Segerobak Instruksi SBY
Tangkap Nazaruddin. Usut pelaku penganiayaan aktivis ICW, Tama S Langkun. Terapkan hukum tanpa pandang bulu. Pemerintah menjamin agenda pemberantasan korupsi secara nasional. Saya (SBY) sangat adil dan tidak ragu-ragu dalam pemberantasan korupsi. Katakan tidak pada korupsi!
Ada banyak lagi instruksi, slogan, pidato, dan pernyataan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—sebagai kepala negara dan pemerintahan ataupun bagian dari partai politik—yang semakin hari semakin jauh panggang dari api.
Di sisi lain, Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyatakan, hanya 17 dari 34 kementerian yang menjalankan instruksi Presiden (Kompas, 8/7). Artinya, setengah instruksi, arahan, dan tugas yang diberikan kepada kementerian dilaksanakan dan setengah lagi gagal.
Apa yang disampaikan UKP4 ini menarik dicermati. Pertanyaan krusialnya, apakah masalah di balik tidak terlaksananya sejumlah instruksi Presiden terletak pada kemalasan, kapasitas, dan kepatuhan para menteri atau sebaliknya, pada ketidakmampuan Presiden Yudhoyono memimpin jalannya pemerintahan. Pertanyaan ini tentu saja jawabannya tidak sederhana. Hal ini karena kita tidak ingin kegagalan pemimpin dialihkan begitu saja menjadi tanggung jawab bawahan.
Khusus soal pemberantasan korupsi, tingkat pelaksanaan instruksi bukan tidak mungkin jauh lebih rendah. Dengan mudah kita bisa menemukan fakta-fakta yang bertolak belakang dengan janji, instruksi, dan pidato Presiden. Sebut saja inpres tentang penuntasan kasus Gayus dan mafia pajak. Tiga belas surat sakti yang ditandatangani Yudhoyono tinggal sejarah di atas kertas. Sampai saat ini, pelaku suap Rp 28 miliar tidak terungkap dan kasus Rp 75 miliar tidak jelas perkembangannya. Hanya aktor kelas teri yang terjerat skandal besar ini. Pembenahan institusi pajak, kepolisian, dan kejaksaan? Jangan harap!
Jika ditarik ke belakang, mulai pembentukan tim pemburu koruptor, Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009, kriminalisasi KPK, rekening gendut perwira Polri, penganiayaan Tama S Langkun, hingga banyak masalah lain, semua tenggelam bersama waktu. Walau demikian, tampaknya Presiden tak lelah membuat instruksi. Dalam kasus suap wisma atlet yang diduga melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Yudhoyono kembali mengeluarkan perintah kepada Kapolri untuk menangkap Nazaruddin.
Tangkap Nazaruddin
Tentu boleh-boleh saja kita tidak percaya dengan instruksi Presiden ini. Membaca tren perintah hampa yang berlangsung sejak jilid pertama pemerintahannya, rasanya memang berlebihan jika kita berharap banyak pada komitmen Yudhoyono, baik sebagai Presiden maupun Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Maka, ada benarnya ungkapan peribahasa yang disampaikan Buya Syafii Maarif, ”Janganlah kau berharap tanduk pada kuda”.
Pertama, perintah tersebut lebih menonjolkan sisi kosmetik politik ketimbang sebuah instruksi yang dikawal dan dipastikan implementasinya. Jangan lupa, bukan kali ini saja Yudhoyono membuat instruksi kepada Kapolri. Poin ketiga surat Presiden pada kasus aktivis ICW, Tama S Langkun, ada instruksi untuk Kapolri. Satu tahun berselang (9 Juli 2011), apa yang dihasilkan? Tak setitik pun kebenaran terungkap. Bahkan, kasus rekening gendut Polri yang menjadi inti masalah saat itu bisa jadi tak lagi ada di ingatan Presiden.
Kedua, sisi yang lebih substansial dan penting dalam kasus yang melilit Nazaruddin justru tak disentuh. Presiden Yudhoyono lebih heboh menanggapi SMS gelap dan kader Partai Demokrat lebih sibuk dengan isu-isu murahan, seperti soal Mr A, alasan sakit Nazaruddin, dan laporan pencemaran nama baik.
Fakta bahwa di satu sisi kesalahan Nazaruddin dianggap sangat fatal dan mempermalukan Partai Demokrat dan di sisi lain ia belum dipecat sebagai anggota partai dan masih menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat adalah bukti kongkalikong ini. Bisa jadi akan ada asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa pemecatan yang diundur-undur tersebut adalah upaya memelihara ruang barter politik. Kita tahu, dalam posisi bendahara, Nazaruddin sangat mengerti aliran dana, pemain dalam tubuh partai, dan bahkan pengusaha penyumbang partai.
Bagaimana dengan persoalan dana politik partai sekitar Rp 13 miliar yang berasal dari sumbangan Nazaruddin, seperti diungkapkan salah satu tokoh di dewan kehormatan partai tersebut? Persoalan-persoalan inti seperti tidak tersentuh dan terkesan sengaja dijauhkan dari pendengaran publik. Padahal, isu dana politik adalah salah satu inti masalah. Tidak mungkin sebuah partai politik bisa memberantas korupsi jika dana politik berasal dari korupsi.
Uang haram
Segerobak instruksi Presiden di atas akan semakin tidak berguna jika Presiden Yudhoyono tak melakukan hal luar biasa dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, sekaligus penguasa ”sebenarnya” di Partai Demokrat.
Isu dana politik dinilai sebagai fondasi utama yang harus dibenahi. Dalam jangka pendek, Partai Demokrat harus berani mengembalikan sumbangan Nazaruddin dan mendorong penerapan pembuktian terbalik tentang asal-usul sumbangan tersebut. Membuka kemungkinan audit independen terhadap dana politik dan kapan perlu mendeklarasikan kekayaan para pengurus utama partai patut dipertimbangkan secara serius.
Konsep di atas tentu saja tidak muncul tiba-tiba. Pasal 7 Ayat (2) Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) merekomendasikan pengaturan tentang transparansi dana politik dan Pasal 20 UNCAC tentang illicit enrichment atau keseimbangan antara kekayaan pejabat publik dan penghasilannya yang sah. Di beberapa negara, seperti Argentina dan Australia, hal ini diatur dalam konteks unexplained wealth.
UNCAC kita ratifikasi sejak tahun 2006, tepatnya dalam era pemerintahan Yudhoyono. Dengan demikian, menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi UNCAC pada lingkaran terdekat Yudhoyono akan menjadi salah satu alat ukur apakah Yudhoyono memang konsisten dalam pemberantasan korupsi. Ini sekaligus bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk penyelamatan kepemimpinan Yudhoyono yang kian rapuh.
KPK tentu saja tidak boleh terseret pada ”badai politik” Partai Demokrat ini. Fokus pada kasus suap wisma atlet, menelurusi aliran dana dan transaksi keuangan mencurigakan, menghentikan transaksi keuangan, serta menyita dan memblokir aset-aset Nazaruddin ataupun aset lain terkait dengan perkara ini dengan menggunakan UU Pencucian Uang adalah keharusan. Oleh karena itu, kita berharap KPK bekerja serius dan tidak ikut-ikutan mengumbar ”segerobak janji”.
Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Juli 2011