Saweran Gedung KPK

Polemik pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi terus bergulir. Pasalnya, DPR tak kunjung menyetujui rencana biaya pembangunan gedung baru lembaga itu sejak diusulkan pada 2008. Masa depan pemberantasan korupsi dipermainkan.

Hingga kini publik tak habis pikir dengan isi kepala sejumlah anggota DPR sehingga belum mencabut tanda bintang dalam proyek rencana pembangunan gedung baru KPK sebesar Rp 225 miliar (Kompas, 26/6). Di sisi lain, pemerintah sebenarnya sudah menyetujui agar proyek itu dire- alisasikan dengan skema bertahun-tahun.

Beberapa politisi seolah-olah mencari-cari alasan pembenar agar pembangunan gedung itu tak jadi terealisasikan. Mulai dari alasan KPK sebagai lembaga ad hoc hingga alasan menghemat keuangan negara.

Alibi itu tentu tak bisa dibe- narkan. Pemahaman mayoritas anggota DPR dengan menyebut KPK sebagai lembaga ad hoc yang sifatnya sementara justru sangat keliru. Ad hoc sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, berasal dari bahasa Latin dengan arti: dibentuk untuk salah satu tujuan saja.

Sangat sesat ketika para politisi Senayan memaknai KPK sebagai lembaga ad hoc yang hanya temporer atau sementara waktu. Apalagi jika merujuk pada Undang-Undang KPK, tidak ada satu pun pasal dalam UU ini yang secara eksplisit menyebutkan KPK bersifat sementara waktu.

Selain itu, alasan beberapa politisi Komisi III untuk tak menyetujui pembangunan gedung KPK bertujuan untuk menghemat anggaran. Hal ini tentu bertolak belakang dengan melihat realitas yang terjadi belakangan ini.

Tengok saja, para politisi menyetujui pembangunan wisma atlet sebesar Rp 200 miliar, Proyek Hambalang Rp 2,5 triliun, dan proyek lain yang belum jelas manfaatnya. Bahkan, proyek vaksin flu burung menurut audit BPK merugikan negara Rp 693 miliar. Proyek-proyek tersebut ”gagal” karena menjadi lahan bancakan para mafia anggaran. Lalu, pertanyaan besarnya, mengapa untuk anggaran pemberantasan korupsi, DPR tidak menyetujui?

Padahal, KPK secara formal sudah menjelaskan alasannya kepada DPR. Agar semakin meyakinkan, KPK juga telah memaparkan desain besar penguatan institusi tersebut ke depannya. Mulai dari rencana perekrutan pegawai baru hingga pengembangan teknologi dalam menjerat pelaku kejahatan korupsi. Namun, alasan tersebut lagi-lagi mentah di tangan para politisi.

Anti-penguatan KPK
Penting dipahami bahwa pembangunan gedung KPK harus ditempatkan sebagai upaya penguatan institusi KPK secara kelembagaan. Gedung KPK yang sudah melewati kapasitas dan unit-unit yang tersebar di beberapa tempat membuat kerja mereka tidak efektif.

Apalagi pada saat yang bersamaan tagihan publik kepada KPK juga semakin meningkat seiring dengan banyaknya kasus korupsi yang dibawa kepada proses hukum. Mau tak mau mereka harus meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia demi memacu denyut kinerja.

Hal yang sama sebenarnya juga sering dituntut DPR kepada KPK sehingga sikap penolakan pembangunan gedung karena imbas peningkatan SDM tentu bertolak belakang dengan tuntutan yang selalu mereka dengung-dengungkan. Ibaratnya, ”KPK disuruh berlari, tetapi kaki mereka diikat’’.

Inti permasalahan ini sebenarnya: keberpihakan. Sudah rahasia umum bahwa para politisi Senayan rudin dukungan terhadap agenda pemberantasan ko- rupsi. Secara konkret bisa dilihat perlakukan terhadap KPK. Wewenang lembaga ini dikebiri dalam RUU KPK. Bahkan, beberapa politisi secara terbuka menginginkan KPK dibubarkan.

Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kerja KPK yang banyak mengungkap praktik korupsi yang terjadi di lingkungan Senayan. Suap dilakukan anggota DPR saat menjadi calo jabatan, calo proyek, dan calo anggaran.

Dalam dokumentasi ICW, hingga kini setidaknya sudah 45 politisi Senayan yang dibawa KPK ke proses hukum. Jumlah tersebut hampir pasti akan meningkat jika kita menyelisik beberapa kasus yang tengah digarap KPK, semisal Hambalang dan PPID.

Di balik itu semua, harus digarisbawahi bahwa sesungguhnya musuh terbesar KPK ataupun para penegak hukum lain dalam pemberantasan korupsi bukanlah melawan individu ataupun komplotannya. Musuh terbesar KPK ialah melawan otoritas negara yang tak berpihak pada pemberantasan korupsi itu sendiri. Maka, mereka menggunakan kewenangan anggaran yang dimiliki hingga mengendalikan aturan sebagai tombak pelumpuh perjuangan melawan korupsi.

Kuasa sangat besar
Praktik seperti ini sejatinya jamak terjadi. Arogansi para politisi seolah-olah terbalut oleh selimut kewenangan yang diberikan konstitusi sehingga mereka dapat berbuat semau mereka. Kuasanya sangat besar. Praktis alat kontrol hanya terletak pada ada tidaknya moralitas di setiap individu.

Saat ini rasanya hampir mustahil mengetuk hati para politisi untuk mengubah haluan dan bergabung dalam kapal pemberantasan korupsi bersama KPK dan masyarakat. Sudah berkali-kali mereka tidak lulus ujian komitmen pemberantasan korupsi. Yang terakhir tentulah polemik pembangunan gedung tersebut.

Masyarakat tidak lagi bisa duduk manis dan menunggu datangnya ilham kepada para politisi untuk menyetujui pembangunan gedung tersebut. Maka, sudah saatnya masyarakat turun tangan: salah satunya dalam gerakan koin untuk KPK yang mencuat belakangan ini.

Jika langkah ini terwujud, bisa dibayangkan bahwa kelak gedung KPK akan menjadi tonggak sejarah perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia dan untuk pertama kali di dunia, pembangunan gedung komisi antikorupsi didanai langsung dari saweran masyarakat.

Gedung KPK kelak akan menggeser gedung DPR sebagai rumah rakyat karena gedung DPR tidak lagi mewakili kepentingan rakyat.

Donal Fariz Peneliti Hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan ini disalin dari Kompas, 28 Juni 2012

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan