Sepakbola Indonesia Rawan Korupsi

Seruan publik yang menuntut Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Nurdin Halid semakin gencar pascapergelaran Piala AFF 2010. PSSI dinilai gagal menyelenggarakan event olahraga terbesar Asia Tenggara itu karena manajemen kompetisi yang buruk dan maraknya praktik korupsi.

Mantan manajer timnas I Gusti Kompyang Manila, yang tergabung dalam koalisi Save Our Soccer (SOS) mengatakan, PSSI sebagai organisasi induk sepakbola, sarat akan praktik-praktik korupsi, sehingga mengakibatkan pembinaan sepakbola di Indonesia amburadul. "Maraknya jual beli skor, suap menyuap wasit, dan manajemen klub yang korup harus segera direformasi," ujar Manila.

Berikut petikan wawancara Farodlilah dari ICW dengan IGK Manila, usai diskusi bersama komunitas SOS di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (16/01/2011).

Apa saja modus korupsi sepakbola?

Pertama, penjualan tiket pertandingan. Stadion penuh, tapi laporan pengelola selalu merugi. Modus lain, jual beli skor pertandingan. Dengan membayar wasit,

klub bisa menentukan berapa skor yang akan diperoleh.

Pembelian pemain asing, pelatih, juga bisa menjadi celah korupsi. Sejumlah agen dapat menentukan seberapa cepat proses membeli pemain atau pelatih baru.

Peluang korupsi terbesar, keterlibatan pejabat dalam manajemen klub. Hal ini diperparah dengan minimnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan klub.

Penyebab dan pemicunya?

Sepakbola kita tidak dikelola secara profesional. PSSI masih menyusu pada Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Klub-klub di daerah juga masih sangat bergantung pada dana APBD. Bahkan hampir 99 persen klub didanai APBD.

Dana pemerintah yang diberikan secara langsung kepada klub, berpotensi dikorupsi. Terlebih, minimnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan,

menyebabkan praktik korupsi sangat mungkin terjadi.

Lantas, bagaimana solusinya?

Putuskan aliran dana pemerintah ke klub. Dana APBN dan APBD, sebaiknya difokuskan untuk pembinaan atlet usia dini dan pembangunan infrastruktur olahraga.

Kita lihat, lapangan PSSI cuma satu. Sekolah-sekolah sepakbola yang dikelola PSSI, juga minim kompetisi. Piala Suratin cuma digelar setahun sekali. Pembinaan tidak ada, akibatnya, bibit-bibit bagus hilang.

Sudah siapkah klub lepas dari dana APBD. Bagaimana menutup biaya operasional?

Kita harus optimistis. Ada banyak peluang pembiayaan, selain dari penjualan tiket pertandingan dan penjualan merchandise.  Sponsor bisa diandalkan, kalau tim bisa main bagus.

Coba kita lihat Liga Primer Indonesia (LPI). Beri kesempatan apakah bisa kompetisi berlanjut tanpa dana APBD.

Penegakan hukum dalam kasus korupsi APBD, harus dimulai dari mana?

Semua klub harus diperiksa, dari Aceh hingga Papua. Sebab dana APBD yang dikucurkan pemerintah sangat besar untuk klub. Paling rendah untuk satu klub

mendapatkan Rp 6 miliar, paling tinggi bisa mencapai Rp 40 miliar. Ini harus diperiksa kejelasan pengelolaan anggarannya. Karena ini uang rakyat.

Reformasi di manajemen kompetisi…

Penyakit kronis kompetisi sepakbola Indonesia seperti jual beli skor dan suap menyuap wasit, harus diberantas. Juara Inonesia harus bisa diandalkan. Jangan sampai kita melihat juara Liga Indonesia kalah telak di pertandingan internasional dengan skor  8-0, 9-1. Seharusnya, bila kompetisi berjalan baik tanpa rekayasa, juara kita akan bisa berlaga di internasional. Kita bisa menang. Kalaupun kalah, skornya maksimal 0-1 atau 2-1.

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan