Segera Bentuk BPJS dan BPRS….!

Press Release ICW

Pemerintah dan DPR harus segera mensahkan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan membentuk PP (Peraturan Pemerintah) tentang BPRS. Pembentukan dua badan ini diamanatkan oleh UU No. 49/2004 tentang SJSN dan UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit. Dua badan penting guna meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit bagi pasien terutama pasien miskin.

BPJS akan menjadi penyelenggara jaminan sosial kesehatan yang akan menjamin biaya pengobatan seluruh rakyat Indonesia (universal coverage) diberbagai layanan kesehatan pada penyedia layanan kesehatan termasuk rumah sakit. Dengan penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan oleh BPJS, maka tidak ada lagi pasien terlantar, mengalami diskriminasi, ataupun ditolak rumah sakit karena tidak mampu membayar pengobatan. Selain itu, pembentukan BPJS diharapkan mampu mendorong perbaikan pada sistem kesehatan Indonesia  terutama pada upaya preventif dan promotif kesehatan, sistem rujukan kesehatan berjenjang serta pengendalian harga dan ketersediaan obat. BPJS diharapkan bersinergi dengan pengelola rumah sakit dalam penetapan tarif berobat sehingga pembiayaan rumah sakit tidak mengganggu sustainabilitas pembiayaan rumah sakit.

Dipihak lain, BPRS diharapkan mampu menjadi lembaga kontrol kualitas pelayanan rumah sakit. Kontrol BPRS dijalankan dengan membangun mekanisme komplain (complaint mechanism) serta menerima pengaduan pasien rumah sakit. Pengaduan pasien rumah sakit dijadikan dasar untuk mendesak rumah sakit memperbaiki pelayanannya pada pasien. Hal ini sesuai dengan UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dimana rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan publik berkewajiban memperbaiki pelayanan publik setelah menerima keluhan pasien sebagai pengguna pelayanan publik.

Aksi “Dukun Palugada”
Aksi ICW dan keluarga mantan pasien rumah sakit merupakan kritik atas masih buruknya pelayanan rumah sakit. Berdasaran survey CRC (Citizen Report Cards) ICW tahun 2009-2010 pada 23 rumah sakit Jabodetabek ditemukan tidak ada perubahan signifikan dalam pelayanan rumah sakit bagi pasien miskin pemegang kartu Jamkesmas, Jamkesda, Gakin dan SKTM. Pelayanan rumah sakit buruk tahun 2009 seperti pelayanan administrasi rumit dengan antrian panjang, uang muka, pelayanan medis, obat, pungutan dan lain sebagainya masih dialami oleh pasien miskin ditahun 2010.

Dukun Palugada (aPA Lu bUtuhkan, GuA adA) menerima pasien terutama pasien miskin yang ditelantarkan, didiskriminasi, mengalami malpraktik ataupun ditolak rumah sakit. Dukun palugada dapat mengobati segala jenis penyakit dengan pelayanan yang “lebih baik” dari rumah sakit tanpa administrasi, uang muka, obat gratis, dan ramah. Sementara, “penolakan halus” rumah sakit Indonesia bagi pasien miskin dengan alasan tempat tidur penuh, alkes dan obat habis, dokter spesialis tidak tersedia merupakan fakta yang sering ditemui oleh pasien miskin.  Oleh karena itu, pasien rumah sakit terbelah menjadi dua. Kelompok pasien miskin mencari alternatif pengobatan pada dukun palugada sedangkan kelompok pasien kaya akhirnya berobat pada rumah sakit luar negeri.

Rekomendasi
Terkait masalah ini kami merekomendasikan hal-hal berikut:

DPR : Menghentikan perdebatan tentang konsep dan bentuk BPRS. DPR bersama pemerintah harus memprioritaskan mensahkan RUU BPJS menjadi undang-undang. DPR dan Pemerintah harus menyingkirkan seluruh kepentingan politik-bisnis dan mendahulukan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Kemenkes : Segera menyelesaikan Rancangan PP tentang BPRS sebagaimana diamanatkan UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Kemkes menggunakan seluruh kewenangannya dalam menindak dan memberi sanski pada penyelenggara dan pelaksana pelayanan rumah sakit yang terbukti melakukan malpraktik, menelantarkan pasien, mendiskriminasi dan menolak pasien miskin.

Ombudsman : Mengawasi dan mendesak rumah sakit untuk membangun standar pelayanan dan memperbaiki pelayanannya terutama bagi pasien miskin.

Pemprov/Pemda : Menindak rumah sakit yang terbukti melakukan malpraktik, menelantarkan pasien, mendiskriminasi dan menolak pasien miskin.

Jakarta, 4 Maret 2011
Indonesia Corruption Watch

Febri Hendri A.A (Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan