Selidiki Pemberi Cek

Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar, Hamka Yandhu, meminta majelis hakim mengusut atau menyelidiki pemberi cek perjalanan yang menjerat dirinya dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.

”Saya minta Nunun Nurbaeti Daradjatun dan Arie Malangjudo ikut dilibatkan dalam perkara ini. Penyuap aktif harus diproses hukum,” kata Hamka Yandhu saat menyampaikan pembelaan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Selasa (11/5).

Hamka mengaku menerima sepuluh lembar cek perjalanan senilai Rp 500 juta dari Arie Malangjudo dan membagi-bagikan kepada teman-temannya di Fraksi Partai Golkar. ”Saya akui menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta. Sedangkan Rp 1,5 miliar dibagikan ke teman- teman,” katanya. Hamka mengaku menyesal dan telah mengembalikan uang Rp 2 miliar kepada KPK. Karena itu, dia meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman seringan-ringannya.

Dalam sidang terpisah, terdakwa Endin AJ Soefihara mengatakan, dirinya tidak pernah mencairkan ataupun menggunakan cek perjalanan yang diterimanya untuk kepentingan pribadi, partai, atau keperluan sosial. Politisi PPP itu mengatakan, cek perjalanan yang diterimanya dititipkan kepada Danial Tandjung yang kemudian menyerahkannya kepada KPK secara utuh.

Endin juga menyatakan ketidaktahuannya bahwa pemberian cek perjalanan itu memiliki keterkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Miranda Goeltom. ”Saya bukan tim sukses atau apa pun namanya dari semua calon DGS BI tersebut. Saya baru mengetahuinya kalau hal itu memiliki keterkaitan pada saat dimintai keterangan oleh KPK sekitar akhir tahun 2008,” katanya.

Peninjauan kembali
Sementara itu, Mahkamah Agung tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan peninjauan kembali (PK) Abdul Hadi Jamal, mantan anggota DPR yang terjerat kasus suap program dana stimulus fiskal 2009 di Departemen Perhubungan. Putusan dijatuhkan Senin (10/5) dan diumumkan Selasa (11/5).

Dengan demikian, Abdul Hadi tetap harus menjalani pidana penjara selama tiga tahun dan pidana tambahan berupa denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan, seperti yang dijatuhkan di Pengadilan Tipikor, November 2009.

Putusan tersebut dijatuhkan majelis hakim PK yang diketuai Mansur Kertayasa dengan hakim anggota Krisna Harahap, MS Lumme, Leopold Hutagalung, dan Imam Harjadi. Namun, dua hakim agung (Mansur dan Imam) berpendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya mengatakan, persyaratan formal tidak masalah, bisa diwakili pengacara. Namun, keduanya berpendapat, PK tak dapat dikabulkan karena tidak berdasarkan alasan hukum yang benar. (AIK/ANA)
Sumber: Kompas, 12 Mei 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan