Sepak Terjang sang Jaksa Kontroversial

SILAT lidah Antasari Azhar harus berakhir pada Senin (4/5). Selang 24 jam setelah jumpa pers di kediamannya, kompleks Giri Loka 2, Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif itu dijebloskan ke sel penjara. Antasari ditetapkan sebagai tersangka otak (intellectueel dader) pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen bersama delapan tersangka lain.

Antasari adalah sosok jaksa kontroversial. Namanya mulai dikenal saat gagal mengeksekusi Tommy Soeharto yang dihukum 18 tahun karena mengotaki pembunuhan Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Syafiuddin Kartasasmita pada 2001.

***

Karir Antasari sebagai jaksa naik turun seiring dengan pergantian pucuk pimpinan korps Adhyaksa. Semasa Jaksa Agung M.A. Rachman (2002-2004), sosok kelahiran Pangkalpinang itu awalnya diplot sebagai pimpinan kejaksaan. Saat awal Rachman menjabat, jaksa kelompok Jatim dan Sumsel alias Palembang mendapatkan angin. Antasari, yang termasuk gerbong Sumsel, menjadi Kapuspenkum.

Prioritas tugasnya adalah mengamankan posisi Rachman saat berseteru dengan jaksa Kito Irkhamni dalam kasus laporan harta kekayaan. Dalam kasus tersebut, Kito membeberkan kekayaan Rachman yang tidak dilaporkan ke KPKPN (Komisi Penyelidik Kekayaan Penyelenggara Negara). Kasus tersebut berujung dengan diadukannya Rachman ke Mabes Polri meski tidak diproses lebih lanjut.

Rachman, rupanya, terkesan. Antasari dipromosi sebagai kepala Kejati (Kajati) Sultra, lantas dipindah ke Kejati Sumbar. Jabatan Kajati adalah batu loncatan sebagai jaksa muda yang setara eselon I di Kejagung. Tapi, pos Kajati Sumbar, tampaknya, menjadi batu sandungan. Antasari tidak bisa mencicipi karir di eselon I atau minimal Kajati kelas A di Pulau Jawa.

Abdul Rahman Saleh, jaksa agung pengganti M.A. Rachman, justru mengevaluasi kinerja Antasari yang berbuntut ''penonjoban''-nya sekitar dua tahun di Kejagung. Itu bisa dianggap tamparan keras. Kabarnya, Abdul Rahman kurang suka pada sikap Antasari yang tidak kunjung mengeksekusi 24 anggota DPRD Sumbar dalam kasus korupsi APBD yang tengah disoroti publik.

Antasari mulai disebut-sebut sebagai bagian barisan jaksa sakit hati. Di era Hendarman Supandji, karir Antasari dipulihkan. Dia jadi direktur penuntutan pada JAM Pidum. Tapi, Antasari terkesan kurang antusias dengan jabatan tersebut.

***

Antasari lebih suka melamar sebagai pimpinan KPK. Kejaksaan ternyata kurang mem-back-up. Pencalonan Antasari lebih bersifat perorangan alias bukan inisiatif lembaga -sekalipun melalui prosedur pengajuan oleh kejaksaan. Hendarman punya calon sendiri, yakni Marwan Effendy. Namun, dalam seleksi di Komisi III DPR, Marwan kalah suara. Antasari tetap melaju di tengah gempuran kritis aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) atas track record-nya yang meragukan.

Antasari berjuang sendiri dalam meyakinkan anggota DPR saat proses seleksi. Dia harus merekrut orang luar kejaksaan untuk menyiapkan urusan teknis, mulai menenteng tas hingga menyusun makalah presentasi.

Antasari sebenarnya nyaris gagal dalam seleksi. Sebab, pada putaran I, dia hanya berada pada urutan kesepuluh. Padahal, hanya ada sembilan kandidat yang bisa maju ke putaran II. Antasari tertolong oleh resistansi kalangan aktivis LSM atas peserta nomor urutan ke-9, Saut Situmorang, yang masih menjabat direktur operasional Badan Intelijen Negara (BIN). Saut akhirnya mundur dan nomor Antasari naik ke 9.

Hasil seleksi putaran II, suara Antasari melejit drastis ke urutan pertama. Marwan Effendy, bahkan mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi, tersingkir. Antasari pun berhak atas jabatan ketua KPK.

Salah seorang peserta seleksi kepada penulis berbisik, naiknya suara Antasari merupakan hasil sebuah operasi kepada anggota DPR. Dia tidak menyebut otak kelompok operasi itu. Ada yang menduga kedekatan Antasari dengan Sigit Haryo Wibisono mulai terjalin saat proses seleksi di DPR. Sigit kini ikut jadi tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin.

***

Saat awal kepemimpinan di KPK, Antasari menjawab keraguan publik atas integritasnya dengan menangkapi para pejabat tinggi yang terseret korupsi. Yang paling fenomenal adalah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan. Sebab, kasus itu seolah membuka rivalitas antara Antasari, sebagai sosok yang merasa ''teraniaya'', dengan sejumlah kolega di kejaksaan. Antasari pun tidak segan blak-blakan membeberkan borok mafia peradilan di Gedung Bundar. Urip dipenjara dan dua JAM dicopot, yakni Kemas Yahya Rahman dan Untung Uji Santoso.

Antasari selaku ketua KPK sebenarnya terikat kode etik. Isi kode etik KPK bahkan lebih ''kejam'' daripada kode etik jaksa (tata krama adhyaksa) maupun polisi. Dalam kode etik yang dirilis 10 Februari 2004 itu diatur segala urusan, termasuk yang pribadi sekalipun. Misal, sesuai dengan angka 2 huruf d kode etik KEP-06/P.KPK/02/2004, larangan pimpinan KPK bermain golf dengan pihak-pihak yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sekecil apa pun.

Itu baru soal golf. Belum lagi keharusan pimpinan wajib beribadah, tidak boleh ditraktir makan, hingga haram menerima honor seminar. Pimpinan juga harus membatasi pertemuan di ruang publik, termasuk menginap di hotel. Pendek kata, lima pimpinan KPK dengan kode etik itu dibikin seolah-olah mirip malaikat yang dibonsai kepentingan manusiawinya.

Toh, benteng pertahanan Antasari jebol juga. Faktor manusia alias human error tetap menjadi yang utama. Setidaknya, asumsi itu menguatkan teori hukum yang menyebut bahwa manusia merupakan bagian terpenting di luar empat pilar penegakan hukum (undang-undang, budaya hukum, masyarakat, dan sarana-prasana penjatuhan sanksi).

***

Seorang eselon I di kejaksaan pernah berbagi kisah kepada saya bahwa sosok penegak hukum acap kali dihadapkan pada peran dua sisi yang bertolak belakang, yakni malaikat dan setan. Dia mengakui tidak mau munafik bahwa selama puluhan tahun berkarir sebagai jaksa, pernah melakoni peran setan. Nah, siapa yang bisa menjamin seorang penegak hukum dapat selalu memerankan diri sebagai malaikat ketika kode etik tidak lagi menjadi panglima?

Yang pasti, bagi Antasari, seharusnya saat acara workshop wartawan KPK di Gunung Mas, Cisarua, Bogor, 3 April lalu, tidak hanya menyanyikan lagu Jangan Ada Dusta di Antara Kita. Tetapi, juga melantunkan sekaligus mengambil pelajaran dari lagu Bryan May: Too Much Love Will Kill You! (*)

Agus Muttaqin, Wartawan Jawa Pos yang pernah ngepos di Kejagung

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan