Sekali Lagi, Usia Hakim Agung

Wacana perpanjangan usia ketua Mahkamah Agung yang telah dinyatakan pensiun oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 muncul ke permukaan.

Wacana perpanjangan usia hakim agung, dari 65 tahun menjadi 70 tahun pernah dilontarkan Ketua MA Bagir Manan. Namun, saat itu wacana ini tak mendapat respons dari pemerintah atau DPR. Kini, ketika usia Bagir Manan dan kawan-kawan dalam masa kritis, semua panik. Pemerintah maupun DPR mencoba merevisi UU No 5/2004, termasuk diskusi tentang perpanjangan usia hakim agung menjadi 70 tahun.

Bukan masalah utama

Revisi menyeluruh UU MA tidak gampang dilakukan karena harus disesuaikan dengan revisi UU Komisi Yudisial yang hingga kini masih tak jelas perkembangannya. Revisi terbatas atau penerbitan keppres/perpres perpanjangan sebagai jalan pintas, jalan darurat dengan dalih ”agar tak ada kekosongan jabatan”, amat berisiko bagi perkembangan organ pendukung kekuasaan kehakiman lain, terutama KY terkait pengawasan hakim.

Kepanikan pemerintah dan DPR menimbulkan kecurigaan publik. Mungkin ada yang berlogika, saat terjadi ”kepanikan”, perpanjangan usia hakim menjadi 70 tahun bisa menjadi pembenaran dan diterima masyarakat. Namun, bagaimana dengan masalah yang lebih substansial terkait citra hakim dan kelembagaan Mahkamah Agung?

Masalah usia hakim dan perpanjangan usia hakim agung sebenarnya bukan masalah utama untuk Indonesia saat ini. Persoalan utama terletak pada bagaimana memperbaiki citra para hakim agung dan kelembagaan MA. Hal ini dikarenakan banyak putusan MA yang dinilai kontroversial karena aneh dan tidak masuk akal. Bahkan, banyak putusan MA yang berbeda-beda meski fakta hukum yang sama.

Bukan hal aneh bila dua perkara yang sama fakta, sama obyek, dan sama subyek diputus berbeda oleh dua tim hakim agung MA. Berbagai pertimbangan hukum pun beragam dan tidak masuk akal. Sementara ketelitian administrasi MA masih amburadul, terkesan administratur MA lebih banyak menggunakan copy and paste dalam membuat konsep-konsep putusan kasasi sehingga banyak yang salah ketik.

Jadi, bagaimana mungkin berbicara tentang perpanjangan usia hakim agung, sementara kita membiarkan citra hakim agung dan kelembagaan peradilan terus memburuk. Maka, sudah saatnya citra hakim agung diperbaiki. Perbaikan citra hakim agung harus dimulai dengan revisi UU KY agar KY memiliki kewenangan eksklusif untuk menjadi pengawas dan penilai kinerja hakim- hakim, termasuk hakim agung dan hakim konstitusi.

Figur ketua MA

Sementara memperbaiki citra MA harus dimulai dari mencari figur ketua MA yang baru sebagai sosok yang harus bersih dari kontaminasi apa pun. Kelembagaan MA ini menjadi penting karena dampak putusannya tidak saja memengaruhi masalah yang ada di dunia hukum, tetapi juga merambah masalah sosial, ekonomi, dan politik. Dunia hukum dianggap tidak aman bagi investor dan tidak berpihak kepada keadilan, kepastian hukum, dan kebebasan pers. Karena itu, terpilihnya sosok ketua MA yang bersih dan berwibawa akan berpengaruh positif bagi investor dan kembalinya kepercayaan masyarakat kepada MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan.

Setelah dua masalah itu diatasi, lalu bagaimana kita memulai proses panjang regenerasi para hakim, termasuk hakim agung, secara berkelanjutan. Dunia peradilan kita memerlukan wajah- wajah baru yang lebih energik dan berkemampuan untuk menjadi hakim dan hakim agung. Bagi MA, sebagai organ pemutus perkara, yang dibutuhkan dari hakim agung sekarang bukan ”kebijaksanaan yang lebih”, tetapi kemampuan intelektual dan fisik yang lebih untuk memeriksa, mengadili, dan memutus semua perkara yang dihadapi, baik perkara kakap maupun kelas teri. Dengan kata lain, mereka harus sanggup menghadapi perkara korupsi triliunan sampai perkara maling ayam.

Sebagai pabrik putusan, MA memerlukan para hakim yang memiliki energi luar biasa. Selain itu, sebagai benteng terakhir keadilan, pembentuk hukum dan pembaru hukum, MA membutuhkan orang-orang yang benar- benar berkualitas, berintegritas, dan mumpuni.

Ke depan, dunia hukum tidak ingin melihat hakim agung dan kelembagaan MA yang citranya memburuk. Tidak bisa dibayangkan kerugian masyarakat dan dunia hukum jika kita memiliki hakim agung yang harus bekerja seumur hidup atau melihat hakim agung ala robot yang menghasilkan karya-karya yudisial buruk, bahkan menjadi pembusuk yang invisible di tubuh MA. Dengan demikian, tak ada gunanya kita berpolemik tentang perpanjangan usia hakim agung karena hanya akan mengaburkan masalah utama kita.

AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan