K32,J13-43)
Sumber: Suara Merdeka, 13 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan