Sebanyak 19,4% Penerima KJP Salah Sasaran

Sebanyak 19,4% pemberian Kartu Jakarta Pintar salah sasaran. Orang tua murid mengeluh pendataan KJP kurang akurat. Sebagian juga mengeluhkan dana KJP sulit dicairkan, dan masih ada yang mengalami proses birokrasi berbelit-belit dalam mendapatkan KJP.

Riset ICW menemukan sebanyak 19,4% penerima Kartu Jakarta Pintar salah sasaran, dari keseluruhan 405 ribu penerima KJP tahun 2013. Inilah temuan utama ICW melalui pemantauan KJP 2013 lewat Kartu Pelaporan Penduduk atau lazim disebut Citizen Report Cards (CRC) dengan metode survei kuantitatif.

Kartu Jakarta Pintar adalah program bantuan bagi siswa tidak mampu yang digagas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Joko Widodo.

Sayangnya,penerima KJP di lapangan ternyata tidak sesuai dengan kriteria penerima KJP yang telah dicanangkan Petunjuk Teknis KJP, seperti: tidak merokok, tidak menggunakan narkoba, tidak menggunakan mobil pribadi ke sekolah, keluarga paling miskin di antara keluarga lain di masyarakat, serta tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga wilayah Jakarta.

“ICW membagi kelompok siswa miskin menjadi dua kelompok, yaitu siswa penerima KJP 2013 dan siswa miskin non penerima KJP,” ujar Peneliti ICW bidang Monitoring Pelayanan Publik Siti Juliantari pada konferensi pers yang digelar di Cikini, Senin (31/3). Pemantauan KJP dilaksanakan pada 3 Februari hingga 17 Maret 2014. 

Pada kelompok pertama, lanjut Tari, ICW menaksir tiga aspek program, yaitu: tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna/manfaat. Sampel kelompok pertama terdiri dari 650 siswa.

Pada tahap pertama, ICW memilih sekolah secara acak di antara daftar sekolah penerima KJP. Selanjutnya pada tahap kedua, ICW memilih siswa dari sekolah yang terpilih pada tahap pertama.

Tari memperkirakan margin of error sebesar 4 hingga 5 persen dengan tingkat signifikansi 95 persen.

Sampel kedua, diperoleh dengan mencari 10 siswa miskin yang belum/tidak menerima KJP secara acak di 35 kelurahan di DKI Jakarta.

“Kriteria siswa miskin tersebut antara lain orang tua bekerja dengan pendapatan dibawah Rp 2,5 juta per bulan,” jelas Tari.

Data penerima KJP belum akurat

Hasil penelitian pada sampel pertama menemukan bahwa akurasi data penerima dana KJP masih rendah.

Buktinya, masih banyak penerima yang tak sesuai kriteria juknis KJP, malah menerima bantuan KJP. Jumlah 19,4% penerima salah alamat ini berasal dari jenjang pendidikan SD/MI (14,6 persen), SMP/MTs (3,4 persen), dan SMA/MA/SMK (1,4 persen).

Berdasarkan persepsi orang tua murid, ICW menemukan bahwa 19,4% dari penerima KJP memang tidak tepat sasaran. Sisanya, 66,9% tepat sasaran.

Data penerima KJP juga kurang terbaharui. Akibatnya, beberapa penerima tidak dapat dikonfirmasi atau tidak diketahui keberadaanya, yaitu sebesar 31,7% dari total 650 sampel.

“Banyak siswa penerima KJP tidak memiliki alamat yang jelas dan sulit ditemukan, telah lulus, dan lain sebagainya,” ujar Tari.

Selain itu, transfer dana KJP juga kurang tepat waktu. Ada 33,7% responden menyatakan tidak tahu kapan dana KJP cair. Sebanyak 14,4% menyatakan pencairan tidak tepat waktu. Hanya separuh (52,0%) responden yang menyatakan bahwa dana KJP ditransfer tepat waktu.

Tari mengakui pencairan dana KJP yang tepat waktu amat penting, sebab berkaitan dengan pemanfaatan dana.

Contohnya, orang tua murid butuh dana cair pada saat pembayaran biaya pendidikan, seperti saat mulai tahun ajaran baru atau permulaan semester.

Temuan lainnya, dana KJP tidak sepenuhnya digunakan untuk keperluan pribadi siswa sebagaimana diatur Juknis KJP.

“Sebagian digunakan di luar ketentuan,” kata Tari. Ia menilai penggunaan di luar ketentuan ini tidak bertanggungjawab. Walaupun demikian, ia mengakui pelanggaran ini terjadi akibat kebutuhan riil siswa terkadang berbeda dengan amanat Juknis KJP.

Keluhan para orang tua murid

Orang tua murid juga mengeluhkan ketentuan pemanfaatan dana KJP menyulitkan mereka menggunakan dana. Sebab, sebagaian barang sudah tercukupi pada pencairan dana KJP gelombang sebelumnya. Agaknya, orang tua kurang setuju jika harus membeli barang serupa yang sebelumnya telah dibeli dengan dana KJP juga, padahal barang lama masih layak pakai.

Juknis KJP mensyaratkan masing-masing penerima harus membuat surat pertanggungjawaban penggunaan dana. Rupanya, hal ini menyulitkan beberapa orang tua. Sebab, sosialisasi dan bimbingan pembuatan SPJ kurang kencang dilakukan Pemprov DKI.

Akibatnya, hanya 81% orang tua murid yang membuat SPJ. Sisanya tidak membuat sama sekali. Syahdan, derajat akuntabilitas KJP pun makin menurun.

Ada juga persoalan rekening dana KJP yang tidak dipegang oleh sebagian ortu murid. Buku rekening justru dipegang oleh pihak non orang tua murid seperti guru, komite sekolah atau pihak lainnya. Padahal, Juknis KJP mengamanatkan buku rekening dipegang orang tua masing-masing siswa dan digunakan pada saat pencairan duit.

Tari menilai, buku rekening yang dipegang pihak lain juga bisa memicu pungutan liar akibat mengetahui jumlah dana dalam rekening tersebut.

Penelitian ini juga menemukan sebagian pihak masih melakukan pemotongan dana KJP pada penerima KJP. Rata-rata pemotongan sebesar Rp 50 ribu.

Temuan pada sampel kedua, yaitu orang tua murid non-penerima KJP memperlihatkan sebagian siswa miskin masih belum mendapatkan dana KJP. Siswa miskin adalah siswa yang berasal dari keluarga dengan pendapatan di bawah Rp 2,5 juta per bulan.

Rupanya hal ini disebabkan belum ada informasi apakah anak mereka masuk dalam daftar penerima KJP (58,1%), belum pernah didata KJP (18,5%), tidak tahu ada program KJP (2,9%) dan penyebab lainnya (17,5%).

Dana KJP juga ditemukan cukup membantu orang tua murid miskin mengatasi beban biaya pribadi pendidikan. Dana KJP mampu mengatasi 71 % dari total pengeluaran siswa SD/MI sebesar Rp 3,1 juta per tahun, 65%dari total pengeluaran biaya pendidikan personal siswa SMP/MTs sebesar Rp 3,9 juta per tahun, dan 62% dari total pengeluaran siswa SMA/MA/SMK sebesar Rp 4,7 juta per tahun. 

Sebanyak 22% orang tua murid penerima KJP mengeluhkan bahwa dana KJP belum sepenuhnya menutupi biaya pendidikan anaknya. Sebanyak 14,1% mengluhkan sulit membuat SPJ. Ada juga 12,6% yang mengakui keterlambatan pencairan dana KJP, dan 10,5% mengkritik kurangnya sosialisasi. Selaini tu, proses berbelit-belit dan persyaratan yang banyak juga mengisi 17,2% keluhan. Sebanyak 23,6% merupakan alasan-alasan lain.

Pemprov DKI harus perbaiki data penerima KJP

Orang tua murid menyarankan agar Pemprov DKI memperbaiki sistem pendataan sehingga data yang dipegang Pemprov akurat. Orang tua juga meyakini bahwa pendataan yang akurat akan membuat program lebih tepat sasaran, pencairan tepat waktu, dan informasi seputar KJP menjadi lebih terbuka.

Jimmy Paat, dosen dan praktisi pendidikan, menyayangkan melesetnya penerima KJP. Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta harus memperbaiki data sehingga dana KJP tidak “hilang maknanya begitu saja.”

“Mereka (Pemprov DKI) membuat program ini dengan asumsi datanya bagus. Ternyata asumsinya salah, ternyata sekian persen enggak masuk,” ujarnya ketika ditemui dalam kesempatan yang sama.

Menurut Jimmy, pemerintah DKI telah melakukan kesalahan dengan memperkecil pengertian “membantu anak miskin”. Ia memberi contoh aspek gizi  dalam dana KJP yang dipatok Rp 300 ribu per tahun.

“Orang sekolah tidak sampai 200 hari dalam setahun. Jadi satu hari  mereka tidak sampai 2 ribu perak? Gizi apa 2 ribu perak? Padahal orang miskin itu berangkat sekolah tidak makan. Kerupu aja seribu perak,” tukas Jimmy.

Tapi, menurut Jimmy, program KJP merupakan program yang bagus dan tetap harus dilanjutkan. Hanya, banyak perbaikan yang harus dilakukan Pemprov DKI.

Misalnya, usul Jimmy, Pemprov dapat memenuhi aspek gizi siswa dengan mencoba cara lain. “Walau agak sulit, sekolah-sekolah harus bikin sarapan dan makan siang di sekolah selama beberapa hari sekali. Dananya bisa diminta dari pemerintah,” katanya. “Saya kira harus diarahkan kayak di luar negeri. Diarahkan untuk makan di sekolah.”

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri juga mengakui bahwa sistem pelaksanaan KJP harus diperbaiki, terutama soal data. Tanggung jawab ini, menurutnya, ada di Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Pemprov DKI Jakarta.

“Buatlah tim khusus, dan sering-seringlah melakukan pengawasan dan pemeriksaan data,” ujar Febri.

“Untuk pemerintah, jangan kacangan, lah. (Program ini) jadi nggak ada artinya, padahal habisnya miliaran juga,” tutup Jimmy. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan