Sejumlah Pejabat Tersangka Korupsi
Mereka diancam hukuman penjara 20 tahun.
Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Chalik Saleh dan sejumlah anggota Dewan setempat diduga terlibat korupsi dana proyek Taman Wisata Rimbo. Kasus pembangunan taman yang mempunyai water boom senilai Rp 21 miliar itu sedang diusut Kejaksaan Tinggi Jambi.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi Kemas Yahya Rahman kepada Tempo mengatakan proyek itu penuh dengan akal-akalan. Seperti ada perampok di siang bolong, ujarnya memberi perumpamaan.
Saya bertekad mengusut tuntas. Siapa yang terlibat akan diproses, Kemas menegaskan kemarin.
Kemas mengaku sudah menetapkan enam tersangka, lima di antaranya ditahan. Mereka adalah Samawi Darihim, bekas Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jambi; Aken Purba, pemimpin pelaksana kegiatan; Sudiro, kontraktor pelaksana; Sitorus, Kepala Bagian Perbendaharaan Biro Keuangan Jambi; dan Rahman, penanda tangan cek selaku pemegang kas.
Sedangkan satu tersangka lainnya, yaitu Ade Santo, adalah pemilik perusahaan PT Bina Laksana. Ade sempat ditahan, tapi dibebaskan karena sebagian barang bukti berupa dokumen perusahaannya dipalsukan.
Mereka diancam undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. Kemas menambahkan fokus pemeriksaan akan diarahkan pada aliran dana proyek. Saya sudah mengantongi izin dari Bank Indonesia, tuturnya.
Hasil pemeriksaan awal menyebutkan para tersangka berhasil menguras Rp 6,5 miliar dari total anggaran proyek Rp 21 miliar. Dana tersebut dibagi-bagikan kepada Chalik Saleh; Zurman Manap, Ketua DPRD Provinsi Jambi; Soewarno Surinta, Wakil Ketua DPRD; dan Chairul Naim, Wakil Ketua DPRD.
Uang itu keluar melalui Bank Pembangunan Daerah Jambi. Kami sedang mencari tahu ke mana aliran dana itu selanjutnya. Dengan demikian, akan diketahui otak rekayasa proyek, papar Kemas.
Bentuk korupsi yang diperankan mereka, antara lain proyek yang mestinya rampung 2005 ternyata sampai akhir tahun belum dikerjakan. Bahkan pertengahan
November 2005 proyek baru ditenderkan.
Berselang satu bulan kemudian, tepatnya 15 Desember, kontrak kerja diajukan. Pada 20 Desember, pelaksana proyek minta pencairan 20 persen dana dari Rp 21 miliar. Saat itu juga diajukan pelunasan pekerjaan sebesar Rp 2,5 miliar.
Yang lebih aneh lagi, menurut Kemas, esoknya, yaitu 21 Desember, keluar dua lembar cek tunai masing-masing bernilai Rp 4 miliar dan Rp 2,5 miliar. Padahal aturan pencairan uang proyek tidak boleh dengan cek tunai, tapi menggunakan rekening perusahaan. SYAIPUL BAKHORI
Sumber: Koran tempo, 12 Agustus 2006