Seleksi Politik Pimpinan KPK
KEKHAWATIRAN akan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewarnai proses seleksi calon pimpinan komisi itu. Bukan karena banyaknya pelamar melainkan adanya gempuran bertubi-tubi yang bermuara pada upaya pelemahan lembaga itu, terutama saat menangani kasus Nazaruddin.
Kamis pekan lalu, Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK menyerahkan 8 nama calon komisioner ke Presiden SBY, yang selanjutnya meneruskannya ke DPR. Mereka (berdasarkan urutan nilai) adalah Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, Handoyo Sudrajad, Abraham Samad, Zulkarnain, Adnan Pandupradja, dan Aryanto Sutadi. Sebelumnya Pansel mencoret dua nama, yaitu Egi Sutjiati dan Sayyid Fadhil.
Komisi III DPR nantinya menggelar fit and proper test untuk memilih 4 orang,
Pengganti komisioner yang pada Desember 2011 berakhir masa jabatannya, yaitu Bibit Samad Rianto, Chandra M Hamzah, M Yasin, dan Haryono Umar. Proses seleksi di DPR inilah yang mengundang kekhawatiran mengingat wakil rakyat selama ini cenderung berupaya ikut melemahkan komisi itu. Termasuk menutupi sinyal adanya praktik mafia anggaran di parlemen. Yang lebih menghawatirkan lagi, penilaian untuk memilih 4 calon, ada kecenderungan tidak selaras dengan rekomendasi Pansel (SM, 24/08/11).
Kekhawatiran itu secara tidak langsung karena ”kegagalan” Pansel mengantongi nama-nama terbaik sebelum diserahkan ke Presiden. Awalnya kinerja Pansel bagus dalam memilih calon tetapi pada detik-detik terakhir kecolongan dengan lolosnya dua calon yang diduga pnya ganjalan. Walaupun Pansel membuat penilaian berdasarkan ranking guna menjaga moralitas proses politik di DPR, upaya itu sepertinya akan sia-sia.
Pansel membagi dalam dua kategori, peringkat 1-4 dan 5-8. Kategori pertama (1-4), yang dinilai paling layak, dengan penilaian cukup tinggi dari empat aspek, yaitu integritas, kepemimpinan, kompetensi, dan independensi adalah Bambang Widjojanto, Yunus Husein, Abdullah Hehamahua, Handoyo Sudrajat. Kategori kedua (5-8) adalah Abraham Samad, Zulkarnain, Adnan Pandupradja, dan Aryanto Sutadi.
Deal Politik
Namun DPR menolak wacana mengerucutkan 4 calon yang mempunyai skor tertinggi. Bahkan, melalui pimpinan, mereka menyatakan tak harus memilih 4, bisa saja memilih 1 atau bahkan semuanya. Pernyataan itu tentu merupakan pergerakan politik yang menghawatirkan mengingat berdasarkan catatan ICW ada calon bermasalah.
Seperti mengonfirmasi penilaian Pansel, 4 calon urutan terbawah dinilai minim integritas dan prestasi dalam memberantas korupsi. Aryanto Sutadi misalnya, sesuai tracking ICW dinilai tidak jujur menyampaikan LHKPN, menoleransi rekening gendut Polri, dan mengakui menerima gratifikasi yang menurutnya tidak masalah. Terbukti sesuai penilaian Pansel, Aryanto menempati urutan terbawah dari 8 calon.
Partai politik (parpol) ikut-ikutan mengantongi nama calon. Walaupun sikap partai belum disampaikan secara resmi, sinyal bahwa masing-masing partai akan berhitung terhadap beberapa calon hampir dipastikan terjadi. Bisa saja parpol memilih komisioner yang dapat mengamankan kasus besar, semisal sekelas kasus bailout Bank Century, Gayus Tambunan, ataupun korupsi pengadaan IT Pemilu 2009.
Dimungkinkan pula parpol mendekati beberapa calon untuk melakukan deal politik, dengan kompensasi mengamankan kasus korupsi seperti praktik mafia anggaran di DPR. Hal seperti itu pernah terjadi dalam seleksi pemilihan ketua KPK pengganti Antasari Azhar.
Waktu itu ada parpol mendekati Bambang Widjojanto guna membuat deal tapi Bambang menolak bertemu. Karena itu, saat ini publik perlu mewaspadai adanya titipan dari partai dalam seleksi komisioner KPK. Transparansi dalam proses uji kelayakan dan kepatutan perlu dikedepankan agar tidak ada deal politik. Tentu saja pergerakan politik dan aktivitas calon perlu dimonitor sebelum mereka tampil di DPR. (10)
Apung Widadi, anggota Badan Pekerja ICW Divisi Korupsi Politik, alumnus Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Undip
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 27 Agustus 2011