Sengketa MA-BPK; Presiden Dinilai Salah Pilih Solusi

MA dikhawatirkan akan menutupi penyelewengan keuangan.

Jalan keluar yang ditempuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan perselisihan antara Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan menuai kritik.

Kebijakan membuat peraturan pemerintah tentang tata cara pengelolaan biaya perkara juga dinilai tidak tepat. Bukan itu solusinya, kata Benny K. Harman, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, kemarin.

Benny justru mempertanyakan mengapa MA tidak mau transparan dalam pengelolaan dana biaya perkara itu. Apa alasan MA tidak mau diaudit? katanya. Semua pungutan yang dilakukan lembaga negara harus diaudit BPK.

BPK memang hendak mengaudit uang perkara yang masuk ke MA. Namun, MA menolaknya. Karena itu, BPK melaporkan kasus itu ke Markas Besar Kepolisian RI, 18 September lalu. Belakangan, Presiden menengahinya dengan mempertemukan Ketua MA Bagir Manan dengan Ketua BPK Anwar Nasution di Istana Negara, Sabtu lalu.

Dalam pertemuan itu Presiden meminta Departemen Keuangan menyelesaikan peraturan pemerintah tersebut dalam tempo sebulan. Sedangkan MA diberi waktu dua bulan untuk melakukan pengaturan internal sebelum BPK mengaudit.

Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao mengatakan peraturan pemerintah (PP) itu segera selesai. Nanti MA tak akan mampu berkelit lagi, kata Hekinus, yang juga anggota tim perumus PP tersebut. Di samping audit, PP ini bisa membongkar rekening yang menampung biaya perkara tersebut, katanya.

Hekinus mengatakan rekening penampung biaya perkara itulah yang selama ini disembunyikan. Ini yang harus dibongkar karena dulu tidak pernah bisa tersentuh, katanya.

MA akan membahas pengaturan internal tentang biaya perkara pada hari ini. Namun, juru bicara MA, Djoko Sarwoko, mengaku belum mengetahui seperti apa pengaturan tentang biaya perkara yang akan dibentuk.

Kendati demikian, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satryo, masih melihat celah bagi MA menutupi penyelewengan dana yang mungkin dilakukannya. Celah itu, katanya, adalah tenggat waktu dua bulan yang diberikan Presiden.

Itulah sebabnya, Rudy mengatakan BPK seharusnya tetap mengaudit MA. Sebab, tugas BPK mengaudit sudah ada dasar hukumnya, katanya. Dia juga meminta BPK tidak mencabut laporannya atas pemimpin MA di kepolisian. Kalau memang ada indikasi penyelewengan, diteruskan saja, nggak usah dicabut laporannya di Mabes Polri, katanya.

Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto juga menilai PP tersebut masih bisa diakali. Hasril khawatir peraturan pemerintah itu akan lemah karena pada dasarnya BPK dan MA belum memiliki satu penafsiran yang sama tentang audit biaya perkara.

Baik BPK maupun MA pun memiliki dasar hukum sendiri-sendiri, yakni Undang-Undang Keuangan Negara dan Hukum Acara Perdata. PP ini dasarnya perintah presiden, bisa saja nanti diuji oleh MA dan dibatalkan, katanya. RINI KUSTIANI | ANTON APRIANTO | DWI RIYANTO AGUSTIAR

Sumber: Koran Tempo, 22 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan