Serikat Guru Tolak Diskriminasi

Sejumlah guru yang tergabung dalam Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Kamis (30/7/2011), menyambangi Komisi X DPR RI di Kompleks Gedung DPR RI Senayan, Jakarta. Para guru ini meminta DPR mendesak pemerintah menghentikan diskriminasi terhadap organisasi guru. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti mengatakan, selama ini organisasi guru yang ada telah menjadi obyek politisasi penguasa.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), yang selama lebih dari 30 tahun menjadi organisasi tunggal guru, menjadi basis politik partai penguasa di masa Orde Baru. Bahkan, setelah UU Guru dan Dosen terbit, sehingga memungkinkan pembentukan organisasi guru independen pun, hegemoni PGRI masih sangat terasa. "Kami menyebut telah terjadi PGRI-nisasi, yakni ketika para guru yang memilih berorganisasi di luar PGRI mengalami diskriminasi," tukas Retno dalam audiensi FSGI dengan pimpinan dan anggota Komisi X DPR RI. Diskriminasi itu muncul dalam berbagai bentuk.

Salah satu yang paling banyak terjadi, intimidasi ketika guru memutuskan pindah induk organisasi. Selain itu, PGRI juga menerima fasilitas dan dana dari APBN/APBD sementara organisasi lain tidak menerima perlakuan serupa. "PGRI dianakemaskan pemerintah, diantara sekian banyak organisasi guru yang ada," kata Retno. Ketua PGRI Medan, misalnya, mendapatkan mobil dinas dari pemerintah daerah. Di sejumlah daerah, pemerintah juga membangun kantor untuk PGRI.

Dari penelusuran FSGI, sejumlah pejabat Dinas Pendidikan berafiliasi dengan petinggi PGRI. Anggota Komisi X Reni Marlinawati mengatakan, sebagai organisasi yang baru berdiri, FSGI diminta menguatakan barisan dengan berserikat dengan lebih banyak guru di daerah-daerah. Semakin banyak anggota, FSGI akan lebih kuat dalam membuat jaringan. Reni juga meminta FSGI melengkapi data bentuk-bentuk diskriminasi yang diterima guru. "Dalam lampiran memang sudah ada, tapi hanya disampaikan kasus perkasus. Kami minta disertakan lengkap untuk seluruh Indonesia, agar kita bisa berdiskusi lebih lanjut dengan Menteri Pendidikan Nasional," kata Reni. Reni mengakui masalah yang dihadapi guru di sekolah sangat kompleks. Padahal, kata dia, seharusnya guru sudah harus lepas dari segala masalah agar dapat fokus mendidik siswa. Menanggapi permintaan anggota dewan, Retno yang ditemui usai audiensi menyampaikan kekecewaannya. Dia menilai Komisi X tidak paham akar masalah yang disampaikan para guru. "Kita memang tidak berharap banyak pada anggota dewan. Ini hanya salah satu jalan," tukasnya.

FSGI dibentuk untuk menampung aspirasi para guru yang merasa tidak terakomodasi di organisasi guru yang telah ada. Bagi Retno, keputusannya mendirikan FSGI bersama sejumlah aktivis pendidikan berawal dari kekecewaannya terhadap organisasi guru yang telah ada. Sebelum membentuk FSGI pada Januari 2011, Retno telah bergabung dengan PGRI, namun kemudian keluar karena PGRI tak mau membela dirinya saat terlibat kasus dengan Akbar Tanjung. Guru SMA 13 Jakarta Utara itu kemudian bergabung dengan Federasi Guru Indonesia (FGI) dan keluar pada 2010, ketika FGI menolak memberikan dukungan untuk menentang SK Gubernur Jakarta yang mendiskriminasi tunjangan sertifikasi guru. "Saya ingin membantuk organisasi yang membuat guru memiliki ideologi," kata Retno. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan