Sebulan PPATK Terima Pengaduan 2.000 Transaksi Ganjil

Laporan yang Masuk ke PPATK

Tren laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) terus meningkat. Pada 2010, setiap hari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menerima 40-45 pengaduan LTKM.

''Dalam sebulan bisa lebih dari 2.000 pengaduan transaksi mencurigakan yang kami terima,'' kata Ketua PPATK Yunus Husein ketika berdiskusi dengan awak redaksi Jawa Pos di lantai 4 Graha Pena, Surabaya, kemarin (5/8).

Berdasar data PPATK, tren peningkatan jumlah LTKM sebenarnya terlihat sejak 2005. Pada 2004, LTKM awalnya hanya mencapai 698 transaksi. Selanjutnya, pada 2005 naik menjadi 2.055 LTKM, 2006 (3.482), 2007 (5.831), 2008 (10.432), dan 2009 (23.520).

Meski pengaduan meningkat, yang benar-benar bisa ditindaklanjuti untuk diserahkan ke penyidik tak sampai 5 persen. ''Memang, tak semua transaksi mencurigakan itu bisa dilanjutkan ke tahap penyidikan,'' kata Yunus yang dalam diskusi kemarin didampingi 10 staf PPATK.

Sesuai alur penanganan pengaduan, ribuan LTKM tersebut selanjutnya ditindaklanjuti PPATK dengan membuat laporan hasil analisis (LHA). LHA itu berlanjut ke penegak hukum. Total LHA yang diserahkan PPATK ke aparat sebanyak 1.160 transaksi yang didominasi transaksi berindikasi awal korupsi dan penipuan.

Yunus mengaku tidaklah mudah menindaklanjuti transaksi mencurigakan hingga layak untuk diteruskan ke penyidik. ''Kadang, kami bisa mendeteksi adanya transaksi mencurigakan. Tapi, oleh pemiliknya, uang itu tak jadi disimpan di bank,'' ungkapnya.

Dia lantas menceritakan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di Surabaya. Saat itu, lanjut dia, ada seorang pejabat yang akan menyimpan uang di sebuah bank. Jumlahnya tergolong tidak wajar karena mencapai miliaran rupiah. Ketika si pejabat tersebut diminta mengisi form tentang asal uang itu, dia malah marah-marah.

Ujung-ujungnya, si pejabat tersebut batal menyimpan uangnya di bank. ''Kejadian seperti itu masuk dalam laporan PPATK dan termasuk kategori rekening mencurigakan,'' jelasnya.

Sumber pantauan PPATK untuk mengawasi ada-tidaknya transaksi mencurigakan juga bisa berasal dari penyedia jasa keuangan seperti money changer. Berdasar pasal 13 UU No 15 Tahun 2002, penyedia jasa keuangan seperti money changer wajib memberikan laporan kepada PPATK. ''Jika tidak memberikan laporan, bisa didenda Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar,'' tegasnya. Hal itu diatur dalam pasal 8 UU No 15/2002.

Sejumlah kasus suap yang pernah ditangani KPK dilacak dari money changer. Salah satunya adalah kasus yang menimpa Bulyan Royan, anggota DPR (2004-2009) dari Fraksi Partai Bintang Reformasi. Saat itu, dia ditangkap setelah ada laporan dari pemilik sebuah money changer di Plaza Senayan. Ketika itu, Bulyan baru saja menukarkan uang yang diduga berasal dari suap.

Ketika ditanya apakah informasi soal kasus rekening gendut mencurigakan para pejabat Polri berasal dari PPATK, Yunus membantah. ''Kami justru kaget ketika berita soal itu (rekening gendut) dirilis di sebuah majalah,'' katanya. Yunus memastikan data soal rekening gendut para pejabat Polri itu bukan dari pihaknya.

Ketika disinggung soal ketidakhadiran Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri saat diundang Komisi III DPR pada 26 Juli lalu, Yunus enggan berkomentar banyak. ''Saat itu kami sebenarnya juga diundang bersama Kapolri. Tapi, ketika Kapolri tidak bisa hadir, kami langsung bikin surat untuk tidak hadir,'' katanya.

Mengapa PPATK ikut-ikutan tidak hadir? Bukankah PPATK bisa tetap membeberkan kepada komisi III seputar rekening gendut tersebut? Ditanya seperti itu, Yunus punya alasan khusus yang membuat dirinya tidak bisa hadir. ''Yang jelas, saat itu kami sudah memberikan penjelasan tertulis,'' ujarnya.

Apakah dalam kasus rekening gendut ini, posisi PPATK ewuh pakewuh? "Inilah repotnya kalau jeruk makan jeruk," kata Yunus lantas tersenyum, tanpa menjelaskan lebih detail maksud ungkapan "jeruk makan jeruk" itu.

Yunus lantas mengkritik adanya kultur yang dianggapnya tak sehat. Yakni, ketika seseorang atau beberapa oknum dari sebuah institusi dicurigai bermasalah, ada kesan para pemimpin di institusi tersebut mati-matian melindunginya. "Jadi, kesannya semangat melindungi korps lebih diutamakan daripada semangat untuk mengungkap kebenaran," kata Yunus yang juga anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum itu.

Dalam kesempatan diskusi tersebut, Yunus juga menyosialisasikan RUU yang dirancang untuk menggantikan UU No 15 Tahun 2002. ''Jika UU No 15 itu tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, RUU yang sedang digodok itu lebih luas lagi, yakni tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,'' katanya.

Ada yang baru dalam RUU tersebut jika dibandingkan dengan UU No 15. Pada RUU yang segera disahkan DPR, PPATK bisa mengusulkan kepada bank untuk memblokir transaksi yang mencurigakan. ''Selama ini, jika ada rekening mencurigakan, bank tak bisa langsung memblokirnya karena belum ada landasan hukumnya. Karena itu, melalui RUU nanti, jika sudah disetujui DPR, pemblokiran ini akan diatur dalam pasal tersendiri,'' katanya.

Jika sudah diundangkan, diharapkan UU tersebut bisa menjadi solusi efektif untuk memberantas kasus penipuan lewat SMS yang semakin marak belakangan ini. Kasus penipuan lewat SMS itu biasanya menawarkan iming-iming hadiah mobil. Selanjutnya, si penerima SMS diminta menyetorkan sejumlah uang ke nomor rekening milik pengirim SMS, dengan alasan untuk membayar pajak.

"Begitu uang sudah masuk rekening si penipu, uang itu akan dengan mudah diambil. Kalau RUU itu disetujui, uang yang masuk ke rekening dengan cara seperti itu tak akan bisa diambil," katanya. Yunus berharap RUU itu segera disahkan di DPR. "Targetnya, bulan ini selesai dan tahun ini juga diberlakukan," katanya.

Sementara itu, pembahasan RUU Pencegahan dan Penindakan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) memasuki tahap penting. Di antara enam poin krusial yang diajukan pemerintah, tiga poin sudah mendapat lampu hijau dari DPR. Tiga poin lain masih alot.

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PPTPPU Ecky Awal Mucharam mengatakan, hingga saat ini tarik ulur mengenai poin-poin krusial soal kewenangan PPATK dalam RUU tersebut terus terjadi. Tiga poin yang sudah disetujui DPR adalah permintaan penghentian transaksi (pemblokiran) sementara maksimal lima hari, pemeriksaan, dan rekomendasi penyadapan.

Adapun, tiga poin yang belum disetujui adalah hak imunitas bagi anggota PPATK, hak penahanan, dan pembagian komisi sebesar 25 persen dari hasil kejahatan yang bisa diselamatkan. ''Sebagian besar partai (di DPR) tidak menyetujui poin-poin tersebut,'' ujarnya ketika dihubungi Jawa Pos tadi malam.

Meski demikian, kata Ecky, pembahasan mengenai poin-poin tersebut akan terus berlanjut. Dengan demikian, kelanjutan apakah poin-poin itu bakal masuk dalam RUU masih dibahas. ''Nanti (dibahas) dengan tim perumus,'' kata politikus FPKS tersebut.

Ecky mengakui, fraksinya sepakat untuk menekankan maksimalisasi substansi kewenangan bagi PPATK. Meski demikian, sejauh mana penguatan kewenangan itu harus dibahas secara matang. (owi/c2/kum/agm)
Sumber: Jawa Pos, 6 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan