SBY Minta Polri dan Jaksa Agung Respons Rekomendasi Tim Delapan

Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggelar rapat mendadak di Istana Negara. SBY memanggil Menko Polhukam Djoko Suyanto, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD), Jaksa Agung Hendarman Supanji, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan Staf Khusus Kepresidenan Bidang Hukum yang juga Sekretaris Tim Delapan Denny Indrayana.

Pertemuan yang dimulai pukul 21.00 itu berakhir 23.30. Seusai rapat, Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, presiden tidak memiliki kewenangan yuridis untuk menghentikan proses hukum. Namun, presiden meminta Kapolri dan Jaksa Agung merespons dan mempertimbangkan penilaian Tim Delapan.

"Presiden tidak memiliki kewenangan yuridis untuk menghentikan proses hukum ini. Karena itu, presiden minta Kapolri dan Jaksa Agung untuk merespons," katanya. Djoko mengatakan, presiden telah menerima hasil rekomendasi sementara dari Tim Delapan. Substansi dan kesimpulan dari Tim Delapan, kata Djoko, disampaikan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk dijadikan pertimbangan.

Penyidik kepolisian masih harus bekerja keras untuk merampungkan berkas perkara dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Riyanto. Hingga batas waktu penelitian berkas tadi malam, jaksa menyatakan berkas perkara Chandra masih belum lengkap.

"Berkas masih belum lengkap, masih ada yang perlu dilengkapi terkait P-19 (petunjuk) yang lalu," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy tadi malam. Dengan begitu, berkas Chandra akan dikembalikan ke penyidik kepolisian. Sementara terkait berkas Bibit, jaksa masih memiliki waktu untuk meneliti.

Marwan menjelaskan, petunjuk itu terkait dengan pasal 12 huruf (e) UU Pemberantasan Tipikor yang dikenakan kepada Chandra. "Perlu penajaman lagi terkait pemerasan," katanya. Dia mencontohkan hubungan Ari Muladi dengan oknum di KPK.

Bibit dan Chandra dijerat dengan pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor jo pasal 421 KUHP dan pasal 12 huruf (e) jo pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor. "Untuk pasal 23, sudah tidak ada problem," terang mantan Kapusdiklat Kejagung itu.

Sementara itu, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR kemarin, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, pihaknya akan bekerja sesuai dengan ketentuan undang-undang. "Kalau bukti kuat, akan maju ke pengadilan," kata Hendarman.

Terkait Ari Muladi yang membantah mengenal pejabat di KPK, Hendarman menjelaskan, keterangan Ari tersebut tidak sesuai dengan alat bukti yang ada. Menurut dia, ada bukti bahwa Ari enam kali datang ke kantor KPK dan 64 kali hubungan telepon dengan Ade. "Alat bukti menunjukkan itu," terang mantan ketua Timtastipikor itu.

Hendarman menegaskan, jaksa tidak hanya meneliti berkas perkara kedua tersangka. Jaksa juga meneliti alat bukti yang diminta dilampirkan oleh penyidik. "Kalau dianggap tidak meyakinkan, akan kita kembalikan ke penyidik," tegasnya.

Marwan Effendy menambahkan, perkara yang menjerat Bibit dan Chandra sebenarnya perkara biasa. "Tapi, tersangkanya yang membuat kasus ini luar biasa," terangnya. Pihaknya akan ekstrahati-hati dalam menetapkan status berkas perkara Chandra dan Bibit. "Dengan demikian, tidak ada yang mempertanyakan atau menyebut ada konspirasi," urainya.

Hingga saat ini, lanjut dia, kasus Bibit dan Chandra adalah pemerasan. Hal itu menanggapi pertanyaan mengapa sang pemberi uang, Anggoro dan Anggodo, tidak ditetapkan menjadi tersangka. "Seandainya ada fakta hukum penyuapan, kita akan masukkan pasal penyuapan itu dan memberikan petunjuk ke penyidik," urai mantan Kajati Jatim itu.

Rekomendasi Tim Delapan
Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto atau Tim Delapan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencopot sejumlah oknum penegak hukum yang menangani kasus dua pimpin­an nonaktif KPK itu.

Berdasar pemeriksaan sepekan terakhir, tim yang dipimpin pe­ngacara senior Adnan Buyung Nasution tersebut menilai para pe­negak hukum itu sudah bertin­dak tidak profesional.

Apakah termasuk Kabareskrim Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga? ''Termasuklah,'' ujar Buyung di kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wan­timpres), Jalan Veteran, Jakarta Pusat, kemarin (9/11).

Dalam rekomendasi awal yang disampaikan kepada SBY, Tim De­­lapan menyarankan presiden me­minta pertanggungjawaban se­mua penegak hukum yang terlibat dalam kasus tersebut.

Menurut Buyung, bila ada sesuatu yang tidak beres di tubuh ke­polisian dan Kejaksaan Agung yang bisa mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara, presiden harus segera mengambil tindakan. ''Kalau enggak, nanti presiden sendiri yang harus bertanggung jawab ke rakyat. Beliau sendiri yang akan dituntut masyarakat,'' katanya.

Tim Delapan menyerahkan lapor­an sementara hasil verifikasi kasus hukum Bibit-Chandra kepada SBY lewat Menko Polhukam Djo­ko Suyanto. Dalam laporannya, Tim Delapan menilai ada sejumlah fak­ta hukum tidak lengkap yang me­lemahkan sangkaan terhadap Bi­bit dan Chandra. ''Saya mau te­gaskan, fakta hukum dalam kasus ini banyak bolongnya,'' tutur Buyung.

Namun, Buyung menyatakan Tim Delapan tidak tegas menye­butkan ada rekayasa pihak tertentu untuk mengkriminalisasi Bibit-Chandra dalam laporannya kepada presiden. Tim menilai rekaman penyadapan KPK yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan fakta tentang terjadinya rekayasa untuk menjerat Bibit dan Chandra.

''(Dugaan rekayasa kasus) itu kan sudah diketahui publik. Yang mau saya bilang di sini, ada enggak fakta bahwa pimpinan KPK, dalam hal ini Bibit dan Chandra, te­lah menerima uang? Kalau enggak ada, apa yang bisa diproses? Jadi, kalau itu mau dibilang rekayasa atau dibuat-buat, ya terserah kalian,'' papar Buyung.

Meski demikian, Buyung menilai kasus itu belum tentu melibatkan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Kasus tersebut bisa jadi direkayasa oleh se­jumlah oknum Polri dan kejaksaan, tetapi gagal dicegah Kapolri dan jaksa agung. ''Walaupun mereka (Kapolri dan jaksa agung) ti­dak terlibat kasus ini, paling tidak, mereka telah membiarkan anak buahnya melakukan ini,'' tegas mantan ketua umum YLBHI itu.

''Jadi, cara bekerja mereka tidak profesional. Kita lihat, belum apa-apa Kapolri sudah bilang 'pasti', 'pasti'. Jaksa agung juga begitu. Nah, dari mana buktinya? Apa me­reka dibodohi sama bawahannya ataukah mereka kurang memahami masalah ini?'' sambungnya.

Buyung menilai salah satu kelemahan utama tuduhan penyidik polisi adalah terputusnya hubungan Ari Muladi dengan Bibit dan Chan­dra. Ini disebabkan Ari bersikukuh bahwa uang tersebut diserahkan melalui perantara bernama Yulianto yang hingga kini keberadaannya masih misterius.

Namun, aparat menyangsikan pengakuan Ari dan buru-buru me­negaskan bahwa Yulianto hanya rekaan dia. ''Ini juga yang ha­rus di­kejar kepolisian dari Ari Muladi,'' tutur Buyung.

Tim Delapan juga menilai polisi ceroboh tidak menindaklanjuti ke­terangan Anggodo yang menye­but sudah menyerahkan Rp 5,1 mi­liar kepada pimpinan KPK melalui Ari Muladi dan Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja. Buyung menilai tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penyuapan atau minimal percobaan penyuapan.

''Orang yang menerima duit maupun yang memberi duit sudah me­ngaku. Jadi, apalagi yang di­tunggu polisi (untuk menyidik Anggodo dan Ari Muladi)?'' ungkap mantan jaksa ini.

Terkait keberadaan Yulianto, Buyung menilai soal ada atau tidaknya, polisi bisa menggunakannya untuk memperjelas status Ang­­godo dan Ari Muladi. ''Kalau (Yulianto) ada, itu akan makin memperjelas kasus ini. Tapi, kalau dia (Yulianto) tidak ada, sudah cukup apa yang dijelaskan Anggodo dan Ari Muladi,'' ujar Buyung.

Tim Delapan menilai Polri dan Kejaksaan Agung memaksakan kasus Bibit-Chandra agar sampai ke pengadilan. Dugaan itu terlihat dari penggunaan pasal karet dalam tuduhan penyalahgunaan wewenang yang berkaitan dengan pencekalan Djoko Tjandra.

Tim juga menilai tidak ada buk­ti kuat yang membuktikan tin­dak pidana pemerasan maupun bukti aliran dana dari Anggoro Widjojo ke­pada pimpinan KPK, baik secara langsung maupun disampai­kan melalui perantara pihak ketiga. Tim telah me­­ngonfirmasi aliran dana tersebut pa­da rekening-reke­ning yang ter­kait dengan para pim­pinan KPK pada Pusat Pela­poran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Bank Indonesia.

''Andaikata ada aliran dana dari pihak-pihak, bukti yang dimiliki Polri terhenti pada Ari Muladi. Aliran dana, baik Yulianto maupun pimpinan KPK, tidak ada bukti­nya," ujar Anis Baswedan, anggota Tim Delapan. Karena tidak cukup bukti kasus pemerasan dan penyuapan, Tim Delapan menilai Polri memaksakan kasus ini ke pengadilan de­ngan pasal penya­lah­gunaan wewe­nang, karena pa­sal tersebut dinilai pasal karet yang penggunaannya bergantung sudut pandang subjektif penyidik dan penuntut umum. ''Apalagi, (hanya sebagian pimpinan KPK yang menandatangani surat perintah pencekalan) adalah prosedur yang lazim sejak pimpinan KPK sebelumnya," katanya. (sof/fal/noe/aga/rdl/dwi/iro)

Sumber: Jawa Pos, 10 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan