Semua Jaksa Penyelidik BLBI Harus Diperiksa
Ini fenomena gunung es mafia peradilan.
Beberapa kalangan mendesak agar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan tim jaksa yang menyelidiki kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diperiksa, setelah dilakukan penangkapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan. Semua harus diperiksa, karena ini fenomena gunung es mafia peradilan, kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida di Jakarta kemarin. Bahkan dia juga meminta Jaksa Agung diperiksa.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Gayus Lumbuun, menegaskan hal serupa. Dia juga menyatakan Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan Komisi Pemberantasan Korupsi diberi kewenangan menyelidiki kasus BLBI. Alasannya, temuan KPK terkait dengan suap BLBI harus diapresiasi. Mahkamah Konstitusi bisa mendukung perbaikan pemberantasan korupsi dengan memberi penguatan kewenangan kepada KPK, ujarnya.
KPK menangkap basah Urip Tri Gunawan tengah menerima uang yang diduga hasil suap senilai US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar Ahad sore lalu. Penangkapan dilakukan di rumah pengusaha Sjamsul Nursalim, Jalan Terusan Hang Lekir II WG 9, Simprug, Jakarta Selatan.
Sjamsul adalah bekas pemilik PT Bank Dagang Negara Indonesia, salah satu obligor penerima BLBI, yang penyelidikan kasusnya dihentikan Kejaksaan Agung, Jumat lalu. Adapun Urip adalah Ketua Tim Penyelidikan Kasus BLBI. Sumber Tempo menyebut uang itu diberikan kepada Urip sebagai ucapan terima kasih karena telah menghentikan penyelidikan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman menyatakan dia dan jajarannya siap diperiksa. Silakan, katanya. Kemas sepakat dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang akan menghukum siapa saja jika terbukti bersalah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap penangkapan terhadap jaksa Urip itu akan menciptakan efek jera terhadap koruptor, termasuk penegak hukum. Ia menilai KPK telah melakukan tugasnya dengan baik dan profesional. Yang melakukan korupsi akan dihukum, termasuk penegak hukum, kata juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng, mengutip Presiden.
Selain memuji kinerja KPK, kata Andi, Presiden meminta semua yang terkait dengan masalah ini diusut. Penangkapan itu juga membuat Presiden prihatin.
Di gedung Kejaksaan Agung, kemarin, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengaku kecewa, prihatin, sedih, dan marah atas penangkapan anak buahnya tersebut. Dia telah mencederai institusi kejaksaan, ujar Hendarman dengan mata berkaca-kaca.
Tidak boleh berbisnis, ujarnya berkaitan dengan pernyataan Urip, yang menyebut uang US$ 660 itu merupakan hasil berjualan permata. Hendarman menegaskan bahwa usaha itu melanggar kode etik kejaksaan.
Meski begitu, Jaksa Agung menegaskan kasus dugaan suap tersebut tidak berkaitan dengan kebijakan institusi menghentikan penyelidikan kasus BLBI. Menurut Hendarman, kasus tersebut tak bisa ditindaklanjuti dengan instrumen pidana karena tidak ada alat bukti.
Hendarman telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan M.S. Rahardjo mewawancarai Urip. Tujuannya untuk mengetahui apakah Urip melakukan tindakan itu sendiri atau atas perintah orang lain. Jika ada jaksa lain yang terlibat, mereka juga akan diperiksa. DWI WIYANA | NININ DAMAYANTI | RINI KUSTIANI | KURNIASIH BUDI | SUKMA LOPPIES
Kisah Panjang Jaksa dan Sjamsul
Inilah ironi. Belum seminggu Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim lolos dari jerat korupsi, jaksa senior Urip Tri Gunawan justru tertangkap menerima suap di rumah Sjamsul di Simprug, Jakarta Selatan. Ketua tim penyelidik kasus penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan BCA itu dicokok saat menerima uang US$ 660 ribu (sekitar Rp 6 miliar). Inilah perjalanan kasus yang membelit Sjamsul, BDNI, dan jaksa.
21 Agustus 1998: BDNI dibekukan.
21 September 1998: Sjamsul, pemilik BDNI, meneken perjanjian penyelesaian utang melalui penyerahan aset senilai Rp 28,4 triliun.
25 Mei 1999: Sjamsul berjanji akan menyerahkan 12 perusahaan senilai Rp 27,4 triliun dan uang tunai Rp 1 triliun untuk membayar utangnya. Sjamsul mendapat release and discharge (tidak akan dituntut secara hukum berkaitan dengan utangnya).
26 Juni 2000: BPPN menegur keras Sjamsul karena, dalam hitungan BPPN, Sjamsul baru membayar Rp 337 miliar. Teguran ini tidak digubris Sjamsul.
23 Oktober 2000: Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka penyelewengan dana BLBI.
14 November 2000: Sjamsul meneken surat kesanggupan untuk menyerahkan aset. Utang Sjamsul membengkak menjadi Rp 51 triliun karena dia tak pernah membayar utang, baik pokok, bunga, maupun dendanya.
16 April 2001: Sjamsul ditahan di rumah tahanan Kejaksaan Agung dengan sangkaan merugikan negara Rp 10,09 triliun.
29 Mei 2001: Sjamsul diizinkan berobat ke Jepang oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Chalid Karim Leo setelah dirawat di Rumah Sakit Medistra dengan keluhan penyempitan pembuluh darah. Setelah itu, Sjamsul hengkang ke Singapura.
23 Juli 2007: Kejaksaan Agung membentuk tim penyelidik BCA dan BDNI atas rekomendasi rapat kerja Komisi Hukum dan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pada 29 Januari 2007.
28 Februari 2008: Kejaksaan Agung menyatakan Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim lolos dari jerat korupsi. Namun, Sjamsul masih belum sepenuhnya lolos karena kejaksaan masih menyelidiki Bank Dewa Rutji.
29 Februari 2008: Tim penyelidik kasus BDNI dan BCA yang diketuai Urip Tri Gunawan dibubarkan.
2 Maret 2008:
- Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mendapat info bakal ada penyuapan, mengintai rumah di Jalan Hang Lekir II Blok WG-9, Simprug, Jakarta Selatan.
- Pukul 16.30 WIB, KPK menangkap basah Urip yang menerima uang US$ 660 ribu (sekitar Rp 6 miliar) di rumah milik Sjamsul Nursalim itu bersama Arthalita Suryani, sang perantara.
Uang itu hasil penjualan permata, jadi 100 persen tak ada hubungannya dengan jabatan saya.
-- Urip Tri Gunawan, Ketua Tim penyelidik kasus BDNI dan BCA
Tidak ada permata di tempat tersebut.
Juru bicara Johan Budi S.P.
Sumber: Riset Majalah Tempo, Koran Tempo
Sumber: Koran Tempo, 4 Maret 2008