Selisih Utang BLBI Rp 800 Miliar Lebih; Pemerintah Minta Pertimbangan DPR

Nilai utang delapan obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) penerima deponering (pengabaian kasus hukum) belum juga ditetapkan. Pemerintah masih akan meminta pertimbangan DPR menyusul adanya perbedaan jumlah antara versi pemerintah dan perhitungan obligor. Selisih perbedaan itu lebih dari Rp 800 miliar.

Keputusan meminta saran DPR itu diambil Tim Pengarah Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) usai menerima laporan Tim Pelaksana di Kantor Pusat Departemen Keuangan kemarin. Hadir dalam pertemuan tersebut: Menko Perekonomian Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, dan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Makbul Padmanegara.

Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tetap akan mengajukan angka versinya. Namun, untuk perbedaan nilai di atas Rp 100 miliar, kalau merupakan penerimaan negara, harus dikonsultasikan dulu ke DPR, terangnya.

Dengan selisih di atas Rp 100 miliar untuk masing-masing obligor, total selisih perhitungan bisa melebihi Rp 800 miliar. Selisih itu terjadi karena obligor ngotot mengajukan skema Akta Pengakuan Utang (APU) reformulasi. Sementara pemerintah berpendapat, karena APU reformulasi tidak dilaksanakan pada saat BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan Tim Pemberesan masih ada, maka harus kembali ke APU aslinya.

Dalam term and condition (persyaratan) APU reformulasi, obligor hanya membayar 30 persen dengan cash (tunai), sedangkan 70 persen sisanya dengan aset. Saat ini, obligor harus membayar cash atau near cash (dengan Surat Utang Negara atau Sertifikat BI). Perhitungan versi APU reformulasi, utang kedelapan obligor tersebut mencapai Rp 3,02 triliun.

Anggota Tim Pelaksana PKPS Hadiyanto mengatakan, pemerintah akan membahas selisih potensi penerimaan negara itu dalam pembahasan RAPBN Perubahan tahun ini. Jadi, sekitar Juni ini mulai diajukan, jelasnya.

Menurut Hadiyanto, pemerintah memang perlu berkonsultasi dulu kepada DPR. Anggota DPR kan termasuk stake holder yang juga berkepentingan mengetahui proses ini. Jadi, akan kita libatkan, terangnya. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan itu menolak anggapan bahwa pemerintah sengaja melemparkan bola panas ke DPR.

Ditanya tentang angka yang diajukan obligor dan pemerintah, Hadiyanto menolak. Kami belum bisa memberikan angkanya. Nanti pada saat pembahasan terbuka di DPR, semua bisa mengikuti, kilahnya.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi XI (Keuangan dan Perbankan) DPR Dradjad H. Wibowo mengatakan, untuk perselisihan piutang negara di atas Rp 100 miliar, memang harus dimintakan pertimbangan DPR. Hal itu tertuang dalam UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun, lanjutnya, yang bisa diajukan adalah piutang yang berkaitan dengan kasus perdata.

Saya tidak setuju jika kasus ini dikategorikan kasus perdata, ungkapnya kemarin.

Untuk menyiasatinya, menurut Dradjad, presiden bisa menerbitkan PP (peraturan pemerintah) yang menyatakan kasus BLBI tersebut termasuk perdata.

Namun, saya akan menentang jika kasus itu dinyatakan sebagai perdata. Atau kalau ingin lebih kuat, presiden bisa minta fatwa Mahkamah Agung lebih dahulu untuk menentukan apakah kasus itu termasuk perdata, jelasnya.

Dengan kondisi seperti saat ini, Dradjad menilai pemerintah akan kesulitan mengejar target pembayaran utang selesai pada akhir 2006 ini. Pemerintah terkesan tak menguasai masalah dan termakan penyataannya sendiri, kritiknya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengabaikan kasus hukum delapan obligor BLBI. Mereka adalah Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latif (Bank Indonesia Raya), James Januardy (Bank Namura Internusa), Adissaputra Januardy (Bank Namura Internusa), dan Omar Putirai (Bank Tamara). Berikutnya, Lidya Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa), serta Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat). (sof)

Sumber: Jawa Pos, 3 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan