Selesaikan Kasus SDA, Aparat Penegak Hukum Harus Terintegrasi

Indonesia masih memiliki banyak Pekerjaan Rumah (PR) dalam menyelesaikan masalah penyelamatan sumberdaya alam (sda). Dalam hal ini aparat penegak hukum dinilai masih berjalan 'sendiri-sendiri' untuk melakukan penindakan  penyelamatan sda.

Ketua Greenpeace Indonesia Longgena Ginting, menyatakan, belum ada sistem yang terintegrasi dalam kinerja penegakan hukum jika kita melihat lima tahun kebelakang. Koordinasi yang di jalankan juga masih berjalan sendiri tanpa ada leadership dari aparat penegak hukum.

Menurutnya, sekalipun terdapat 200-an hakim yang memiliki sertifikasi dari Mahkamah Agung (MA) dalam menangani perkara sda, sistem peradilan di Indonesia masih belum mumpuni.

"Beberapa kasus seperti reklamasi Teluk Benoa di Bali, permasalahan tambang di Pulau Bangka Sulawesi Utara, kebakaran hutan, dan kasus sengketa tanah merupakan cerminan bahwa koordinasi antara lembaga penegak hukum belumlah sinkron," paparnya dalam Seminar Nasional Hutan dan Lahan Kita: Bersama Mencari Harapan, Rabu, 10/6/2015, di Jakarta.

Menurutnya, banyak kasus sda yang belum terselesaikan. Sekalipun Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah membangun sekitar 400 pos pengaduan masalah sda, namun belum berkelanjutan.

Dalam penyelesaian kasus sda, pengawasan penegak hukum masih sangat lemah. Tidak dipungkiri bahwa aparat penegak hukum juga ikut terlibat di dalam kerusakan sda.

"Misalnya usaha tambang dan sawit, banyak pejabat dan oknum aparat yang ikut 'bermain'. Bagaimana bisa diselesaikan jika penegak hukum berhadapan dengan kekuasaan," kata Longgena.

Kedepan, negara harus melakukan peningkatan dalam hal perbaikan regulasi serta peraturan yang harus direvisi. Saat ini tingkat kejahatan di Indonesia sudah sangat canggih, sedangkan Indonesia masih menggunakan sistem perundang-undangan yang lama. Hal ini menjadi tantangan ke depan dalam melakukan perubahan strategis. Karenanya, regulasi sangatlah penting dalam meningkatkan proses peradilan.

"Kita bisa mendorong dengan memberikan efek jera yang saat ini belum terdapat dalam regulasi sda di Indonesia," tegansya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Henry Subagyo mengatakan, dalam menangani perkara sda akuntabilitas dalam proses penegakan hukum tidaklah berjalan baik. Oleh karena itu kinerja aparat penegak hukum saat ini sangat sulit diukur.

“Sulitnya penyelesaian kasus dikarenakan aparat penegak hukum seperti polisi dan penyidik masih sibuk dan terfokus hanya pada kasus keamanan,” ujarnya.

Menurutnya, kedepan aparat penegak hukum harus membuat agenda strategis dalam penyelematan sda. Hal tersebut juga harus dibarengi dengan pengembangan kapasitas, integritas, dan akuntabilitas pada aparat penegak hukum. (Ayu-Abid)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan