Sederhanakan Soal Izin

Izin presiden untuk memeriksa kepala daerah yang menjadi tersangka atau saksi sebaiknya disederhanakan. Materi perkara dan kelengkapan alat bukti sebaiknya tidak menjadi syarat untuk meminta izin presiden.

”Setkab atau Setneg itu bukan penegak hukum sehingga mereka tidak seharusnya menilai suatu perkara. Kejaksaan Agung juga sebenarnya tidak perlu menyertakan kelengkapan materi perkara untuk meminta izin, cukup kelengkapan administrasi seperti KTP dan sejenisnya,” kata pakar hukum Universitas Gadjah Mada, Fajrul Falaakh, Senin (11/4) di Jakarta.

Tercatat sejak tahun 2005 hingga sekarang ada 61 kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, yang pemeriksaannya terhambat oleh Kejaksaan Agung. Izin yang diajukan Kejagung kebanyakan tertahan di Sekretariat Kabinet (Setkab).

Izin pemeriksaan tersangka korupsi Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, misalnya, sudah empat bulan tertahan di Setkab setelah sebelumnya bolak-balik antara Kejagung dan Setkab. Hal itu terjadi karena Setkab meminta kelengkapan berkas perkara, termasuk alat bukti adanya kerugian negara.

Menurut Fajrul, harus dibuat aturan yang lebih sederhana dan jelas antara Kejagung dan Setkab. Izin presiden pada dasarnya tidak boleh menghambat penyidikan. Bahkan, jika presiden menolak memberi izin sekalipun, kejaksaan tetap bisa memeriksa.

Secara terpisah, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan, permintaan izin belum ada yang sampai ke meja presiden. ”Satu potong pun belum ada yang di meja presiden,” ujar Basrief.

Menurut Basrief, berkas permintaan izin masih diproses di Setkab. Sebelum disampaikan ke presiden, berkas harus lengkap. ”Berkas yang disampaikan ke presiden harus benar-benar memenuhi unsur-unsur pidananya,” ujar Basrief.

Basrief juga mengatakan, meskipun UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memperbolehkan Kejagung memeriksa tanpa izin presiden jika sudah lewat batas waktu dua bulan, Kejagung tetap akan menunggu izin dari presiden. ”Jangan sampai nantinya ada perbedaan persepsi sehingga tidak diterima pengadilan,” kata Basrief.

Secara terpisah di Kupang, John Kotan (pakar hukum Undana, Kupang), Fras Rengka (pakar hukum pidana Unika Widya Mandira, Kupang), dan Niko Pira Bunga (pengamat hukum dan politik Undana) berpandangan bahwa ruang 60 hari itu menyulitkan penyidik karena dihitung sejak permohonan memeriksa kepala daerah diterima presiden. ”Hambatannya adalah penyidik tentu saja kesulitan mengetahui secara pasti kapan permohonan itu diterima presiden,” papar Niko.

John mengusulkan persyaratan izin cukup diganti pemberitahuan dari penyidik. Pemeriksaan tidak perlu harus menunggu izin presiden atau setelah 60 hari menunggu. Semestinya pemeriksaan bisa langsung dilakukan sesaat setelah penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada presiden.

Frans mencatat tidak sedikit UU, termasuk ketentuan pemeriksaan kepala daerah, sengaja dibuat kabur. Salah satu kemungkinannya adalah pembuat tidak bersih atau terkait korupsi. Kemungkinan lain adalah DPR tidak mampu melihat produk hukum terdahulu secara komprehensif. (FAJ/ANS)
Sumber: Kompas, 12 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan