Serangan Balik Koruptor, Pelemahan Komisi Antikorupsi Terjadi secara Global

Upaya pelemahan terhadap lembaga pemberantasan korupsi tidak hanya dialami oleh KPK di Indonesia. Di sejumlah negara, pelemahan komisi independen antikorupsi juga terjadi.

Komisi Antikorupsi yang independen dan memiliki kekuasaan penyidikan dan penuntutan, mengalami banyak ancaman pelemahan dan pembubaran.

Di Nigeria, Nuhu Ribadu Ketua Komisi Kejahatan Ekonomi dan Finansial harus melarikan diri ke United Kingdom untuk menghindari ancaman pembunuhan. Di Korea Selatan, Korean Independent Comission Against Corruption (KICAC) telah dibubarkan dan diganti dengan Anti Corruption and Civil Right Commission.
 
Meningkatnya ancaman terhadap Komisi Antikorupsi di berbagai negara, Konferensi Anti Korupsi Internasional (IACC) di Bangkok, 10-13 November 2010, mengagendakan khusus satu sesi untuk membahas ancaman itu.

Dragos Kos, peneliti dari Groups of State Against Corruption (GRECO) dalam sesi "Threat to Anti Corruption Agency"  merumuskan modus-modus pelemahan lembaga-lembaga anti korupsi dilakukan dengan, pertama, mengubah UU untuk mengurangi kewenangan.

Modus kedua dilakukan dengan melakukan restrukturisasi lembaga untuk mengurangi independensinya. Modus ketiga, mengurangi sumber daya atau anggaran.

Menangkis upaya pelemahan, satu hal penting yang harus dilakukan adalah memperkuat dasar hukum yang mengatur keberadaan komisi antikorupsi. "Lebih baik kalau bisa dimasukkan dalam konstitusi sehingga tidak bisa diubah dengan mudah oleh kepentingan koruptor," ujar Dragos Kos di Bangkok, Rabu (10/11).
 
Bila lembaga antikorupsi di negara lain tidak mengalami pelemahan, itu soal waktu saja, karena cepat lambat akan menghadapi ancaman yang serupa. Koruptor di berbagai belahan dunia berpotensi menduplikasi keberhasilan melemahkan komisi antikorupsi saat ini.

Ancaman terhadap KPK
Dragos Kos juga menggarisbawahi, ancaman utama terhadap komisi antikorupsi adalah justru kesuksesan lembaga itu sendiri. Semakin sukses komisi antikorupsi, ancaman pelemahan akan semakin besar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, dinilai cukup berhasil melakukan pemberantasan korupsi oleh komunitas internasional, terutama dalam penegakan hukum. Keberhasilan KPK mendapatkan banyak perhatian dari delegasi negara-negara lain.

Tetapi, keberhasilan bisa dengan sekejap berubah menjadi kegagalan seperti halnya komisi antikorupsi di negara lain. Dalam konteks Indonesia, ancaman tidak hanya datang dari elit politik. Ancaman yang harus dihadapi oleh KPK juga datang dari lembaga penegak hukum lainnya, terutama Kepolisian dan Kejaksaan.

"Modus-modus pelemahan komisi anti korupsi juga terus dialami oleh KPK. Bukan hanya kriminalisasi tetapi juga soal pengurangan anggaran. Hal ini bisa dicegah oleh Presiden," ujar J Danang Widoyoko, koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), saat menghadiri IACC di Bangkok.

Menurut Danang, Kasus rekayasa penyuapan yang dikenakan terhadap Bibit dan Chandra adalah contoh nyata upaya pelemahan KPK. Meskipun kasus Bibit dan Chandra telah diselesaikan di luar pengadilan, akan tetapi ancaman pelemahan terhadap KPK masih terus berlangsung. Apalagi KPK penuntutan KPK hanya berhenti pada Anggodo dan Ary Muladi.

KPK, kata Danang, tampak tidak mampu mengungkap lebih jauh siapa yang menjadi aktor utama dalam kasus Bibit dan Chandra. Padahal rekayasa itu tidak mungkin dilakukan oleh Anggodo karena rekayasa itu membutuhkan peran Polisi dan Jaksa. Tetapi sampai sekarang belum terungkap dalam penuntutan oleh KPK siapa saja polisi dan jaksa yang terlibat dalam rekayasa itu.

Posisi yang independen, tidak di bawah Presiden atau DPR, dan kewenangan yang luar biasa tidak menjamin kekebalan KPK terhadap intervensi politik dan kepentingan lainnya untuk memacetkan penegakan hukum. Dukungan dan komitmen politik dari Presiden dan elit politik lainnya terhadap KPK sangat penting untuk menjamin keberlanjutan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Untuk mengamankan gerakan antikorupsi, Presiden harus bertindak, menunjukkan komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi.

"Dukungan politik tidak cukup hanya dengan kata-kata indah dan pidato," ujar Agus Sunaryanto, koordinator Divisi Investigasi dan Publikasi ICW.

Presiden, kata Agus, dapat memberikan dukungan politik yang diwujudkan dengan memberantas korupsi di  Kepolisian dan Kejaksaan. Presiden memang tidak bisa mencampuri penegakan hukum akan tetapi Kepolisian dan Kejaksaan adalah institusi yang berada di bawah Presiden.
Farodlilah Muqoddam, Abid, berdasar laporan Agus S dari Bangkok.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan