Sebelas Jurus Menggempur KPK

Tidak bisa dimungkiri bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Meski dengan sejumlah catatan, kinerja KPK setidaknya telah membangun kepercayaan publik tentang adanya lembaga penegak hukum yang secara serius memberantas korupsi.

Selama lima tahun terakhir, KPK berupaya menjawab keraguan banyak kalangan dengan menangani sejumlah kasus korupsi yang sebelumnya dinilai tidak tersentuh. Sudah puluhan kepala daerah yang diproses. Sejumlah kasus kelas kakap yang melibatkan sejumlah mantan menteri, pejabat bank sentral, kalangan bisnis, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga diusut. Selain itu, KPK mulai memfokuskan pada kasus korupsi di lembaga peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian.

Sayang, upaya KPK lebih aktif telah membuat sejumlah kalangan, tak cuma koruptor namun juga kalangan pemerintah, parlemen, dan partai politik, gerah. Terlebih, KPK menangkapi para anggota DPR dan para pejabat pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Kinerja KPK yang progresif tersebut justru mendapatkan perlawanan dari koruptor dan pihak-pihak yang merasa terganggu oleh lembaga antikorupsi itu.

***

Sejak berdiri pada 2003, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 11 cara koruptor dan para pendukungnya melemahkan KPK. Pertama, melalui permohonan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).Pada 19 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan judicial review terhadap UU KPK dan menyatakan Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasar pasal 53 UU KPK tidak sah. MK menyatakan perlu dibentuk UU tersendiri (UU Pengadilan Tipikor) dan memberikan batas waktu sampai akhir 2009.

Kedua, proses seleksi pimpinan KPK. Muncul upaya ''pembajakan KPK" melalui proses seleksi fit and proper test pimpinan KPK jilid II (2008-2011). Track record calon tidak menjadi pertimbangan dalam memilih. Meski dinilai kontroversial, DPR tetap memilih Antasari Azhar sebagai ketua KPK pada 10 Desember 2007.

Pelemahan ketiga dalam bentuk ancaman pengeboman. Gedung KPK pada 6 Februari 2008 dan 16 Juli 2009 diancam bom oleh pihak yang tidak dikenal meski setelah ditelusuri kepolisian tidak ditemukan.

Keempat, wacana pembubaran KPK. Pada April 2008, anggota komisi III dari Fraksi Partai Demokrat DPR Ahmad Fauzi mengeluarkan wacana pembubaran KPK. Hal itu terkait dengan penggeledahan KPK di gedung DPR. Ahmad menilai, KPK menjadi lembaga yang super dalam menangani kasus-kasus korupsi sehingga UU KPK perlu direvisi.

Kelima, penolakan anggaran KPK oleh DPR. Permintaan KPK agar menambah dana dalam rekening 069 pada RAPBN 2009 untuk pembangunan penjara sebesar Rp 90 miliar ditolak DPR dengan alasan belum pernah dibicarakan dalam rapat Komisi III DPR.

Keenam, pelemahan dalam proses legislasi UU Antikorupsi. Hal penting yang perlu dicermati dalam RUU Tipikor versi pemerintah adalah munculnya upaya melemahkan dan tidak mengakui eksistensi institusi KPK. RUU Tipikor versi pemerintah secara tersirat membatasi kewenangan KPK hingga tingkat penyidikan dan tidak sampai penuntutan seperti kewenangan yang dimiliki saat ini.

Ketujuh, pelemahan KPK juga dilakukan dengan penarikan personel yang diperbantukan. Sebelumnya, Mabes Polri pernah menarik tiga perwira polisi yang diperbantukan di KPK. Banyak pihak yang menduga penarikan itu terkait dengan kasus korupsi kakap yang sedang ditangani KPK. Selain kepolisian, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan berencana menarik 25 personelnya dari KPK dan akan memberikan sanksi jika menolak meski rencana itu urung dilaksanakan.

Kedelapan, pembatasan kewenangan penyadapan. Sejumlah anggota Komisi III DPR mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Muncul ide pembatasan penyadapan KPK melalui revisi UU KPK. Pemerintah melalui Departemen Hukum dan HAM sedang menyiapkan peraturan pemerintah terkait penyadapan.

Kesembilan, upaya penghentian penyidikan dan penuntutan. Pasca Antasari ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Nasrudin, muncul dorongan dari sebagian anggota Komisi III DPR untuk meminta KPK tidak melakukan penyidikan atau penuntutan selama komposisi pimpinan tidak lengkap lima orang.

Kesepuluh, upaya pelemahan melalui audit. Meski dinilai tidak memiliki kewenangan, pada Juni lalu BPKP berupaya melakukan audit terhadap KPK. Kesebelas, muncul upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari pemeriksaan terhadap Chandra Hamzah, wakil ketua KPK, oleh Mabes Polri pada akhir Juni 2009. Para petinggi Polri memberikan sinyal Chandra diduga terlibat kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra Banjaran, yang menyeret Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar.

***

Dalam konteks pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan sudah merasuki hampir semua sendi kehidupan bangsa, upaya khusus dan luar biasa merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Keberhasilan KPK menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan memberikan vonis yang lebih punya efek jera melalui Pengadilan Tipikor sudah selayaknya didukung. Tidak justru dilemahkan atau bahkan dibubarkan.

Dalam sejarah pemberantasan korupsi, Indonesia pernah memiliki enam komisi atau lembaga antikorupsi sejenis KPK yang telah bubar atau dipaksa dibubarkan. Masyarakat tidak ingin lembaga antikorupsi seperti KPK menjadi lemah, terbunuh, atau bahkan hanya menjadi kenangan sejarah. Sebab, institusi itu sangat penting untuk membersihkan perilaku korup elite bangsa yang sangat merugikan rakyat Indonesia.

Menyelamatkan KPK dan pemberantasan korupsi adalah harga mati. Karena itu, setiap upaya koruptor untuk melemahkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi wajib dilawan. (*)

Emerson Yuntho, wakil koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan