Seleksi Ulang Hakim Agung

Respons Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap usul Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada di Mahkamah Agung dengan mempersiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang cukup mengejutkan banyak pihak.

Respons Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap usul Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung yang ada di Mahkamah Agung dengan mempersiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang cukup mengejutkan banyak pihak. Dalam penilaian Komisi Yudisial, unsur pemimpin MA yang terdiri atas Ketua MA, dua wakil ketua, dan sembilan ketua muda dinilai telah gagal menjalankan fungsi manajerial dalam mengelola MA sebagai institusi peradilan tertinggi.

Salah satu cara melakukan reformasi peradilan dalam tubuh MA dalam pandangan Komisi Yudisial adalah melalui seleksi ulang hakim agung. Seleksi ulang yang dimaksud adalah melakukan seleksi ulang unsur pemimpin MA dan untuk menyeleksi apakah hakim agung saat ini masih layak mengemban tugasnya. Jika tidak ada aral melintang, proses seleksi ulang hakim agung akan dilaksanakan pada 2006.

Dalam konteks percepatan, dipilihnya dasar hukum seleksi ulang hakim agung dalam bentuk perpu sudah tepat. Perpu sebagai dasar hukum hakim agung harus dimaknai sebagai penyikapan terhadap kondisi kegentingan yang memaksa. Kondisi keterpurukan kekuasaan kehakiman saat ini akibat maraknya praktek mafia peradilan yang sudah masuk kategori kegentingan memaksa yang harus dibenahi. Akan sangat berisiko secara politis dan memakan waktu yang sangat lama jika menggunakan instrumen undang-undang sebagai dasar hukum seleksi hakim agung.

Usul seleksi ulang disertai dengan penerbitan perpu pada akhirnya menimbulkan penilaian beragam dari beberapa kalangan. Pihak yang pro menyatakan, seleksi ulang merupakan langkah awal yang strategis dalam memberantas mafia di peradilan. Adapun yang kontra menyatakan, usul seleksi ulang terlalu berlebihan dan melanggar prinsip independensi peradilan yang dijamin dalam konstitusi serta dasar hukum yang digunakannya (perpu), sehingga nantinya akan merusak tatanan hukum yang ada.

Sikap hati-hati justru ditunjukkan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang meminta Komisi Yudisial terlebih dulu mengkonkretkan rencana itu. Komisi Yudisial disarankan agar segera merumuskan sejumlah perincian penting, seperti dasar hukum, basis data tentang rekam jejak hakim agung, dan aturan menyangkut kemungkinan kerja sama dengan komisi atau instansi lainnya.

Sesuai dengan kewenangan Komisi Yudisial yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945, salah satunya mengatur kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi hakim agung. Di samping itu, Komisi Yudisial berwenang melakukan satu proses dalam menjaga dan menegakkan kehormatan serta perilaku hakim.

Secara prinsip, usul untuk melakukan seleksi ulang hakim agung dengan dasar perpu adalah upaya positif yang perlu ditindaklanjuti. Melihat banyaknya hakim agung yang diragukan integritas dan kualitasnya, maka usul seleksi ulang hakim agung harus juga dimaknai sebagai tindakan melakukan penilaian atas perilaku (integritas) dan kecakapan hakim agung.

Usul tersebut memiliki landasan hukum yang kuat. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14/1985 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5/2004 menyatakan bahwa hakim agung dapat diberhentikan dengan tidak hormat dengan alasan, antara lain melakukan perbuatan tercela (ayat 1 huruf b) atau melanggar sumpah jabatan (ayat 1 huruf d). Mereka juga dapat diberhentikan dengan hormat jika, antara lain dinilai tidak cakap, yakni banyak melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas (pasal 11 ayat 1 huruf e).

Permasalahannya memang aturan tersebut jarang sekali dipergunakan, apalagi terhadap hakim agung, karena beberapa alasan, termasuk karena kelemahan sistem pengawasan yang memberikan kewenangan pengawasan hanya pada kalangan internal (sebelum ada Komisi Yudisial). Juga ditemukan kelemahan sistem pendisiplinan hakim, yakni kewenangan mengusulkan sanksi pemberhentian hanya ada pada Ketua MA. Sebelum seorang hakim diberhentikan, harus ada proses pembelaan di majelis kehormatan hakim--yang komposisinya dimonopoli kalangan hakim sendiri. Di samping prosesnya tertutup, hasilnya sering kali dinilai mengecewakan. Jikapun terbukti bersalah, sanksi yang diberikan masih sebatas tindakan administratif yang maksimal adalah pemecatan. Jarang dijumpai hakim yang tercela diproses secara hukum, apalagi diadili di pengadilan.

Rendahnya integritas dan kualitas sebagian hakim agung merupakan buah dari kelemahan sistem-sistem lain. Langkah-langkah represif semata tidak akan pernah menjawab permasalahan yang mendasar secara tuntas. Karena itu, rencana proses Akselerasi Pembaruan Peradilan (atau Reformasi Birokrasi di Peradilan) yang pada 20 Desember 2005 dicanangkan Presiden, Mahkamah Agung, dan KPK, harus segera ditindaklanjuti. Termasuk di dalamnya perbaikan sistem pembinaan SDM hakim dan pegawai (sistem rekrutmen, mutasi, promosi, dan sebagainya), perbaikan sistem keuangan, serta peningkatan kesejahteraan hakim/pegawai dan peningkatan anggaran pengadilan. Hal itu sesungguhnya sudah diatur dalam cetak biru MA. Sayangnya, pemimpin MA dinilai lamban untuk melaksanakan upaya pembaruan seperti yang telah digariskan.

Pada dasarnya gagasan seleksi ulang hakim bukan baru pertama kali dilontarkan. Sebelumnya, gagasan ini pernah diajukan beberapa pihak pada masa puncak transisi politik di Indonesia, yakni pada 1998-1999, tapi belum mendapat respons dari presiden kala itu, B.J. Habibie. Pada masa tersebut, sebenarnya pelaksanaan seleksi ulang hakim agung lebih kondusif mengingat seluruh tatanan negara kala itu memang masih tidak stabil, dan kecenderungannya aspek politik lebih dominan daripada hukum. Pada kondisi masa seperti itu pula beberapa model seleksi ulang hakim dilakukan di beberapa negara, seperti Venezuela, Georgia, atau Fiji.

Melihat kondisi bangsa kita saat ini, permasalahan yang berhubungan dengan integritas serta kualitas pejabat negara dan penyelenggara negara bukan hanya monopoli pengadilan atau Mahkamah Agung. Setidaknya hampir semua pejabat di seluruh institusi negara ini punya masalah serupa, dengan skala yang berbeda-beda. Bahkan ada yang lebih parah daripada masalah di pengadilan.

Idealnya, penerapan usul seleksi ulang ini tidak hanya diterapkan pada lembaga peradilan. Harus ada penilaian besar-besaran di semua pejabat level tertentu (tinggi) di semua instansi atau lembaga negara, baik kepolisian, kejaksaan, badan, maupun departemen. Hanya dengan pelaksanaan hal itu, maka tidak ada kesan diskriminatif dan kesan bahwa Presiden hanya berani mengurusi masalah di lembaga negara noneksekutif. Hanya dengan hal itu pula publik bisa menilai kesungguhan Presiden untuk membangun bangsa ini dari keterpurukan.

Memang hal itu tidak bisa dilakukan secara sekaligus. Jika alasannya adalah skala prioritas, setidaknya segera setelah proses penilaian di lembaga peradilan selesai, tindakan serupa harus dilakukan di beberapa lembaga hukum lain, seperti kepolisian, kejaksaan, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, termasuk juga lembaga pemasyarakatan.

Emerson Yuntho, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 11 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan