Sekilas Sistem Antikorupsi di Thailand; dan Perbandingannya dengan Indonesia [17/06/04]
Latar Belakang
Pemberantasan korupsi dan sistem akuntabilitas publik sudah menjadi kebijakan publik sejak diberlakukannya UUD 1997 yang dirancang dan didesakan oleh gerakan rakyat sejak awal tahun 1990-an. Korupsi yang menjadi ciri sistem pemerintahan Otorites selama 60 tahun, tidak lagi ditangani secara konvensional, tapi mulai ditangani oleh lembaga baru dengan pendekatan luar biasa (extra ordinary) yang lebih modern dan komprehensif. Sesuai dengan mandat konstitusi, selain dibentuk NCCC (National Counter Corruption Commission) yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, juga perubahan dalam sistem peradilan satu tahap untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan politisi. Bagian lainnya dari sistem antikorupsi dan public accountability yang penting adalah Lembaga Money Laundering (AMLO), Ombudsman, dan Mahkamah Konstitusi, Sistem Peradilan Satu tahap untuk Korupsi Politik, Kebebasan memperoleh Informasi, dan Perlindungan Saksi.
Perubahan radikal itu tidak bisa dilepaskan dari gerakan reformasi konstitusi yang dimotori oleh masyarakat madani di sana, yang selama 5 (lima) tahun sejak awal tahun 1990-an, terus berjuang untuk mengakhiri sistem pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Selama 60 tahun di bawah pemerintahan otoriter, ditandai dengan korupsi yang merajalela dan sistem perencanaan terpusat yang mengabaikan partisipasi masyarakat dan kepentingan kebijakan publik. Sistem hukum dan perundang-undangan yang berlaku saat itu sudah menjadi alat kekuasaan pemerintah yang dahsyat untuk mengatur dan merepresi masyarakat.
Pendek kata, konstitusi baru, secara legal framework memudahkan investigasi korupsi yang melibatkan politisi dan pejabat tinggi. Meskipun begitu, proses reformasi tidaklah berjalan semulus yang diharapkan gerakan sosial di sana. Kompromi politik, Koalisi Pemerintahan yang mudah retak pasca pemerintahan otoriter, dan masih berpengaruhnya elite-elite lama dalam pemerintahan menjadi salah satu faktor penghambat jalannya reformasi. Namun karena tekanan terus menerus dari media dan LSM proses reformasi terus berlanjut dan berhasil mencapai kemajuan yang berarti.
Dalam laporan ini akan difokuskan pada NCCC dan bagaimana bekerjanya pemberantasan korupsi dalam Konstitusi baru. Bagaimana juga perbandingannya dengan konsep KPKPN dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Semua bahan tulisan ini didasarkan dari hasil Studi Tour ke Thailand yang diselenggarakan oleh Asia Foundation.
National Counter Corruption Commision (NCCC)
NCCC, sebuah komisi independen dibentuk pada 25 April 1999, meski secara resmi mulai bekerja sejak 18 November 1999. Lembaga ini menggantikan Commision of Counter Corruption (CCC) yang telah ada sejak tahun 1975, yang dinilai tidak independen karena berada di bahwa otoritas Perdana Menteri dan karenanya tidak efektif membasmi korupsi. Meskipun sudah diatur di dalam konstitusi, NCCC secara operasional diatur melalui undang-undang organic tersendiri. ( Organic Act. On Counter Corruption 1999).
Meskipun masih relatif muda, saat ini NCCC menjadi salah satu lembaga mekanisme akuntabilitas yang relatif dikagumi oleh masyarakat, karena memiliki kewenangan yang cukup besar dan mulai menampakan hasil-hasil nyata. Ada 8000 kasus diterima , dan 4000 kasus sedang ditangani, dan 10 % kasus sudah dilimpahkan ke Pengadilan.
Berbeda dengan CCC, yang hanya berwenang untuk mengusut korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi. NCCC punya kewenangan untuk mengusut dan menuntut politisi, selain pejabat. CCC bersifat reaktif, memiliki kewenangan yang terbatas dalam penyelidikan dan tidak memiliki kewenangan penuntutan.
Tetapi NCCC tidak hanya melakukan pendekatan represif melalui penuntutan ke pengadilan tapi juga punya kewenangan untuk mengajukan pemecatan terhadap politisi, pemeriksaaan kekayaan pejabat atau politisi. Dalam menunjang fungsi penyelidikannya, NCCC diberi kekuasaan yang besar untuk mendapatkan domuken, menangkap dan menahan tertuduh atas permintaan pengadilan.
Dalam fungsi preventif, NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran masyarakat, dengan melibatkan media dan LSM dengan berbagai pendekatan. Pendekatan transparansi yang ditempuh NCCC, terutama dalam pemeriksaan kekayaan pejabat dan politisi, telah sukses secara efektif mengundang partisipasi LSM dan Media Massa dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi, yang masih diwarnai oleh kompromi-kompromi politik. Untuk menjaring laporan: dengan melakukan program perlindungan saksi, penyadaran masyarakat antikorupsi di tiap region.
Proses Pemilihan.
NCCC dipimpin oleh 9 (sembilan) orang komisioner, yang dipilih oleh Senat dan diangkat oleh Raja. Mereka dipilih dari 18 orang calon yang diajukan oleh sebuah Panitia Seleksi. Panitia Seleksi ini,terdiri dari Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Mahkamah Peradilan Tata Usaha, rektor orang universitas yang dipilih oleh mereka sendiri dan seorang perwakilan dari partai politik yang punya kursi di paremen (diilih oleh mereka sendiri). Sementara Presiden NCCC dipilih dan diangkat sendiri oleh para komisioner terpilih tersebut.
Anggota komisioner selain diisyaratkan harus berumur lebih dari 45 tahun, juga mereka memiliki integritas yang tinggi. Salah satu syarat yang banyak kritik dan controversial karena secara tidak langsung melanggengkan kekuatan-kekuatan lama adalah ketentuan bahwa mereka harus pernah menjadi pejabat tinggi, setara dengan jabatan menteri, Ombudsman, anggota Komnas, tidak lebih rendah dari deputi Jaksa Agung (Prosecutor-General), Dirjen atau seorang Profesor. Ketentuan ini melahirkan kesulitan besar dalam mencari kandidat anggota komisoner karena terbatasnya jumlah calon komsisioner yang memiliki integritas dan standar yang tinggi, sementara sumber daya yang ada sudah terserap di lembaga-lembaga baru seperti KPU, Komnas Ham, Komisi Konstitusi dan sebagainya. Masa jabatan mereka selama 4 (empat) tahun.
Pemeriksaan Kekayaan.
Pasal 291 UUD 1997 mewajibkan kepada pejabat tinggi atau birokrat senior dan mereka yang menduduki jabatan-jabatan politik untuk menyampaikan laporan kekayaan kepada NCCC. Yaitu meliputi Perdana Menteri, anggota parlemen, Senator, gubernur dan anggota eksekutif pemerintahan lokal. Selain politisi , pejabat negara seperti Ketua MA dan wakilnya, Ketua Pengadilan Administrasi Negara dan wakilnya, Jaksa Agung, Ombudsman dan direktur jenderal dan yang selevelnya, juga terkena ketentuan yang sama. Laporan kekayaan tersebut, tidak saja menyangkut dirinya, juga istri dan anaknya, dan harus dikirimkan 30 hari setelah menduduki jabatannya dan setelah meninggalkan jabatannya, dan setiap tiga tahun bagi pejabat yang masih menduduki jabatannya.
Fungsi pemeriksaan kekayaan itu membuat NCCC menjadi lembaga yang sangat ditakuti para politisi dan pejabat. Dalam mengundang partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan kekayaan pejabat, NCCC selain membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dan menyebarluaskan laporan kekayaan tersebut. Strategi itu cukup membuahkan hasil. Sebuah LSM kecil yang bergerak dibidang advokasi yaitu People