Seleksi Hakim dan Masa Depan MA
Empat tahun lalu, saat Komisi Yudisial (KY) masih memiliki kewenangan untuk bersama Mahkamah Agung (MA) ikut menyeleksi hakim, seorang hakim kawan baik saya sudah membisiki: "Nanti, kalau ada seleksi calon hakim, saya nitip keponakan saya, ya. Segala sesuatunya beres."
Saya kaget, kok, begitu vulgar hakim bicara kepada saya, yang waktu itu menjabat Wakil Ketua KY. Saya tak menjawab, pura-pura tidak mendengar. Saya alihkan pembicaraan ke masalah lain. Maka, ketika Koran Tempo edisi 6 November 2017 memuat berita "Dugaan Pungli Coreng Seleksi Hakim", saya tidak kaget lagi.
Ya, jabatan hakim di negeri ini adalah jabatan yang prestisius. Begitu lolos menjadi calon hakim, dilatih sekitar enam bulan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan MA, lalu magang menjadi calon hakim di pengadilan negeri selama dua tahun, jadilah ia seorang hakim. Kelulusan rata-rata di atas 95 persen. Gaji minimal seorang hakim pemula saat ini lebih dari Rp 10 juta. Di mata masyarakat, hakim adalah jabatan terhormat. Di ruang sidang pun, ia dipanggil "Yang Mulia".
Kabar "pungli-memungli" calon hakim sebetulnya sudah bertahun-tahun yang lalu beredar. Maka, empat undang-undang tentang kehakiman- Undang-Undang Kehakiman, Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara- menetapkan bahwa seleksi hakim dilakukan oleh MA dan KY. Tujuannya agar seleksi hakim berlangsung bersih dan transparan. Sangatlah wajar KY dilibatkan karena kelak KY melakukan pengawasan etik terhadap hakim. Kalau sejak awal diberi kesempatan mengawal para calon hakim, tentu KY dapat ikut memilih calon-calon yang berkualitas dan berintegritas.
Tapi MA ternyata tidak legawa menerima kehadiran KY. Empat undang-undang pun dilawan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Walhasil, pasal yang menyangkut kesertaan KY dalam seleksi hakim dihapus. Sejak 2011 sampai 2016 memang tidak ada seleksi hakim. Saat ini diperkirakan ada kekurangan sekitar seribu hakim karena enam tahun tidak ada rekrutmen hakim baru.
Dulu pembuat undang-undang memasang KY sebagai mitra MA untuk menyeleksi calon hakim karena khawatir akan praktik percaloan dan pungli seperti yang terjadi saat ini. Untuk melaksanakan perintah undang-undang, pimpinan MA dan KY pada 2013 pernah menyepakati pembentukan tim seleksi bersama. Tapi di tengah jalan tiba-tiba MA mengajukan judicial review untuk melepas peran KY dalam seleksi itu, dan dikabulkan. Maka, mimpi buruk itu pun terjadi lagi. Dugaan kuat adanya praktik pungli dan percaloan tak terelakkan.
Seperti memutar kaset lama, kita lantas meragukan hasil seleksi itu. Saya jadi teringat pada diskusi saya dengan Profesor Sebastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, di Den Haag, Belanda, pada akhir 2012. Dia mengindikasikan ada model "ijon" dalam seleksi calon hakim dan hakim agung di Indonesia. Menurut hasil penelitian Pompe, ada pengacara mapan yang membiayai calon hakim dan hakim agung dengan berbagai cara. Jika sang calon berhasil masuk institusi kehakiman, itu merupakan "investasi" berharga bagi pengacara tersebut saat kelak memenangkan kliennya di pengadilan.
Masa depan MA sebagai penjaga keadilan di negeri ini sesungguhnya sangat bergantung pada generasi hakim baru. Jika kemudian terjadi dugaan kuat seleksi hakim yang tidak bersih seperti saat ini, masa depannya akan semakin suram. Ketika MA tengah berjuang membersihkan institusinya, kini kedatangan calon hakim baru diwarnai isu pungli dan percaloan. Betapa susahnya membangun sosok-sosok hakim berintegritas kalau sebagian dari mereka terseleksi melalui lorong gelap seperti itu. Apalagi dunia peradilan penuh dengan godaan materi. Hakim-hakim yang tadinya baik bisa larut, apalagi hakim-hakim yang masuknya lewat percaloan dan sistem "ijon" sebagaimana ditengarai Pompe.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulang model seleksi yang dilakukan MA secara tunggal. Undang-Undang Jabatan Hakim perlu kembali memasukkan unsur KY dalam proses seleksi hakim. Saat ini hanya seleksi hakim agung yang melibatkan KY. Mengapa untuk hakim biasa hanya dilakukan MA sendiri? Semua itu demi menjaga marwah MA dan hakim.
MA tidak mungkin mampu menolong dirinya untuk membersihkan diri karena kondisinya sudah sedemikian akut dengan persoalan rendahnya kualitas dan integritas hakim. Sebagaimana dipaparkan Koran Tempo, dalam lima tahun terakhir, hampir setiap tahun ada hakim yang bermasalah, dari kasus suap, tindak asusila, dan lainnya. Maka perlu campur tangan yang konkret dari institusi lain, dalam hal ini pemerintah dan DPR, melalui penataan undang-undang.
Imam Anshori Saleh, Mantan Wakil Ketua Komisi Yudisial
--------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 7 November 2017, dengan judul "Seleksi Hakim dan Masa Depan MA"