Seleksi Capim KPK

Seleksi calon pimpinan KPK (capim KPK) tengah berlangsung dan tidak berbeda dengan seleksi pimpinan KPK jilid I dan II.

Semua calon berbicara keras, tampak memiliki motivasi kuat untuk memberantas korupsi, dan tidak akan terpengaruh atau dipengaruhi oleh kekuasaan atau elite politik. Namun, terbukti dalam perjalanan kepemimpinan KPK, semua pernyataan mereka hanya untuk “memikat” anggota legislatif agar lolos dari seleksi. KPK jilid I saya amati lebih solid,lebih tegas,dan tidak tampak adanya pengaruh kekuasaan atau politisi,tetapi KPK Jilid II tampak gamang, tidak solid, serta terlihat mengabaikan aspek kolektivitas kepemimpinan.

Dan terakhir sangat menyedihkan serta mengecewakan karena berkolaborasi dengan calon/tersangka kasus Wisma Atlet SEA Games sekalipun hanya satu orang pimpinan KPK danpegawailapispertamaKPK. Pasca kriminalisasi Bibit- Chandra tampak pimpinan KPK tidak kompak dan gamang serta tampak “ketakutan” dikriminalisasi. Bahkan pimpinan KPK menolak diberhentikan sementara jika menjadi tersangka sekalipun sebelumnya mereka telah mengetahui isi UU KPK; sikap yang mencerminkan miskin integritas dan kepercayaan diri.

Sikap dan perilaku yang traumatis tersebut dengan cerdik dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk terus menyodok jauh ke dalam lingkup internal KPK sehingga pimpinan lapis kedua dan lapis ketiga KPK telah goyah dan saling curiga serta meluntur solidaritas senasib sepenanggungannya.Sudah tentu akhirnya kondisi itu akan bermuara pada kepentingan kelompok, kekuasaan, dan uang.

Keruntuhan
Bak pepatah,tiada ada asap tanpa api dan bau busuk akan tetap tercium serta menyengat ke mana-mana, begitulah yang kini tengah melanda KPK. Tingkat kepercayaan publik semakin turun,bahkan sebuah lembaga survei menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di bawah Polri—peristiwa yang tidak pernah terjadi selama KPK jilid I.

Jerih payah mempersiapkan pembentukan KPK dengan modal hibah ADB sebesar USD1 juta seketika amblas dengan keterlibatan pimpinan KPK dan pegawai KPK dalam kasus Nazarudin. Apa penyebab pertanda dari “keruntuhan KPK jilid II”? Penyebab utama adalah integritas dan kualitas serta pengalaman pas-pasan pimpinan KPK jauh di bawah kapasitas dan kemampuan teknis hukum pimpinan di lapis kedua, bahkan lapis ketiga.

Sementara kedua lapis tersebut tidak memiliki kewenangan yang setara dengan pimpinan KPK. Mengapa hal ini terjadi? Jelas semuanya berasal dari awal proses seleksi oleh panitia seleksi (pansel) ketika itu yang didominasi mereka yang tidak pernah memahami visi dan misi pembentukan KPK. Bahkan ada dari mereka yang sejak awal (1999) tidak mau tahu dan tidak pernah ikut terlibat dalam persiapan pembentukan KPK sama sekali. Hal ini juga terjadi di Pansel KPK jilid III.

Semakin sulit dipercaya, sebagai pendiri KPK,KPK dalam tekanan publik dan serangan luar yang bertubi-tubi telah membentuk advokasi untuk dijadikan beking. Langkah ini mencerminkan ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri untuk membuktikan bahwa kepemimpinan KPK jilid II solid dan kuat di mata publik. Yang sulit dipercaya bahwa kini juru bicara KPK bukan hanya Johan Budi, melainkan semua pimpinan KPK menjadi juru bicara untuk diri masingmasing sehingga yang tampak ke luar,KPK bukan milik kolektif, melainkan milik individuindividu pimpinan KPK.

Pembentukan komite etik untuk menyelesaikan kasus pimpinan dan pegawai KPK yang diduga terlibat dengan Nazaruddin saya nilai tidak transparan dan tidak etis, bahkan terkesan “melindungi” mereka yang seharusnya dinyatakan bersalah.Hal ini jauh berbeda dengan sidang majelis kode etik kepolisian ketika memeriksa Kompol Arafat dan Sumarni yang terbuka dan dibuka untuk umum dan diliput media massa.

Pesimistis
Berdasarkan pengamatan penulis,kini lembaga KPK yang superbodi berada di ujung tanduk kepercayaan masyarakat luas.Apalagi kasus-kasus megakorupsi bailout Bank Century, BLBI, serta di bidang minyak gas dan bumi masih berjalan di tempat sampai saat ini.Perubahan signifikan yang diharapkan sangat tergantung dari hasil seleksi capim KPK jilid III saat ini.

Saya memiliki insting bahwa keberadaan calon pimpinan KPK baru,siapa pun orangnya, tidak akan banyak membawa perubahan signifikan terhadap kepercayaan publik dalam pemberantasan megakorupsi. Mengapa? Coba tengok berbagai media,termasukmajalah Tempo edisi 28 November 2011, yang secara gamblang menerangkan bahwa sejumlah capim KPK melakukan lobi-lobi ke fraksifraksi dan tokoh parpol. Di antara mereka ada yang mengakui perbuatan tersebut dan selebihnya capim-capim lain tidak ada yang membantahnya.

Dari fakta yang disebutkan dalam majalah Tempotersebut, semakin nyata bahwa siapa pun orang yang terpilih menjadi pimpinan KPK adalah “titipan parpol”. Tentunya kondisi itu telah melanggar prinsip conflict of interest sebagai salah satu pilar integritas kepemimpinan KPK yang terbukti dengan contoh kasus Nazaruddin.

Saya dan publik luas masih tetap berharap agar capim KPK jilid III dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UU KPK dan dijalankan dengan amanah serta integritas tinggi.Saya usulkan, untuk memperkuat kedudukan, tugas, dan wewenang KPK, perlu dilakukan beberapa langkah. Pertama, revisi UU KPK karena telah kedaluwarsa setelah melalui proses sembilan tahun.

Kedua, pembentukan dewan kode etik dari luar pimpinan KPK untuk menjaga kemandirian dan rasa ewuh pakewuh serta sekaligus meniadakan lembaga penasihat di dalam organisasi KPK yang selama ini tidak tampak pengaruhnya terhadap kinerja pimpinan KPK. Ketiga, diusulkan pembentukan lembaga pengawas eksternal KPK untuk memantau dan mengkaji informasi masyarakat tentang kinerja dan perilaku pimpinan dan pegawai KPK. Berikan kesempatan kepada KPK untuk satu periode lagi!

ROMLI ATMASASMITA, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Inisiator KPK 
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 1 Desember 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan