Sempurnalah Korupsi di Indonesia
HASIL survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang memosisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama (sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level.
Kesimpulan PERC tersebut bukan dianggap aneh, melainkan hal yang biasa, karena Indonesia memiliki kultur yang aneh. Pejabat negara dan para koruptor tidak ada yang jera. Bahkan, orang yang belum memiliki kesempatan untuk korupsi pun bercita-cita -bila suatu saat ada peluang- akan melakukan hal itu. Budaya seperti itu yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera. Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial.
Fenomena tersebut sama dengan fenomena tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak berkurang, tapi malah bertambah.
Lebih jauh, para koruptor berprinsip, kalau toh mereka tertangkap, pikiran di benaknya adalah bagaimana bisa lolos dari jerat hukum. Jika terpaksa belum bisa lolos, setidaknya hukumannya diperingan dan dendanya rendah. Karena itu, mafia hukum tumbuh subur di Indonesia dan pendapatan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji resmi penegak hukum. Dan perlu diingat bahwa perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang kalkulatif. Artinya, tindak tersebut sudah dipikirkan matang-matang sehingga saat tertangkap tidak akan bangkrut.
Katidaktegasan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah penting bangsa menjadikan segala masalah diselesaiakan di tingkat permukaan saja. Kasus-kasus besar korupsi menjadi sulit dijamah dengan mudah karena ada upaya-upaya proteksi dari pemilik kekuasaan.
Sempurnalah Korupsi
Dengan skor 9,07 dari 10 poin tertinggi, itu bisa dikatakan hampir sempurnalah korupsi di Indonesia. Dan, kesimpulan PERC ini semakin meyakinkan publik bahwa sia-sia saja pemberantasan korupsi dilakukan. Inpres-inpres tentang pemberantasan korupsi menjadi tidak bermakna karena tidak diimplementasikan di lapangan. Izin-izin pemeriksaan kepala daerah yang mestinya dikeluarkan presiden hingga kini masih banyak yang tidak tahu rimbanya.
Bangsa ini sebaiknya tidak berharap akan berhasil memberantas korupsi apabila kultur yang ada tidak mampu diubah. Berharap agar korupsi bisa diberantas atau jumlahnya ditekan sebenarnya adalah mimpi buruk di siang bolong. Sebab, bangsa ini semakin hari semakin kehilangan karakternya.
Awalnya bangsa ini menambatkan harapan pemberantasan korupsi kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia adalah seorang yang dibesarkan di dunia ketentaraan sehingga memiliki kedisiplinan tinggi. Selain itu, sosoknya dianggap relatif bersih jika dibandingkan dengan figur-figur yang lain.
Pada tahab awal kepemimpinannya, pemberantasan korupsi lebih beraroma dan bergemuruh jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam korupsi. Namun, sejak awal periode kedua memimpin, ternyata aroma dan gurita korupsi semakin menerpa.
Puncak pencitraan antikorupsi rontok dari rezim SBY sejak mencuatnya kasus Bank Century. Meskipun kesimpulan akhir sudah disampaikan dalam rapat paripurna DPR, permasalahan itu belum berarti selesai. Permasalahan terus berkembang hingga muncul istilah ''tukar guling'' dan ''barter'' kasus korupsi untuk menyelamatkan masalah-masalah krusial yang lebih besar.
Munculnya istilah-istilah tersebut menandakan bahwa bangsa ini tidak malu-malu mempertontonkan perilaku korup di depan publik. Itu mencerminkan arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas. Roh dan semangatnya menjadi hilang tanpa bekas.
Bila hasil survei PERC yang dirilis baru-baru ini dikontekskan dengan realitas Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak ada yang dilebih-lebihkan. Korupsi begitu menggurita, mulai pemegang kebijakan hingga implementasi di tingkat yang paling bawah.
Sementara gebrakan pembenahan sektor pelayanan publik dengan berbagai inovasi untuk memudahkan dan mempermurah biaya pelayanan terus dikampanyekan. Ending-nya adalah bagaimana mengurangi korupsi di sektor pelayanan publik. Namun, semua itu belum benar-benar dirasakan semua lapisan masyarakat. Dan, inovasi pelayanan publik tersebut belum menyentuh masalah-masalah vital yang dibutuhkan masyarakat.
Kinerja pelayanan di dunia kepolisian belum beranjak ke arah yang dicita-citakan. Dunia kejaksaan dan kehakiman (pengadilan) juga masih jauh dari memadai sebagai tempat mencari keadilan. Bahkan, perlakuan di lembaga pemasyarakatan juga sarat dengan mafia korupsi.
Dunia pendidikan kita hancur karena gagal menumbuhkan sikap kejujuran. Ujian negara yang mengejar nilai kuantitatif sering mendorong dunia pendidikan menghalalkan segala cara, yang penting nilainya bagus dan lulus terbanyak. Jadi, yang ujian sekarang itu bukan para siswa melainkan para kepala sekolah, guru, dan orang tua. Itu adalah awal pertumbuhan korupsi di jiwa bangsa Indonesia.
Program-program prorakyat, baik yang disalurkan lewat departemen maupun langsung ke masyarakat, di sana sini mengalami penyunatan yang tidak bisa diatasi lewat penegakan hukum. Semua dilakukan dengan tanpa beban dan rasa berdosa.
Sebaliknya, pihak-pihak yang ingin memperbaiki situasi dengan mengurangi tingkat korupsi akan dipinggirkan. Kasus buaya v cicak menandakan bahwa kelompok-kelompok yang ingin memperbaiki situasi akan mengalami kendala, tantangan, dan bahkan ancaman yang serius sehingga eksistensinya sewaktu-waktu bisa terancam. Oleh karena itu, semua penyelenggara negara harus sama-sama mau berjamaah korupsi agar tidak dikeluarkan dari habitatnya. Itulah yang menjadikan korupsi semakin hari malah menggurita.
Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 Maret 2010