Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi
Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan juga Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keppres ini memang sudah lama dinanti-nantikan, karena dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan bagian dari Ketentuan Penutup UU tersebut, dinyatakan bahwa KPK harus telah melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat satu tahun setelah UU ini diundangkan. Dengan demikian, paling lambat pada 27 Desember 2003 KPK harus sudah melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Pemimpin KPK yang akan dijaring melalui proses seleksi ini akan dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. Untuk melancarkan proses pemilihan dan penentuan calon pemimpin KPK, pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam UU tersebut. Dalam Pasal 30 ayat (3) UU dinyatakan bahwa keanggotaan panitia seleksi terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
Sebagaimana banyak diberitakan, panitia seleksi tersebut sudah terbentuk, lalu mengadakan rapat dan jumpa pers. Mereka juga telah memasang pengumuman di berbagai media massa tentang tata cara pendaftaran para calon pemimpin tersebut. Dalam pernyataannya kepada pers, sebagian dari anggota panitia menyatakan bahwa mereka akan menjaga independensinya. Jika sampai ada pihak yang berupaya intervensi atau mendikte--entah dari Presiden atau Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia--mereka akan keluar dari kepanitiaan seleksi tersebut.
Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua II Panitia Seleksi, mengibaratkan panitia ini sebagai filter yang, agar bisa menghasilkan produk yang benar-benar kredibel dan tepercaya, harus bisa bekerja secara independen. Sementara itu, Todung Mulya Lubis, salah satu anggota, menegaskan bahwa KPK merupakan langkah terakhir dalam memberantas korupsi.
Pernyataan ini dapat dipahami karena selama ini sangat terlihat bahwa tekad untuk memberantas korupsi hanya sebatas slogan. Bahkan media massa banyak menyoroti bahwa tekad elite pemerintah pada awal pemerintahan untuk memberantas korupsi ternyata tidak terlaksana hingga satu tahun menjelang berakhirnya masa pemerintahan ini.
Walaupun sudah menyatakan tekadnya untuk berfungsi sebagai lembaga yang imparsial, ternyata banyak juga sorotan yang muncul di media massa terhadap kepanitiaan tersebut. Di antaranya adalah tuntutan agar proses seleksi harus memperluas partisipasi publik. Dari segi komposisi, bahkan muncul kritik bahwa dari 14 anggota, ternyata yang merupakan unsur pemerintah ada 8 orang, dan unsur masyarakatnya hanya 6 orang. Komposisi semacam ini antara lain menimbulkan kekhawatiran bahwa calon-calon pemimpin dan anggota yang terpilih nantinya berasal dari birokrat-birokrat titipan yang kualifikasinya jauh dari yang dibutuhkan.
Sebenarnya, tanpa ada pernyataan dari siapa pun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 telah memberi arahan agar proses pencalonan dan pemilihan anggota KPK dilakukan secara transparan. Karena itulah, UU tersebut menjabarkan proses tata cara pencalonan dan pemilihan para calon anggota KPK secara detail.
Tidak hanya itu, seandainya telah terpilih nanti, tugas berat masih akan menghadang para anggota KPK. Sepanjang pengetahuan saya, sangat jarang--atau bahkan belum pernah--ada suatu lembaga negara mandiri semacam ini yang dibebani kewajiban oleh UU untuk bertanggung jawab kepada publik. Dalam konteks ini, Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 menugaskan kepada KPK untuk bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. Dalam ayat (2)-nya diatur bahwa pertanggungjawaban publik tersebut dilaksanakan dengan cara: (a) wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; (b) menerbitkan laporan tahunan; dan (c) membuka akses informasi.
Sistem yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance tersebut memang wajar diterapkan mengingat bahwa tugas dan wewenang KPK ini begitu besar dan luas. Tugas-tugas KPK antara lain sebagai berikut: (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); (2) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK: (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana disebutkan tadi, KPK berwenang untuk: mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan TPK; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan TPK; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan TPK kepada instansi yang terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan TPK; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan TPK.
Mengingat besar dan luasnya tugas dan wewenang KPK ini, sangat wajarlah jika masyarakat memberi sorotan yang cukup luas terhadap proses seleksi yang akan dilakukan. Semoga sorotan ini benar-benar menjadi cermin kerinduan masyarakat akan pemberantasan korupsi yang cenderung sudah sangat sistemik di negeri kita. (Satya Arinanto Analis Hukum Dan Konstitusi FHUI)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, Rabu, 8 Oktober 2003