Segera Bentuk Lembaga Perlindungan Saksi
ADA beberapa hal penting yang dapat dipertanyakan tentang konsep, implementasi dan realisasi perlindungan terhadap saksi di negeri ini. Setengah dasawarsa lalu, sekitar tahun 2002 beberapa kalangan bergelut tentang bagaimana mengupayakan perlindungan yang nyata terhadap saksi. Salah satu prioritas wacana saat itu, Indonesia harus memiliki sebuah ketentuan hukum yang tegas, baik substansi atau pun kelembagaan yang mampu melindungi para saksi, korban ataupun pelapor yang seringkali berada di posisi minor pada penegakan hukum Indonesia. Hingga, pada 11 Agustus 2006 akhirnya diundangkanlah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).
Meskipun dengan beberapa catatan kritis, keberadaan UU PSK disambut positif berbagai kalangan. Namun, hal tersebut terus menyisakan persoalan hingga lewat satu tahun setelah UU PSK diundangkan. Kekuatiran sulitnya implementasi di lapangan karena terbentur aspek kelembagaan terbukti dengan tidak kunjung terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi & Korban (LPSK) bahkan hingga lewat satu tahun setelah diundangkan. Padahal, pasal 45 UU PSK secara tegas berbunyi, LPSK harus dibentuk paling lambat satu tahun setelah undang-undang ini diundangkan.
Tenggat waktu satu tahun yang disebutkan di UU PSK tentunya bersifat imperatif. Dalam artian harus dipatuhi pemerintah sebagai pihak yang mempunyai kewajiban sekaligus kewenangan untuk membentuk LPSK. Hal inilah yang tidak dapat dipenuhi pemerintah, karena bahkan hingga tanggal 21 Agustus 2007 pun, saat Koalisi Perlindungan Saksi mengadakan pertemuan di DPR-RI guna membicarakan tindak lanjut dan implementasi UU PSK, belum terdengar kabar tentang perkembangan pembentukan LPSK.
Sebagai sebuah lembaga mandiri yang bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban, LPSK mempunyai arti signifikan dalam UU PSK. Tingkat urgenitas, tugas, dan kewenangan yang tinggi menjadikan LPSK terposisikan sebagai sebuah entitas penting atau inti dari konsepsi perlindungan saksi dan korban. Secara sederhana, tidak kunjung terbentuknya LPSK membawa konsekuensi terancam mandulnya UU PSK.
Padahal, saksi merupakan unsur yang sangat prinsip pada penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam ruang lingkup pemberantasan korupsi. Dari berbagai perkara korupsi yang kandas ditengah perjalanan terlihat bahwa potensi ancaman, intimidasi, dan sogokan terhadap saksi seringkali terjadi. Bahkan, laporan atas dasar pencemaran nama baik terhadap pelapor pernah dilakukan. ICW mencatat setidaknya terdapat 13 kasus intimidasi dan ancaman terhadap saksi pasca diundangkannya UU 13/2006. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. JIka boleh dianalogikan, maka ketentuan tentang perlindungan saksi adalah lobang besar dalam konstruksi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Artinya, perlindungan yang serius dan total terhadap saksi merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya reformasi hukum kedepan. Hal inilah yang dinafikan sedemikian rupa oleh pihak pemerintah.
Setidaknya demikianlah pembicaraan awal yang dipaparkan oleh Koalisi Perlindungan Saksi dalam pertemuan dengan dengan fraksi PDI-P di Gedung Nusantara sekretariat DPR-RI, pukul 13.00 WIB, Selasa 21 Agustus 2007 lalu. Emerson Yuntho, Koordinator Bagian Hukum dan Monitoring ICW mengungkapkan, dari berbagai aspek yang menghambat realisasi kongkrit UU PSK, sangat kurangnya komitmen politik dan itikad baik pemerintah merupakan hal paling mendasar yang menjadi penghalang. Sehingga, harus dilakukan dorongan-dorongan bahkan desakan yang terus menerus baik dari kalangan DPR atau pun kalangan masyarakat. Atas dasar itulah, Koalisi Perlindungan Saksi melakukan pertemuan dengan pihak DPR dengan harapan DPR dapat memaksimalkan fungsi pengawasan, anggaran ataupun kewenangan lainnya dalam rangka implementasi perlindungan saksi yang efektif.
Belum terbentuknya LPSK hingga lewat satu tahun setelah diundangkannya UU 13/2006 dinilai berhubungan erat dengan terlambatnya proses seleksi yang dilakukan pemerintah. Merujuk pada Pasal 19 UU, pihak yang mempunyai kewenangan melakukan proses seleksi untuk pertama kali adalah Presiden dengan membentuk panitia seleksi.
Tahapan awal proses seleksi memang telah dilakukan presiden melalui penerbitan Pepres No. 13 Tahun 2007 tentang Susunan Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Kepres No. 7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, Pepres dan Kepres tersebut ternyata baru diterbitkan pada 31 Maret 2007, atau selang sekitar 5 bulan dari batas akhir amanat undang-undang untuk membentuk LPSK. Hal inilah yang dinilai sebagai salah satu bentuk sangat rendahnya itikad baik pemerintah untuk mengafirmasi perlindungan terhadap saksi dan korban.
Seperti diungkapkan Fultoni dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), salah satu lembaga yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi, bahwa dugaan tidak adanya keseriusan pemerintah membentuk LPSK terlihat dari terlalu dekatnya jarak antara pembentukan panitia seleksi dengan limitasi waktu yang ditentukan undang-undang. Selain itu, kelalaian yang berakibat tidak terpenuhinya amanat UU 13/2006 dapat dikorelasikan dengan potensi pelanggaran, atau minimal tidak terlalu diindahkannya undang-undang oleh presiden. Hal ini dapat juga dikualifikasikan sebagai dugaan pelanggaran sumpah jabatan presiden, yakni untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya, tegas Toni.
Menanggapi pemaparan dari pihak Koalisi Perlindungan Saksi, 4 anggota DPR-RI dari fraksi PDIP yang terdiri dari Gayus Lumbuun, Soepomo Sintukwasito, Wila Chandrawita Supriadi, dan I Nyoman Gunawan menyambut positif upaya memaksimalkan impelentasi perlindungan saksi dan korban yang diusung rekan-rekan koalisi. Seperti yang diungkapkan Gayus Lumbuun, kami mengapresiasi inisiatif aktif yang dilakukan teman-teman koalisi, dan akan secara serius melanjutkan pembicaraan di Komisi III dan bagian anggaran. Ditambahkannya, persoalan yang juga krusial berhubungan dengan anggaran dan pendanaan kelembagaan. Hal tersebut yang baru-baru ini menjadi perbincangan di kalangan Departemen Keuangan.
Senada dengan itu, Wila Chandrawita, anggota PAW yang menggantikan Marisa Haque mengungkapkan bahwa persoalan perlindungan saksi dan korban tidaklah semata berada pada pembentukan LPSK, akan tetapi juga tentang penyusunan anggaran, perencanaan organisasi, bahkan program jangka panjang LPSK tersebut. Karena itu, pembicaraan selasa siang tersebut seharusnya ditindaklanjuti bahkan hingga di tingkatan penyusunan APBN periode berikutnya.
Gegap gempita sosialisasi dan kampanye pemerintah tentang konsistensinya memberantas korupsi terkesan timpang dengan sikap setengah-setengah yang dilakukan untuk mendukung implementasi perlindungan saksi dan korban. Padahal diketahui, UU PSK merupakan salah satu bagian prinsip dari upaya sistematis pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal yang sedikit mengejutkan, ketika sikap dan tindak lanjut pemerintah dalam menyiapkan peraturan pelaksana sebuah undang-undang ternyata seolah terpisah menjadi semacam kesenjangan. Kesan yang menguat dalam pembicaraan antara koalisi dengan pihak DPR RI, bahwa pemerintah sepertinya cenderung lebih serius menyikapi undang-undang yang diusulkan dari ekesekutif, dan sebaliknya, cenderung setengah hati bersikap terhadap undang-undang inisiatif DPR. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Karena sebuah undang-undang, apalagi berhubungan dengan kepentingan publik yang lebih luas seharusnya diprioritaskan implementasi dan penegakannya. Karena itu, masyarakat harus mendorong, kapan perlu mendesak pihak yang tidak berkomitmen penuh terhadap perlindungan saksi, pemberantasan korupsi dan reformasi hukum di Indonesia. (*)
Febri Diansyah