Satu Tersangka Setiap Pekan
Separuh lebih provinsi di Indonesia dipimpin kepala daerah yang tersangkut masalah hukum. Dari 33 gubernur, 17 di antaranya tersangkut perkara sehingga harus dinonaktifkan dari jabatan. Hampir setiap minggu selalu ada kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka.
Kondisi itu dikeluhkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah, Senin (17/1) di Jakarta. Ia menceritakan, saat ini ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum dan 17 orang di antaranya adalah gubernur.
Mendagri tidak merinci 17 gubernur yang tersangkut masalah hukum itu. Ia hanya menyebut beberapa, yakni Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, dan (mantan) Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah. Mereka tersangkut korupsi.
Mendagri mengakui, hampir setiap pekan ia menerima permintaan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah sebagai tersangka dan surat penonaktifan sementara kepala daerah. ”Jadi, setiap bulan, bahkan sekarang tiap minggu, saya menerima surat tersangka baru,” katanya.
Yang terakhir, pekan lalu, adalah permohonan penonaktifan sementara Agusrin Najamudin sebagai Gubernur Bengkulu periode 2010-2015. Agusrin kini berstatus terdakwa korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tahun 2006 sebesar Rp 27,607 miliar.
Menurut Gamawan, pemerintah telah memberlakukan sistem pengawasan berlapis, termasuk audit laporan keuangan tahunan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. ”Pengawasan sudah berlapis-lapis, tetapi ternyata masih seperti ini. Karena itu, kami mencari jalan untuk menyiasati agar pemerintahan bersih bisa terwujud,” ujarnya.
Ongkos politik
Gamawan menceritakan pula mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah dalam pemilihan umum kepala daerah. Untuk menjadi gubernur, seorang kandidat bisa mengeluarkan dana hingga puluhan miliar rupiah. ”Saya tanya gubernur satu, berapa biaya yang dikeluarkan selama pilkada. Katanya sampai Rp 60 miliar. Gubernur satu lagi mengatakan, biaya yang ia keluarkan sampai Rp 100 miliar,” ujarnya.
Dana itu dipakai untuk membeli kendaraan politik atau dukungan partai politik, pengadaan alat peraga kampanye, biaya tim sukses, dan honor saksi di tempat pemungutan suara. Calon kepala daerah juga kerap diminta memberikan bantuan untuk masyarakat atau lembaga sosial.
Biaya yang harus dikeluarkan calon kepala daerah itu tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diterima setelah menjadi kepala daerah. Gamawan mencontohkan, gaji gubernur hanya Rp 8,6 juta per bulan atau total Rp 516 juta selama lima tahun menjabat. Ditambah pendapatan upah pungut sekitar Rp 34 juta hingga Rp 90 juta sebulan, masih belum cukup untuk mengganti ongkos politik yang sudah dikeluarkan. ”Taruhlah gaji dan upah pungut rata-rata Rp 100 juta sebulan, total selama lima tahun Rp 6 miliar,” katanya.
Mantan Gubernur Sumatera Barat itu berharap tidak banyak lagi kepala daerah yang tersandung kasus hukum sehingga pemerintahan dan pembangunan di daerah bisa berjalan baik.
Salah satu solusi yang ditawarkan Kementerian Dalam Negeri adalah mengubah aturan pilkada. Contohnya, memberlakukan syarat petahana yang akan mencalonkan diri dalam pilkada untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Solusi lain, mengubah mekanisme pemilihan, dari langsung menjadi pemilihan oleh DPRD.
Sementara DPD mengusulkan agar syarat petahana menjadi peserta pilkada harus diperketat. Salah satunya dengan mewajibkan petahana memiliki laporan keuangan dengan nilai wajib tanpa pengecualian selama dua tahun berturut-turut. Syarat lain, melarang petahana yang berstatus tersangka mencalonkan diri dalam pilkada.
”Semua kami masukkan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Pilkada,” kata Ketua Komite I DPD Dani Anwar. Dalam RUU Pilkada versi DPD juga diatur sanksi berat bagi petahana yang terbukti memakai APBD untuk pencitraan dan kampanye. Kepala daerah terpilih juga dilarang memutasi pegawai selama satu tahun setelah pelantikan.
Modus korupsi
Secara terpisah, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengatakan, modus korupsi dari kepala daerah biasanya dua cara. Modus pertama, penggelembungan biaya dalam proyek pengadaan barang dan jasa. ”Contohnya, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran yang melibatkan banyak pejabat di daerah,” katanya.
Modus kedua, penggunaan dana APBD untuk kepentingan pribadi. Sebagai contoh, dugaan penggunaan dana APBD oleh Bupati Boven Digoel, Papua, Yusak Yaluwo dan, yang tengah disidik KPK, penyalahgunaan APBD Kota Bekasi. Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad disangka meminta anak buahnya melunasi kredit multiguna untuk keperluan pribadi dengan dana APBD Bekasi.
”Untuk suap, kebanyakan yang mendapatkannya adalah anggota DPR. Pemberi suap bisa kepala daerah atau rekanan,” katanya.
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, Senin, menambahkan, banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, terutama korupsi, salah satunya disebabkan banyak celah dalam UU yang bisa dipakai untuk melakukan penyimpangan anggaran. Padahal, aturan yang membatasi kewenangan kepala daerah untuk anggaran sudah cukup baik.
”Jika melihat sebabnya, ini tak terlepas dari sistem internal parpol,” katanya. Orang yang duduk di partai politik atau yang dipromosikan menduduki jabatan, sebagian memiliki masalah dengan penegak hukum.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan mengakui, banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi mengindikasikan kualitas demokrasi memburuk. Pilkada yang buruk melahirkan pejabat yang berkualitas buruk. Ini ditambah lemahnya kontrol dari DPRD.
Berdasarkan kajian ICW tahun 2009-2010, banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi dimulai dari buruknya rekrutmen politik di parpol. ”Parpol masih memelihara tradisi politik uang dalam mengajukan calon pejabat publik,” kata Adnan. (AIK/NTA/SIE)
Sumber: Kompas, 18 Januari 2011