Serangan Balik Para Koruptor
Dari sekian banyak negara di Asia yang terkena krisis pada tahun 1997/1998 Indonesia adalah satu-satunya negara yang belum mengalami recovery. Bahkan kondisinya tetap tidak bisa diatasi. Salah satu penyebabnya adalah korupsi yang sudah mencakup semua bidang. Kalau kita lihat bagaimana Korea Selatan dan Malaysia, mereka sanggup keluar dari krisis karena korupsi dapat dibasmi oleh pemerintahnya.
Korupsi telah membuat bangsa kita mengalami keterpurukan di segala bidang. Presiden Bank Dunia mengatakan bahwa korupsi merusak perekonomian lokal dan memberikan dampak berupa demoralisasi pada masyarakat. Dalam kondisi yang paling buruk korupsi bahkan bisa membuat pemerintah menjadi penjarah serta pemicu pecahnya perang saudara dan kekacauan sosial. Hal ini telah dialami bangsa kita dan kalau kita tidak serius disikapi persoalan korupsi maka bangsa kita yang besar ini akan terancam bubar.
Berdasarkan pada Corruption Perception Index (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional, Indonesia masih di posisi sebagai salah satu negara terkorup. Tahun 2006 ini perilaku korupsi di Indonesia dengan Indeks Persepsi 2,4 dengan nomor urut 130 dari 163 negara yang disurvei. Indonesia memiliki peringkat sama dengan Azerbaijan, Burundi, Republik Afrika Tengah, Ethiopia, Papua Nugini, Togo, dan Zimbabwe. Tentu kondisi ini semakin memperkuat bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.
Usaha yang dilakukan
Kita harus sepakat bahwa korupsi telah menjadi sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary). Oleh karena itu langkah-langkah untuk memberantasnya tidak cukup dengan cara-cara penegakan hukum yang konvensional hanya dengan menggunakan polisi dan jaksa sebagai penyidik dan penuntut serta pengadilan negeri sebagai lembaga yang mengadilinya. Hal ini disebabkan karena korupsi juga telah menjadi budaya di lembaga-lembaga penegakan hukum konvensional tersebut.
Menyadari keadaan yang darurat tersebut maka perang melawan korupsi memerlukan cara-cara yang luar biasa yang dimulai dengan diubahnya Undang-Undang Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah kembali oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.
Sebagai amanat yang tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 20/2001 adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini di undangkan (tanggal 21 November 2001). Pada tahun 2002 di undangkanlah Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam Pasal 6 disebutkan tugas KPK adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Karena KPK adalah lembaga superbody maka perlu pembatasan-pembatasan yang ketat dalam menjalankan tugasnya dan cara-cara yang khusus dalam mekanismenya agar dapat menunjang kerja KPK dalam usaha pemberantasan korupsi. Selain itu juga bahwa Undang-Undang KPK adalah lex specialis sehingga keberadaannya mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Maka KPK tidak melakukan penuntutan di pengadilan negeri (umum) dalam setiap tindak pidana korupsi yang mereka tangani tetapi melalui pengadilan tidak pidana korupsi (Tipikor) yang berada di lingkungan peradilan umum.
Serangan balik
Kinerja KPK dan Pengadilan Tipikor memang cukup membuat gerah para koruptor. Telah banyak pejabat negara yang menjadi terdakwa bahkan berujung divonis penjara yang tidak ringan. Hal ini tentunya membuat para koruptor harus berhati-hati. Bahkan kinerja KPK telah berhasil membuktikan bahwa mafia peradilan telah bergentayangan di lingkungan peradilan kita dengan membongkar kasus suap yang melibatkan pengacara Probosutejo, Harini Wijoso, dan pegawai Mahkamah Agung Pono Waluyo.
Usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dan Pengadilan Tipikor tentunya membuat para koruptor harus melakukan perlawanan balik agar KPK menjadi macan ompong yang tidak mempunyai kekuatan. Sebagai serangan terhadap KPK dan Pengadilan Tipikor saat ini telah diajukan tiga permohonan judicial review kepada Mahkmah Konstitusi (MK) dengan No 12/PUU-IV/2006, No 16/PUU-IV/2006, dan No 19/PUU-IV/2006. Dari ketiga permohonan ini ada 6 pokok permasalahan yang diajukan pemohon yaitu keberadaan KPK, keberadaan pengadilan Tipikor, penerapan asas praduga tak bersalah berkaitan dengan tidak adanya kewenangan KPK mengeluarkan SP3, keberadaan instrumen penyadapan dan perekaman, ketentuan dan penerapan frase mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat pada Pasal huruf b UU KPK, dan asas retroaktif pada penanganan perkara oleh KPK.
Tiga permohonan uji materil ini tentunya membuat kita waswas dan perlu melakukan penggalangan kekuatan agar MK tidak mengabulkan tiga permohonan tersebut. Bila MK mengabulkan ketiga permohonan tersebut baik sebagian ataupun seluruh permohonan maka akan berdampak besar yaitu : Pertama, matinya salah satu amanat reformasi yaitu memberantas korupsi.
Korupsi akan semakain merajalela karena pemberantasan korupsi kembali ke cara-cara konvensional yang terbukti dalam pemberatasan korupsi kinerjanya sangat buruk. Kedua, bila KPK dan Pengadilan Tipikor dibubarkan maka ini juga akan berdampak pada eksistensi MK. KPK dan Pengadilan Tipikor adalah lembaga yang dibentuk setelah reformasi sama dengan status MK. Bila KPK dan Pengadialn Tipikor berhasil dikalahkan maka bisa jadi giliran dikemudian hari MK-lah yang akan diminta untuk dibubarkan oleh pihak antireformasi. Ketiga, ini akan semakin memperburuk citra MK. Dengan keluarnya keputusan MK No 003/PUU-UK/2006 telah membuat masyarakat meragukan keberpihakan MK terhadap upaya pemberantasan korupsi dalam sistem peradilan. Bila MK kembali mengabulkan ketiga permohonan terhadap UU KPK maka ini akan semakin membuktikan bahwa MK telah disusupi agen-agen koruptor. MK sudah berpihak pada koruptor.
Keempat, hukum semakin tidak memberikan keadilan bagi masyarakat. Para koruptor telah mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah besar namun mereka dapat mempermainkan hukum. Maka rakyat kecil akan semakin menderita dan hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil.
Harus dilawan
Persidangan di MK adalah pengadilan Opini. Dalam pemeriksaan di MK tidak bicara fakta yang terjadi secara nyata tetapi berdasarkan opini dan pemikiran, serta teori-teori belaka. Dalam persoalan ketiga permohonan uji materil terhadap UU KPK, kalau dicari teori dan pemikiran para ahli tentunya ada yang kontra dan yang pro terhadap permohonan tersebut.
Kini kuncinya ada di tangan para hakim yang menangani ketiga permohonan tersebut. Semoga hati nurani para hakim Mahkamah Konstitusi dapat memilih dan berpihak kepada usaha pemberantasan korupsi bukan berpihak kepada koruptor.
Korupsi adalah kejahatan terorganisasi yang telah membuat rakyat kita sengsara. Salus populi supre lex (keselamatan rakyat --bangsa dan negara-- adalah hukum yang tertinggi). Keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor adalah lembaga darurat yang kita butuhkan untuk memberantas korupsi. Serangan balik para koruptor harus dilawan demi terbentuknya negara yang bersih dan bebas KKN. Semoga!
H Mutammimul Ula SH, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS
Tulisan ini disalin dari Republika, 22 November 2006