Satgas Tak Mau Ikut Campur Terkait Rekening Perwira Polri

Harapan publik agar Istana Negara turun tangan menyelidiki rekening mencurigakan sejumlah perwira polisi pupus sudah. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan tidak akan terlibat dalam kasus itu. Mereka berdalih, kasus tersebut merupakan urusan internal korps Bhayangkara.

Penegasan sikap satgas itu disampaikan langsung oleh ketuanya, Kuntoro Mangkusubroto. ''Masalah itu sudah di tangan Kapolri. Saya kira ini masalah intern. Satgas tidak akan ikut campur,'' ujar Kuntoro kepada wartawan di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, kemarin (29/6).

Menurut Kuntoro, saat ini Kapolri telah menangani rekening-rekening mencurigakan tersebut. Jadi, keterlibatan satgas tidak diperlukan. ''Saya kira Kapolri perlu mengkaji dan mempelajari secara saksama, serta mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan yang berlaku,'' katanya.

Lantas, bagaimana laporan ICW kepada satgas? Kuntoro mengakui bahwa satgas telah menerima laporan rekening mencurigakan tersebut dari ICW. Namun, satgas tidak akan menangani sendiri ataupun mengawasi laporan tersebut. ''Sudah selesai tugas satgas, yaitu meneruskan laporan dari masyarakat ke Polri,'' katanya.

Seperti diketahui, pada 16 Juni 2010, Indonesia Corruption Watch (ICW) secara resmi melaporkan data soal rekening mencurigakan milik para perwira Polri di Kantor Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Jalan Veteran, Jakarta. Saat itu laporan diterima Sekretaris Satgas Denny Indrayana dan anggota Mas Achmad Santosa. Denny dan Achmad Santosa kepada ICW berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut.

Karena itu, sikap satgas yang belakangan terkesan angkat tangan disesalkan ICW. Koordinator Divisi Investigasi ICW Tama Satrya Langkun menilai, sikap satgas tersebut menunjukkan formalitas belaka. ''Di depan kami mereka berjanji akan proaktif. Tapi, sekarang jelas sudah sikap mereka berbeda dengan apa yang dikatakan,'' kata Tama.

Tama menduga, sikap ragu satgas itu merupakan bentuk kekhawatiran jika rekening tersebut diungkap dan ditelusuri akan menyeret nama-nama pihak lain. ''Lalu, apa gunanya satgas kalau begitu,'' katanya.

Di Mabes Polri, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri kemarin menganugerahkan tanda bintang kehormatan Bhayangkara kepada KSAD, KSAU, dan KSAL. Namun, acara yang awalnya direncanakan terbuka untuk media itu tiba-tiba diubah menjadi tertutup.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang tak mau mengomentari data ICW yang beredar di media. Sebab, kata Edward, setiap pihak yang menyebarkan informasi terkait dengan laporan harta kekayaan dan audit PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), selain penegak hukum, dapat diancam pidana.

''Karena mengedarkan informasi dari PPATK melanggar hukum, jadi kami tidak mau terbawa-bawa,'' ujar jenderal dua bintang itu.

Meski begitu, Edward menegaskan bahwa Polri telah mengklarifikasi terhadap 800 laporan hasil analisis (LHA) PPATK. ''Ada 1.100 laporan transaksi masyarakat yang mencurigakan sejak 2005 hingga 2010. Menurut Kabareskrim, sudah 800 yang diklarifikasi. Di antara itu, sekitar 20 yang menyangkut perwira Polri,'' ujarnya.

Mantan Kadispen Polda Metro Jaya itu juga membantah polisi berada di balik menghilangnya majalah Tempo yang memuat berita tentang rekening polisi. ''Itu strategi pemasaran mereka saja,'' kata dia.

Edward juga meragukan kesaksian para pedagang yang mengatakan bahwa majalah Tempo edisi terbaru dibeli polisi. ''Buat apa kami memborong itu, dari mana uangnya, sekarang harganya sudah seratus ribu kan,'' tambah dia.

Sejak awal Polri memiliki komitmen pada keterbukaan informasi publik. ''Mana bisa kami membungkam informasi. Polri konsisten akan keterbukaan informasi publik, tidak ada upaya membungkam informasi,'' tandas Edward.

Sementara itu, kemarin sejumlah aktivis LSM berkumpul di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Mereka mendiskusikan rekam jejak Polri yang besok (1 Juli) berulang tahun ke-64.

Wakil Koordinator Kontras Indria Fernida menilai, laporan tentang rekening miliaran rupiah para petinggi Polri itu harus diaudit secara investigatif. ''Data kami tentang standar gaji pokok anggota Polri menunjukkan tidak mungkin tanpa ada kerja sampingan jumlah kekayaan mereka bisa sebesar itu,'' kata Indria.

Menurut Indria, gaji pokok perwira pertama Rp 1.539.700 hingga Rp 2.430.900, gaji perwira menengah Rp 1.688.700-Rp 2.666.000. Sedangkan gaji perwira tinggi Rp 1.852.000 hingga Rp 3.015.300. ''Karena itu, kalau ada jenderal dengan rekening hingga miliaran rupaih, patut diselidiki dari mana alirannya dan apakah bertentangan dengan jabatannya atau tidak,'' katanya.

Pembuktian terbalik yang sedang diupayakan kepolisian tidak cukup. Namun, itu harus disertai dengan upaya audit independen. ''BPK bisa dilibatkan,'' ujarnya.

Anggota Komisi III Bidang Hukum Kontras Nasir Djamil menilai, jika masalah rekening itu dibiarkan saja tanpa tanggapan, publik justru terus bertanya-tanya. ''Kapolri BHD (Bambang Hendarso Danuri) sudah berjanji adanya program quick response. Soal rekening ini juga harus direspons cepat,'' katanya.

Menurut Nasir, secara normatif, bias sekali kalau jenderal sampai berbisnis. ''Memang, sebagian bisnis mereka menggunakan nama keluarga atau nama orang lain, tapi tetap perlu ditertibkan,'' ungkapnya.

Karena itu, revisi terhadap UU Kepolisian perlu segera dilakukan. ''Kalau tidak diatur, sampai kiamat soal seperti ini terus diributkan,'' katanya.

Klarifikasi, kata Nasir, tidak perlu menunggu laporan para perwira yang punya rekening mencurigakan itu. ''Kapolri kan punya power. Panggil saja mereka, dalam dua hari selesai,'' ujarnya. (sof/rdl/c4/ari)
Sumber: Jawa Pos, 30 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan