Senjata Sakit dan KUHP Pelesetan

Sikap tegas kejaksaan juga terlihat di Provinsi Banten. Gubernur Banten Djoko Munandar dijadikan tersangka dalam kasus penyalahgunaan aturan pencairan dana tunjangan anggota DPRD Banten senilai Rp 3,5 miliar. Total dana yang diduga berpotensi merugikan negara itu Rp 14 miliar dan Rp 10,5 miliar dibagi-bagi untuk dana tunjangan rumah peribadi 75 anggota DPRD Banten periode 1999-2004.

Selain menjadikan Djoko sebagai tersangka, Kejaksaan Tinggi Banten juga telah menahan mantan Ketua DPRD Banten, Darmono K. Lawi beserta beberapa orang lainnya. Darmono termasuk Ketua DPRD yang apes.

Lalu, setelah kasus-kasus yang menimpa daerah itu ditangani secara serius, kapan kasus korupsi di pusat ditangani seperti itu. Bukankan nilai kerugian negara yang terjadi di pusat jauh lebih besar dibandingkan dengan yang di daerah? Apakah pemerintahan SBY berani mengungkap kasus-kasus kakap, seperti yang melibatkan Prayogo Pangestu --pemilik Barito Grup-- dalam kasus mark up pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Musi Hutan Persada di Sumatera Selatan. Atau kasus Sjamsul Nursalim --bos Gadjah Tunggal Grup-- dalam kasus BLBI. Atau kasus yang menimpa Ginandjar Kartasasmita yang kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009?

Sekali lagi, kalau mau memberantas korupsi, maka Indonesia harus belajar dari Cina (bukan harus ke Cina). Sebab, dalam hal korupsi dan transparansi, Cina berada pada peringkat menengah. Dari 146 negara yang dicatat oleh Transparency International, Cina berada pada urutan ke-71.

Masalah korupsi di Cina sudah sama dengan di Indonesia, yaitu sama-sama mengakar. Masalah korupsi di Cina meledak di tengah era reformasi ekonominya, sehingga pemerintah Cina harus berjuang keras membersihkan diri dari korupsi.

Lalu apa yang harus dibuat oleh pemerintah Indonesia bersama rakyatnya dalam upaya pemberantasan korupsi dan dalam hal menghukum para koruptor? Apakah pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan aparat penegak hukum akan membuat jera pelaku korupsi atau pejabat yang ingin mencoba korupsi? Atau pemenjaraan sejumlah terpidana korupsi ke Nusakambangan akan membuat jera pelakunya untuk berbuat korupsi?

Masyarakat dilindungi

Jawabannya, kembali kepada tekad semua pihak untuk itu. Masyarakat yang sudah melaporkan dugaan korupsi hendaknya memperoleh perlindungan. Jangan sampai laporannya itu justru membuat bumerang.

Sejak reformasi bergulir --yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto-- maka yang selalu didengungkan semua pihak adalah pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Masalah KKN ini, terutama korupsi sudah sedemikian parah, sampai-sampai mungkin sangat sulit untuk memulai pemberantasannya dari mana.

Kita lihat bahwa kasus-kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, masih fokus pada penyalahgunaan wewenang. Misalnya dalam kasus perkara korupsi dana APBD. Yang menjadi titik persoalan adalah kesalahan prosedur dan di luar kewenangan. Sebut saja kasus yang kini sedang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Tangerang. Ada dugaan penyimpangan dana keagamaan senilai Rp 3,3 miliar. Ini terjadi, karena anggota DPRD Kabupaten Tangerang periode 1999-2004 menyalurkan sendiri dana tersebut kepada 385 yayasan. Lho, kok anggota DPRD yang menyalurkan dana? Apa mereka sudah menjadi kas pemerintah atau sudah tidak percaya kepada pemerintah?

Nyatanya begitu. Berdasarkan aturan, DPR/DPRD itu hanya menyetujui anggaran, sedangkan yang menyalurkan adalah pemerintah. Dalam kasus di Kabupaten Tangerang, yang menyalurkan semestinya pemda dalam hal ini Dinas Sosial. Mungkin DPRD Kabupaten Tangerang mau berubah menjadi Dinas Sosial atau sekadar mencari simpati menjelang Pemilu April 2004 lalu. Maklum, penyaluran dana ke sejumlah yayasan itu terjadi menjelang pesta demokrasi legislatif berlangsung.

Kalau anggota DPRD yang dibidik, maka hingga sekarang masih jarang pejabat pemerintah yang ikut dijadikan tersangka, atau bahkan masih jarang yang dipenjara alias masuk tahanan kejaksaan. Padahal, kalau kesalahan prosedur, maka pejabat eksekutif pasti terlibat. Kasus Banten, misalnya, memang sudah menetapkan Gubernur Banten, Djoko Munandar sebagai tersangka. Tetapi, belum pada tahap tahanan, mengikuti rekan-rekannya yang mantan anggota DPRD. Padahal, kalau APBD itu keluar atau disetujui penggunaannya ke mana pun, itu jelas melibatkan pejabat eksekutif, paling tidak gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Kalaupun Wakil Wali Kota Bogor, H. Mochamad Said ditahan dan disidangkan dalam perkara korupsi dana APBD, itu bukan lantaran jabatannya di eksekutif itu. Melainkan karena selama kepemimpinannya di DPRD Kota Bogor periode 1999-2004 terjadi penyimpangan dana sebesar Rp 6,83 miliar. Jadi, bukan karena wakil wali kotanya, maka ia ditahan, melainkan kasus korupsi yang terjadi jauh sebelum ia menduduki jabatan tersebut.

Menyelusuri kasus korupsi memang sangat menarik. Sebab, di sini terjadi tarik-ulur, permainan, kepentingan politik atau apalah namanya. Yang jelas, banyak kasus dugaan korupsi yang mengambang begitu saja. Atau malah ada kasus yang merugikan keuangan negara seolah-olah mendapat angin sepoi dari penegak hukum.

Senjata sakit

Sebut saja contoh perubahan tahanan penjara atas Yudi Kartono dan Hartono Tjahjadaja --dua terpidana pembobol BRI Senen dan BRI Pasar Tanah Abang sebesar Rp 180,55 miliar. Kedua tahanan ini oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta diubah dari tahanan penjara menjadi tahanan kota/rumah, dengan alasan sakit.

Tetapi penelusuran yang dilakukan wartawan Media Indonesia ternyata jauh berbeda. Yudi yang beralamat di Cibubur, Jakarta Timur, ternyata tidak sakit. Ia bebas menyetir sendiri mobilnya. Malah, mobil yang dikendarainya pun luar biasa, Toyota Land Cruiser. Malah dengan mobil dinas Polisi 1618-01. Padahal, Yudi divonis tujuh tahun penjara dan Hartono 10 tahun penjara.

Orang awam pun bertanya, kok pembobol bank sebesar itu bisa keluar penjara dengan alasan sakit. Tetapi nyatanya bisa keluar-masuk rumah dengan bebas, menyetir sendiri lagi.

Alasan sakit pulalah yang seringkali dijadikan senjata pamungkas oleh tersangka koruptor agar terhindar dari pemeriksaan. Ingat, tersangka Sjamsul Nursalim yang akhirnya juga sulit dijamah penegak hukum, karena alasan sakit, berobat ke Jepang dan Singapura.

Demikian juga dengan kasus yang menimpa mantan Presiden Soeharto. Alasan sakit pulalah yang kemudian membuat mantan orang kuat selama hampir 32 tahun tidak tersentuh hukum, alias kebal hukum. Alasan sakit menjadi senjata paling ampuh untuk menghindar dari pemeriksaan. Ingat, kasus Nurdin Halid yang juga sempat dirawat di RS Polri Kramat Jati, karena sakit. Tetapi, alasan sakit yang memang benar-benar diderita tersangka penyelundup gula putih ini tidak mengubah sikap penyidik Mabes Polri untuk tetap menahannya. Ia pun kini diajukan ke pengadilan dalam kasus korupsi Koperasi Distributor Indonesia (KDI), belum dalam kasus penyelundupan gula.

Melihat kenyataan ini, orang pun pantas dan wajar saja selalu curiga dengan para koruptor yang berhasil di penjara. Maka rumor yang beredar pun macam-macam. Paling juga kadang-kadang di penjara. Banyaknya, di luar penjara. Atau kalaupun di penjara, pasti mendapat perlakuan istimewa. Misalnya, bisa mengadakan jumpa pers atau keterangan kepada wartawan, memiliki kamar bagus (pakai TV, ber-AC, dan bisa leluasa berkomunikasi ke luar, karena memegang HP).

Tekad pemerintah memberantas korupsi harus disambut dengan baik. Keinginan Menteri Kehakiman dan HAM, Khamid Awaludin misalnya untuk me-Nusakambang-kan terpidana korupsi harus didukung semua pihak. Meskipun ada nada sumbang di balik itu, yaitu kok yang sudah ditangkap yang diurusin, bukannya yang masih berkeliaran.

Kalimat-kalimat seperti itu juga ada benarnya. Sebab, yang sudah divonis dalam kasus korupsi jumlahnya masih sangat sedikit, jika dibandingkan dengan total kerugian negara, apalagi dengan total jumlah pelakunya.

Namun, langkah yang dilakukan Khamid Awaludin ini diharapkan semacam terapi, sehingga pejabat yang ingin mencoba korupsi berpikir 1.800 kali. Sebab, jika ketangkap, ditahan, dan divonis, selain hartanya disita oleh negara, maka ia jelas menjadi penghuni Nusakambangan, penjara yang selama ini identik dengan penjara para penjahat kakap. Langkah yang diambil Khamid ini sebenarnya merupakan lanjutan dari langkah yang dilakukan almarhum Baharuddin Lopa (mantan Jaksa Agung), yang segera me-Nusakambang-kan, Bob Hasan, Raja Kayu yang tersandung kasus dana APHI.

Pembuktian terbalik

Selain langkah seperti itu, masih cukup banyak langkah jitu yang bisa ditempuh pemerintah. Antara lain, dengan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pembuktian Terbalik. Ini penting guna mempercepat pemberantasan korupsi. Selama ini, lambannya penanganan korupsi di tanah air tidak lain karena para koruptor berlindung pada asas praduga tak bersalah. Salah-salah tangkap, malah dipraperadilankan dan ujung-ujungnya majelis hakim membebaskan si tersangka. Dan ini sudah beberapa kali terjadi.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman sudah mengajukan usulan penerbitan perpu ini. Selain itu, berdasarkan undang-undang, KPK berhak membuka rekening tersangka korupsi tanpa harus meminta izin dari Bank Indonesia. Pembukaan rekening inilah yang diharapkan mempercepat proses penyidikan, penyelidikan, dan pengadilan terhadap tersangka kasus korupsi.

KPK juga sudah mengusulkan kepada presiden agar tidak perlu menunggu izin presiden terhadap pejabat eksekutif maupun legislatif yang akan diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka dalam kasus korupsi. Sebenarnya, sudah lama diharapkan agar izin presiden ini ditiadakan. Sebab, dengan harus izin presiden, seolah-olah hukum di Indonesia memihak kepada orang-orang tertentu. Padahal, katanya, hukum itu tidak pandang bulu. Hukum itu harus langsung menyentuh siapa pun yang diduga melakukan pelanggaran.

Masak menangkap tersangka pencuri ayam tidak harus minta izin ke ketua RT, RW, lurah, dan seterusnya. Sementara menangkap pencuri uang rakyat harus minta izin pemeriksaan dari presiden. Ini tidak adil!

Harus diakui, dalam pemerintahan SBY sekarang ini, izin pemeriksaan dari presiden itu boleh dikatakan sangat cepat. Tetapi, sekali lagi, itu tidak adil. Yang diduga berbuat salah, hanya karena anggota DPR/DPRD atau gubernur, bupati, wali kota, dan seterusnya, harus menunggu izin pemeriksaan dari presiden. Kalau terus-terusan menunggu izin, bisa-bisa presiden juga dituduh melindungi koruptor, karena berlama-lama mengeluarkan izin. Atau berlama-lama mengeluarkan izin, karena menyangkut pejabatnya sendiri atau mungkin juga ada hubungan dengan keluarganya.

Selain empat langkah tersebut (me-Nusakambang-kan terpidana korupsi, menerbitkan Perpu tentang Pembuktian Terbalik, membuka rekening bank tanpa izin BI, dan meniadakan izin dari presiden) masih ada satu langkah lagi yang perlu segera diambil. Yaitu agar pemerintah segera meratifikasi UN Convention Against Corruption. Dengan meratifikasinya, kata anggota Komisi I DPR-RI dari FPKS, Suripto, S.H. dan anggota Komisi III DPR-RI, Al-Muzzammil Yusuf, Indonesia bisa aktif dalam kerja sama internasional dalam upaya pemberantasan korupsi.

Ratifikasi ini sangat mendesak meningat sebagian besar uang korupsi diduga disimpan di luar negeri. Dengan meratifikasinya, maka Indonesia bisa melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral dalam melacak rekening bank koruptor di suatu negara. Misalnya, melacak uang yang ada di bank di Singapura atau mengektradisi pelaku kejahatan kerah putih dari negara tersebut. Di duga, karena tidak ada perjanjian ekstradisi, banyak uang negara yang diparkir di Singapura. Ini bisa terjadi karena tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura.

Tetapi, di balik keinginan dan harapan tersebut, satu hal yang paling penting adalah perlunya kembali menghidupkan nurani para hakim yang menangani kasus korupsi. Kalau toh penegak hukum sudah bersusah payah melakukan penyidikan, penyelidikan, penangkapan, pelimpahan berkas dan orang, namun kalau hakimnya tidak memiliki nurani, bisa-bisa tersangka divonis bebas. Vonis bebas atas kasus yang merugikan keuangan negara sudah banyak. Bisa-bisa, karena alasan sakit, malah yang sudah divonis penjara pun bisa bebas berkeliaran (seperti kasus pembobol BRI Senen dan Tanah Abang).

Sadar tidak sadar, salah satu yang menjadi penyebab semakin terpuruknya bangsa ini adalah karena tiadanya penegakan hukum, tiadanya kepastian hukum, dan tiadanya nurani para hakim. Memang, tidak semua hakim seperti itu. Para hakim harus benar-benar menjatuhkan vonis terhadap pelaku korupsi sesuai dengan tingkat kejahatannya, bukan berdasarkan tebal-tipisnya tips yang diperoleh.

Kok hakim dituduh begitu? Bukan menuduh, ini hanya sekedar renungan kepada para hakim. Memang tidak semua hakim seperti itu. Masih ada hakim yang menggunakan nuraninya untuk menjatuhkan vonis. Mudah-mudahan semua menjadi baik, sehingga tidak lagi ada istilah mafia peradilan yang jelas-jelas melibatkan hakim. Selama ini, KUHP diplesetkan menjadi (Kalau ada Uang Habis Perkara). Maka ke depan, jangan menjadi Kurang Uang Hakim Pusing (KUHP). Mudah-mudahan.(H. Mangarahon Dongoran, Wartawan Pikiran Rakyat)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 14 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan