Selesai Sudah Proses Hukum Pak Harto
Sebagai bangsa yang beradab, juga bangsa Timur yang santun, layaklah kita mengantar kepergian almarhum Muhammad Soeharto dengan permaafan serta doa tulus. Semoga beliau mendapat tempat ampunan dan tempat layak di sisi Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Meski begitu, masalah hukum yang ditinggalkan oleh wafatnya Pak Harto tetap menjadi polemik. Maka, kita perlu menelaah secara jernih masalah ini dari berbagai optik cabang hukum. Yakni, hukum tata negara (HTN), hukum pidana, dan hukum perdata.
HTN Selesai
Ketika 21 Mei 1998 Pak Harto menyatakan berhenti sebagai presiden dan digantikan Habibie sesuai ketentuan pasal 8 UUD 1945, ada yang mempersoalkan keabsahannya. Dimyati Hartono, guru besar ilmu hukum dari Undip, menyatakan bahwa penggantian Soeharto oleh Habibie tersebut tidak sah. Menurut dia, Soeharto harus mempertanggungjawabkan dulu semua kebijakannya sesuai hukum di depan sidang MPR.
Tapi, Yusril Ihza Mahendra yang diketahui sebagai pembuat naskah surat pernyataan berhenti Soeharto itu menjawab dengan tepat. Yusril menyatakan, dari sudut HTN, penggantian Soeharto itu sudah selesai, tanpa harus ada pertanggungjawaban dalam sidang MPR. Mengapa? Sebab, dalam HTN, pertanggungjawaban presiden di depan MPR itu bisa diterima atau ditolak yang kalau ditolak hukumannya adalah hukuman politik, diberhentikan.
Logikanya, tak ada gunanya Pak Harto diundang ke sidang MPR. Sebab, kalau nanti pertanggungjawabannya ditolak MPR, hukuman terberat dari sudut pandang (optik) HTN adalah diberhentikan. Padahal, Pak Harto memang sudah berhenti. Jadi, secara HTN, berhentinya Pak Harto dan penggantiannya oleh Habibie sudah konstitusional.
Dengan penjelasan Yusril yang tepat tersebut, optik hukum tata negara soal keabsahan pernyataan berhenti dan penggantian Pak Harto oleh Habibie itu memang selesai. Tapi, tuntutan publik agar Pak Harto dibidik dari hukum pidana terus bergelombang.
Karena itu, HTN bekerja lagi ketika MPR mengeluarkan Tap No XI/MPR/1998 yang berisi perintah pemberantasan KKN dan pemprosesan secara hukum semua kasus KKN, termasuk yang diduga dilakukan mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya.
Pidana Selesai
Pak Harto kemudian digiring ke peradilan pidana dengan tuduhan korupsi. Tapi, jaksa penuntut umum tak pernah bisa menghadirkan Soeharto ke persidangan karena yang bersangkutan dinyatakan sakit dengan keterangan dokter yang sah. Upaya menggiring Soeharto ke persidangan pidana terus dilakukan bersamaan dengan desakan publik sampai akhirnya pada Mei 2006 jaksa agung mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan perkara (SKP3).
Dengan SKP3 itu, berarti kasus pidana Soeharto ditutup dan dinyatakan selesai. Sebab, menurut pasal 140 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), jaksa agung diperbolehkan mengeluarkan SKP3 kalau ada alasan tertentu seperti karena ternyata masalahnya bukan masalah pidana, kedaluwarsa, ne bis in idem, dan yang bersangkutan wafat.
Keabsahan SKP3 tersebut semula dipersoalkan banyak pihak. Bahkan, sejumlah LSM mempraperadilankannya ke pengadilan. Sebab, dalam pasal 140 (1) KUHAP itu tak tercantum sakit permanen sebagai alasan dikeluarkannya SKP3.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memang memutus SKP3 itu tidak sah. Tapi, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding memutus SKP3 tersebut sah. Dengan demkian, secara hukum pidana pun, kasus Pak Harto sudah selesai atau ditutup.
Gugatan Perdata Lemah
Untuk mengakomodasi desakan publik setelah mengeluarkan SKP3, pemerintah membelokkan kasus pidana Soeharto ke kasus perdata. Pemerintah menggugat Soeharto sebagai ketua Yayasan Supersemar dan yayasan-yayasan lainnya ke pengadilan dengan alasan telah melanggar hukum sesuai pasal 1365 KUH Perdata.
Perbuatan melawan hukum itu, menurut kejaksaan yang menjadi pengacara negara, antara lain hanya disalurkannya dana Yayasan sebesar 15 persen untuk beasiswa.
Tanpa bermaksud memengaruhi pengadilan, saya berpendapat, gugatan perdata itu pun lemah. Sebab, sejatinya kasus tersebut adalah kasus pidana yang dipaksa-paksa dibelokkan ke kasus perdata yang relnya sangat berbeda. Seseorang atau badan hukum bisa digugat perdata jika melakukan wanprestasi terhadap pihak lain.
Masalahnya, wanprestasi apa yang tidak dipenuhi Soeharto dan yayasannya kepada negara? Kalau Soeharto dianggap berutang, kapan berutangnya, berapa jumlahnya, apa ada bukti (seperti akta utang)?
Jika Soeharto dianggap melanggar pasal 1365 karena tidak memenuhi kewajiban sesuai AD/ART yayasan, tentu yang berhak mengajukan gugatan adalah anggota dan pengurus yayasan itu, bukan negara.
Padahal, kenyataannya, semua pengurus yayasan menganggap tak ada masalah apa pun dalam yayasan-yayasan tersebut. Atas wanprestasi apa pemerintah menggugat perdata?
Tap XI/MPR/1998
Ada pula yang mengusulkan pencabutan Tap No XI/MPR/1998 dengan alasan Tap itulah yang menjadi dasar membawa Soeharto ke peradilan pidana. Haruslah diingat, dari sudut HTN, Tap MPR tersebut tidak bisa dicabut dengan Tap MPR baru.
MPR yang membuat Tap No XI/MPR/1998 itu adalah MPR yang dalam struktur ketatanegaraan adalah lembaga tertinggi negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat sesuai UUD 1945 sebelum amandemen.
Setelah UUD 1945 diamandemen (1999-2002), MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara yang bisa membuat Tap yang bersifat mengatur (regeling) yang setara Tap MPR No XI/MPR/1998 itu. MPR sekarang adalah lembaga negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain dalam hubungan horizontal fungsional.
Menurut Tap MPR No I/MPR/2003 (sebagai Tap terakhir MPR sebagai lembaga tertinggi negara), Tap MPR No XI/MPR/1998 tetap berlaku sampai semua isinya dilaksanakan atau digantikan UU yang substansinya sama dengan Tap tersebut.
Harus diingat pula, Tap MPR No XI/MPR/1998 itu berisi perintah pemberantasan KKN pada umumnya, bukan hanya menyangkut KKN Pak Harto, sehingga usul untuk mencabutnya agak tidak masuk akal.
Mungkin ada baiknya kita mengakhiri masalah hukum Pak Harto ini, tapi untuk yang lain-lainnya bisa diteruskan. Masih banyak pekerjaan yang jauh lebih bermanfaat daripada berputar-putar di tempat gelap untuk menyelesaikan masalah Pak Harto secara hukum melalui debat kusir tanpa optik hukum yang jelas.
Moh. Mahfud M.D., guru besar ilmu hukum, pengajar pascasarjana di beberapa universitas
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 28 Januari 2008