SBY Beri Grasi Mantan Bupati Kukar

Bebas, Syaukani Langsung Bayar Uang Pengganti

Mantan Bupati Kutai Kertanegara (Kukar) Kaltim Syaukani Hassan Rais ikut menikmati berkah peringatan HUT Ke-65 Kemerdekaan RI. Pada hari merdeka tersebut, terpidana empat kasus korupsi senilai Rp 113 miliar itu mendapat kado spesial berupa grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Keppres tentang pemberian grasi alias pengampunan tersebut telah diserahkan kepada Syaukani. Dalam Keppres Nomor 7/G Tahun 2010 yang dikeluarkan 15 Agustus 2010 itu, masa pemidanaan Syaukani enam tahun dikurangi menjadi tiga tahun penjara. Setelah menerima grasi, mantan ketua DPD Golkar Kaltim itu dibebaskan.

Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Cipinang I Wayan Sukerta mengatakan, Syaukani sudah menjalani masa pemidanaan lebih dari tiga tahun. ''Jadi, begitu menerima grasi, ya sudah bebas. Status narapidananya sudah dicoret dari Cipinang,'' kata Sukerta saat dihubungi kemarin (19/8).

Begitu berkas grasi turun, staf Lapas Cipinang langsung menyerahkan ke Syaukani yang tengah dirawat di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Rabu malam (18/8). Syaukani mengalami sakit komplikasi. Setelah dirawat karena mengalami gagal napas pada awal Januari 2009, Syaukani menderita kebutaan, kelumpuhan kaki tangan, dan kerusakan memori.

Syaukani menerima berkas tersebut. Melalui anggota keluarganya, Syaukani juga langsung melunasi denda dan uang pengganti ke negara lewat KPK sebesar Rp 49,6 miliar.

Syaukani adalah terpidana atas empat kasus korupsi yang divonis enam tahun penjara. Empat kasus korupsi tersebut adalah pembagian dana bagi hasil minyak dan gas untuk muspida, penggunaan APBD pembangunan Bandara Loa Kulu di Tenggarong, penggunaan dana bantuan sosial, dan penunjukkan langsung proyek studi kelayakan Bandara Loa Kulu. Akibat perbuatannya, negara dirugikan hingga Rp 113 miliar.

Pemberian grasi terhadap Syaukani tersebut menuai keberatan dari KPK. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar mempertanyakan keputusan pemberian grasi tersebut. ''Perlu ditanyakan oleh masyarakat mengapa begitu besar mendapatkannya (grasi). Pemerintah harus bisa menjelaskan mengapa bisa seperti itu,'' ujarnya di gedung KPK kemarin.

Selain persoalan grasi, Haryono mengajukan keberatan terkait pemberian remisi kepada 341 koruptor oleh Kemenkum dan HAM. Dia menyesalkan, kemudahan pemberian remisi bias berdampak kepada menurunnya efek jera bagi koruptor. ''Para penyelidik, penyidik, penuntut, termasuk hakim, sudah bekerja keras. Namun, ketika terdakwa sudah dihukum, justru mendapatkan pembebasan. Lalu, di mana efek jeranya,'' 'ungkapnya.

Pada bagian lain, pemerintah berdalih, pemberian grasi kepada Syaukani didasarkan pertimbangan kuat. Faktor kemanusiaan menjadi pertimbangan utama untuk membebaskan dia dari pidana kurungan tersebut.

''Kondisi Syaukani itu sakit. Sudah kayak mayat, tidak bisa bergerak,'' kata Menkum HAM Patrialis Akbar di sela diskusi Hari Konstitusi di gedung DPR kemarin (19/8).

Dia menyatakan, secara fisik, Syaukani sudah tidak memungkinkan untuk menjalani masa pidana kurungan. Dia menjelaskan, ada pancaindra Syaukani yang lumpuh. Hal itu terindikasi dari dua bola matanya yang sudah tidak bisa melihat. Dia selama ini hanya bisa terbaring kaku di RSCM. ''Yang bersangkutan mengajukan grasi ke PN. Dari PN lalu diteruskan ke MA,'' jelasnya.

Mantan anggota Komisi III DPR itu menyatakan, surat yang diajukan tersebut dilengkapi bukti-bukti bahwa Syaukani tidak mampu menjalani kurungan. ''Karena sakitnya permanen, diperlihatkan gambar dan foto-fotonya,'' ujarnya.

Pemberian grasi tersebut, kata Patrialis, dilakukan atas pertimbangan MA. Setiap permohonan grasi yang diajukan ke presiden lebih dulu mendapat pertimbangan dari MA. ''Semestinya, Syaukani itu bebas pada Maret lalu. Sekarang pemerintah baru dapat dari MA. Ya pemerintah ikuti saja,'' katanya.

Terkait banyaknya grasi yang diberikan, Patrialis tidak bersedia berkomentar jauh. ''Itu adalah pertimbangan MA,'' tegasnya.

Pemberian grasi kepada Syaukani juga disorot Indonesia Corruption Watch (ICW). LSM penggiat antikorupsi itu mempertanyakan keputusan presiden terkait pemberian pengampunan tersebut.

Peneliti hukum ICW Donal Fariz mengungkapkan, keputusan tersebut merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi. ''Apalagi, yang diberi grasi adalah seorang koruptor yang merugikan negara hingga Rp 120 miliar. Jadi, apa sebenarnya pertimbangan presiden dalam memberikan grasi tersebut?'' katanya ketika dihubungi koran ini kemarin.

Dia menambahkan, pemberian grasi tersebut justru menjadi kado bagi para koruptor. Meski begitu, dia mengakui, dari aspek normatif, pemberian grasi tersebut sudah sesuai keputusan presiden RI tentang grasi yang menyebutkan bahwa pengampunan itu diperuntukkan bagi anak pidana, narapidana usia lanjut, dan narapidana pengidap penyakit permanen. Keppres itu diperkuat dengan disetujuinya perubahan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi pada 26 Juli lalu.

Namun, lanjut dia, seharusnya presiden mempertimbangkan hal lain selain aspek normatif tersebut. Dia menyebutkan salah satunya, yakni aspek sosiologis. ''Yang jelas, publik pasti kecewa atas keputusan pemberian grasi tersebut. Koruptor yang telah divonis bersalah enam tahun malah dikurangi setengahnya tanpa pertimbangan jelas,'' tambahnya.

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (Maki) berpendapat serupa soal grasi untuk Syaukani. Pemberian grasi itu dinilai terburu-buru. ''Seharusnya kan bisa dibantarkan dulu penahanannya selama dia sakit,'' jelas Boyamin Saiman, koordinator Maki. Jika di kemudian hari sembuh, lanjut dia, Syaukani bisa diminta melanjutkan sisa masa hukuman.

Dia tidak setuju dengan alasan yang dipakai untuk mengabulkan grasi Syaukani. Menurut dia, kebijakan itu tidak adil bagi masyarakat Indonesia. ''Lebih tidak berperikemanusiaan dengan masyarakat yang sudah menjadi korban karena perbuatan korupsinya,'' tegasnya.

Sementara itu, pihak istana masih belum bersedia berkomentar banyak mengenai alasan pemberian grasi yang cukup besar bagi Syaukani tersebut. ''Mengenai (alasan pemberian) grasi, saya harus cek lagi,'' kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha.

Peneliti hukum ICW Donal Fa­riz mengungkapkan, keputusan tersebut merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi. ''Apalagi, yang diberi grasi adalah seorang koruptor yang merugikan negara hingga Rp 120 miliar. Jadi, apa sebenarnya pertimbangan presiden dalam memberikan grasi tersebut?'' katanya ketika dihubungi koran ini kemarin. (ken/bay/fal/sof/c4/c5/agm)
SUmber: Jawa Pos, 20 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan