Seragam Koruptor dan Kelas Para Kriminal

PERBINCANGAN soal rencana menyeragami koruptor menunjukkan betapa hukum belum bisa membereskan kasta-kasta di antara tersangka pelaku kejahatan. Yang mengherankan di sini bukanlah koruptor harus diberi seragam dari kain belacu atau mori atau batik, tetapi: kenapa soal begini saja dilontarkan lebih dulu ke publik. Belum juga ada satu pun tersangka korupsi yang diseragami, sudah muncul silang pendapat. Bahkan, Kejaksaan Agung menolak rencana KPK ini. Seharusnya langsung saja KPK bikin seragam, wajibkan Ayin atau Urip atau nanti para tersangka baru kasus dana BI memakainya saat muncul di depan publik. Beres.

Polemik itu menyembulkan apa yang ada di bawah sadar banyak orang. Koruptor atau tersangka korupsi dianggap istimewa. Karena itu, memberikan seragam tahanan atau tersangka saja perlu diperdebatkan. Posisi istimewa koruptor itu juga tecermin dari istilah-istilah yang dipakai terhadap mereka. Yang paling latah adalah sebutan korupsi berjamaah untuk korupsi yang melibatkan banyak orang. Mengapa mereka mendapat kehormatan begitu istimewa dengan disebut ''berjamaah''. Bukankah lebih tepat istilah korupsi berkomplot, bersekongkol, berkonspirasi, pat gulipat....

Mari kita mengingat. Pernahkah ada polemik ketika aparat hukum, biasanya kepolisian atau kejaksaan, membuat seragam untuk para pelaku kriminal lain? Tiba-tiba saja di televisi kita sudah disuguhi pakaian tahanan yang aneka warna. Ada yang merah dengan punggung bertuliskan "tahanan". Ada juga yang berwarna merah dengan garis-aris mirip marka jalan. Ada juga yang berwarna biru kelam, juga dengan tulisan "tahanan" di dada atau punggung. Ada juga yang berwarna oranye, warna yang kontras agar kalau lari akan mencolok.

Tak pernah ada polemik atas seragam para kriminal kasta rendahan itu. Para pencopet, penodong, penggendam, pemerkosa, penipu, penarkoba, dan aneka pelaku kejahatan lain dengan gampang saja dikenai baju tahanan atau tersangka. Tak ada yang protes. Tak ada yang menentang. Para tahanan pun manut saja. Bagi yang malu, para tahanan berseragam itu hanya menundukkan kepala atau menutupi muka saat kamera menyorotnya.

Para kriminal kasta rendahan itu memang lebih gampang dikelola. Mereka tak punya banyak uang. Tak selalu uang ini digunakan untuk menyogok atau membeli fasilitas kepada aparat. Tetapi, dengan uang banyak setidaknya mereka bisa menyewa para pengacara. Menggunakan jasa mereka jelas butuh uang banyak. Sesuai dengan bayarannya, biasanya mereka akan gigih membela kliennya. Membukakan pasal-pasal agar kliennya tampak seperti orang suci yang sedang sial.

Para kriminal kecil jelas tak mampu menyewa mereka. Apalagi, banyak di antara mereka yang terjeblos pada kejahatan karena mempertahankan hidup. Karena itulah, kepada mereka bisa diterapkan prinsip hukum ''perkara cepat dan berbiaya ringan'' yang ada dalam hukum acara. Kadang-kadang saking cepatnya terjadi salah vonis alias peradilan sesat.

Sedangkan korupsi hampir selalu dilakukan orang yang kaya. Setidaknya orang yang punya kunci pintu brankas anggaran negara. Ingat, korupsi pada hakikatnya adalah penggelapan. Penggelapan uang milik negara. Selain pejabat, orang lain yang terlibat biasanya para pengusaha yang terkait proyek (belakangan terungkap uang korupsi juga dinikmati pelacur).

Karena itulah, seperti kita semua lihat, ketika duduk di kursi terdakwa dia didampingi para pengacara mahal. Dari ratusan juta rupiah hingga miliaran sampai kasus selesai. Tak heran pembelaan atas para terdakwa korupsi ini pun berkelas. Karena cerdiknya suatu pembelaan, kadang-kadang, bila kita tak cermat melihat fakta-fakta persidangan, bisa-bisa kita terkecoh: jangan-jangan yang sedang diadili orang yang salah.

Terdakwa korupsi yang banyak uang selalu banyak pilihan. Bila tak puas dengan satu advokat, dia bisa memecat dan mencari kepuasan lebih dari advokat lain. Ada uang, ada ''barang''. Bahkan, di dalam jasa hukum pun berlaku. Dan, sebagai orang yang terlibat dalam proses hukum, pengacara paling aman. Kalau polisi, jaksa, atau hakim salah dalam membuat penilaian, bisa mengancam karir mereka. Pengacara tetap berhak atas imbalan.

Dengan kemampuan mengerahkan lawyer top, aparat pun menyadari ''kelas'' koruptor. Tak pernah ada ceritanya koruptor ditembak kaki atau selakangannya. Atau wajahnya bonyok. Bukannya tak ada koruptor yang melawan atau melarikan diri, seperti yang biasa jadi alasan polisi menembak penjahat yang lain. Berapa banyak tersangka korupsi yang lari. Bahkan, setelah susah-susah polisi menangkapnya, eh mereka dibebaskan oleh hakim tingkat bawah atas nama kemerdekaan hakim dalam memutuskan perkara. Ketika divonis bersalah oleh MA, dia sudah lari entah di mana.

Singkat kata, korupsi adalah kejahatan ''berkelas.'' Banyak orang besar di sana. Mulai pejabat di pelosok hingga di lingkungan istana. Banyak uang beredar di sana untuk memperbesar celah bebas. Banyak orang yang mendapat rezeki dari perkara-perkara ini. Pelakunya juga ''sadar hukum'' sehingga dengan gampang menyergah: hormati asas praduga tak bersalah. Jangan-jangan dengan alasan ini pulalah kelak mereka tak mau diseragami sebagai tersangka, tahanan, atau terdakwa kasus korupsi.

Karena itu, tidak usah dibahas lagi. Langsung bikin seragam untuk pesakitan kasus korupsi. Pakaikan! Beres. Jangan lupa, warnanya pilih yang senorak mungkin.(roy@jawapos.co.id)

Oleh: Rohman Budijanto

tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 Agustus 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan