Satgas Pemberantasan Mafia Hukum
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam waktu dekat meluncurkan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum. Saat peluncurannya nanti, presiden juga akan mengumumkan nama-nama anggota satgas tersebut.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum akan menerima supervisi langsung dari presiden melalui Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Unit kerja tersebut dipimpin mantan Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto. Dalam memberantas mafia hukum, satgas tersebut tidak hanya memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dengan seluruh elemen penegakan hukum, tapi juga mengevaluasi dan memberi koreksi.
Fenomena mafia hukum atau yang juga dikenal dengan makelar kasus (markus) mencuat pasca pengumuman hasil Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum kasus pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Tim itu biasa disebut Tim Delapan.
Dalam proses verifikasi oleh Tim Delapan, ditemukan dugaan kuat atas terjadinya fenomena makelar kasus (markus). Fenomena itu tidak hanya ada di kepolisian, kejaksaan, ataupun advokat, tapi juga di KPK dan LPSK. Bahkan, pada kasus lain, mafia hukum juga menjangkiti profesi notaris serta pengadilan.
Tim yang dipimpin Adnan Buyung Nasution itu juga menegaskan bahwa penegakan hukum telah dirusak oleh merajalelanya makelar kasus (markus) yang beroperasi di semua lembaga penegak hukum. Karena itu, sebagai ''shock therapy'', presiden perlu memprioritaskan operasi pemberantasan makelar kasus dalam semua lembaga penegak hukum, termasuk di lembaga peradilan dan profesi advokat. Dimulai dengan pemeriksaan secara tuntas dugaan praktik mafia hukum yang melibatkan Anggodo Widjojo dan Ari Muladi oleh aparat terkait.
***
Mafia hukum, makelar kasus, atau mafia peradilan bukanlah hal baru di negeri ini. Maraknya praktik korupsi peradilan dan mafia hukum di Indonesia juga diperkuat oleh laporan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2001. Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia (Jakarta, Medan, Makassar, Samarinda, Jogjakarta, dan Surabaya) itu menunjukkan betapa korupsi di peradilan meluas dengan melibatkan hampir seluruh pelaku di lingkungan peradilan. Mulai hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera, sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan.
Celakanya, korupsi di peradilan dianggap sebagai hal yang biasa. Banyak pengacara yang tidak malu-malu lagi menawarkan sejumlah uang kepada hakim dan jaksa. Bahkan, dalam bentuk yang berbeda, ada pengacara yang ''menggaji'' hakim bulanan. Sementara pada saat bersamaan, hakim, jaksa, polisi, serta panitera tidak merasa risi pula untuk meminta uang dari pengacara atau para pencari keadilan.
Ibaratnya, jika dulu dilakukan secara diam-diam, kini korupsi dilakukan secara terbuka dan terang-terangan (dulu di bawah meja, sekarang di atas meja). Pengadilan bukan lagi tempat mendapatkan keadilan, melainkan bursa keadilan. Siapa yang bisa memberi banyak akan mendapatkan keadilan yang diinginkan.
Praktik semacam itu semakin memperburuk bahkan mempercepat proses pembusukan lembaga peradilan yang pada gilirannya menumbuhkan sikap antipati kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Kemudian, yang terjadi adalah munculnya serta tumbuh suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri di masyarakat dalam menyelesaikan sengketa.
Menurut Luhut M.P. Pangaribuan (2002), secara umum perilaku koruptif pada hampir semua penegak hukum bukan terjadi karena moral yang rendah, namun merupakan akibat terjadinya demoralisasi para penegak hukum serta gaya hidup yang berlebihan. Akibatnya, menerima uang secara tidak halal, menurut persepsi mereka, bukanlah sesuatu yang aneh lagi, tapi menjadi suatu keharusan.
***
Inisiatif pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum jelas patut diapresiasi, meski banyak kalangan yang juga pesimistis terhadap hasilnya nanti. Berdasar pengalaman yang sudah-sudah, upaya membersihkan praktik mafia hukum melalui mekanisme internal di masing-masing sering mengalami kebuntuan. Dalam beberapa kasus korupsi, suap di lingkungan peradilan yang melibatkan mafia hukum khususnya dari polisi, jaksa, dan hakim umumnya sangat sedikit yang akhirnya berujung pada proses pengadilan.
Ada beberapa persoalan yang yang mengakibatkan kebuntuan tersebut. Misalnya, hambatan secara struktural, semangat membela kops (espirit de corps), metode pengawasan/pemeriksaan yang lemah, aparat pengawasan yang juga korup, serta tidak adanya kemauan (will) dari pimpinan institusi penegak hukum ini.
Padahal, untuk membersihkan mafa hukum, setidaknya ada beberapa hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan penegak hukum harus memiliki kemauan kuat dan bertekad serius dalam membersihkan korupsi di lembaga masing-masing. Sepanjang pemimpinnya tidak tegas dan bahkan membiarkan praktik mafia hukum berkembang, jangan berharap ''penyakit'' itu bisa dituntaskan.
Kedua, perlunya penguatan pengawasan internal dan eksternal masing-masing institusi penegak hukum. Pengawas ekternal seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial seharusnya bisa dimaksimalkan dalam memberantas mafia hukum. Masyarakat juga diberi ruang untuk mengawasi kinerja penegak hukum serta mafia hukum dengan segala profesinya.
Selain itu, perlu adanya lembaga independen yang diberi kewenangan dalam mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi, di institusi penegak hukum.
Kisah sukses pemberantasan korupsi di kepolisian bisa dilihat dari pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi (ICAC) Hongkong yang berhasil menyeret banyak mantan pejabat kepolisian Hongkong karena terlibat korupsi ke meja hijau pada 1970-an.
Dalam hal ini, sebaiknya kita meniru kisah sukses pemberantasan korupsi di Kepolisian Hongkong. Satgas yang dibentuk SBY seharusnya didorong untuk melakukan operasi-operasi intelijen guna menangkap mafia peradilan untuk selanjutnya diproses oleh KPK. Jika kerja satgas sekadar memberi saran dan rekomendasi, lembaga tersebut tidak akan efektif dan tidak akan berumur lama. (*)
Emerson Yuntho , wakil koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Desember 2009