Satgas Antimafia Dituding Selamatkan Citra SBY

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tidak gentar dengan rencana sebuah kelompok menggugat lembaga itu melalui judicial review atau uji materi di Mahkamah Agung (MA). Anggota Satgas Yunus Husein mempersilakan kelompok Petisi 28 menggugat keberadaan lembaga tersebut.

''(Gugatan) itu merupakan hak mereka sebagai warga negara. Tetapi, kami siap menghadapi,'' tegas Yunus kemarin (19/6).

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Petisi 28 berencana mengajukan judicial review pembentukan satgas kepada MA. Gugatan itu akan diajukan Selasa nanti (22/6). Mereka beralasan, Keputusan Presiden (keppres) Nomor 37 Tahun 2009 tentang Pembentukan Satgas tidak punya dasar hukum jelas. Kalau MA mengabulkan gugatan tersebut, Satgas Antimafia Hukum terancam bubar.

Menurut Yunus, tugas satgas adalah membantu masyarakat yang merasa dikerjai, ditipu, dan diperas oleh aparat negara. Karena itu, dia heran jika tugas satgas tidak didukung.

Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu menuturkan, hingga Jumat lalu (18/6) pihaknya menerima lebih kurang 2.200 pengaduan dari masyarakat. Yang banyak diadukan adalah penegak hukum.

Yunus membantah bahwa Satgas Antimafia Hukum tidak menangani kasus dana talangan Bank Century karena adanya tekanan dari istana. Dia beralasan bahwa kasus Century sudah ditangani Pansus DPR dengan dibantu KPK, kepolisian, dan kejaksaan.

Menurut anggota Petisi 28 Catur Agus Saptono, presiden tidak punya kewenangan membentuk institusi seperti satgas. ''Kalau dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat 1 UUD 1945, itu tidak tepat. UUD 1945 tidak menyebutkan adanya kewenangan presiden membentuk satgas,'' katanya kepada wartawan di Doekoen Cafe, Jakarta, kemarin.

Jika pembentukan satgas dikaitkan dengan alasan pemberantasan korupsi, dia menilai tak tepat. Sebab, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN sudah dilaksanakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ''Seharusnya KPK yang dikuatkan. Bukan malah membentuk lembaga baru,'' tuturnya.

Apalagi, ungkap dia, kewenangan satgas sering tumpang tindih dan juga cenderung mengintervensi lembaga penegak hukum yang lain. Catur mencontohkan, pengambilan dokumen dan akses informasi satgas terhadap lembaga-lembaga lain seperti PPATK.

Satgas, kata dia, memiliki akses ke lembaga itu. Padahal, semua catatan rekening adalah rahasia. Bahkan, rekening seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka tidak boleh dibuka dengan alasan apa pun. ''Lembaga dengan dasar hukum yang jelas sekelas DPR saja tidak bisa mengambil langsung dokumen dari PPATK. Kalau tetap memaksa, itu bisa dianggap sebagai tindak pidana,'' terangnya.

Catur menuding Satgas Antimafia Hukum hanya lembaga yang dibentuk untuk menyelamatkan citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebab, penegakan hukum Indonesia sebenarnya tercoreng saat rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan para penegak hukum dibeberkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Rekaman itu jelas menunjukkan bahwa banyak penegak hukum yang terlibat dalam sindikasi mafia kasus. ''SBY ingin menunjukkan kepada rakyat seolah dia telah berupaya memberantas mafia hukum,'' kata pria yang berprofesi sebagai advokat itu.

Satgas, lanjut dia, juga tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum. Lembaga penegak hukum hanya Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Satgas hanya lembaga yang memiliki fungsi koordinasi dan tidak lebih. Namun, kewenangan koordinasi itu justru berpotensi mengintervensi lembaga penegak hukum yang ada.

Anggota lain Petisi 28 Haris Rusly mengkritik SBY gemar membentuk lembaga instan untuk menangani kasus-kasus yang sedang heboh. Selain satgas, ada Tim Delapan (kasus Bibit-Chandra) dan sejumlah lembaga serupa lain. ''Tidak perlu dibentuk lembaga-lembaga antah berantah seperti itu. Bisa timbul kekacauan hukum. Maksimalkan dan dikuatkan saja lembaga penegak hukum yang ada,'' katanya.

Dikonfirmasi secara terpisah, Sekretaris Satgas Denny Indrayana menyayangkan gugatan tersebut. Menurut Denny, organisasi seperti satgas harus diapresiasi karena fungsinya ialah membantu pemberantasan korupsi dan mafia hukum. ''Saya harap teman-teman tidak terjebak dan dimanfaatkan oleh para koruptor,'' katanya kemarin.

Denny menengarai gugatan itu hanya upaya kalangan yang tidak menyukai satgas. Dia bahkan balik menuduh gugatan tersebut sebagai serangan balik dari para koruptor. ''Kami sebenarnya sudah lama merasakan resistensi dari para pelaku mafia hukum. Ini sangat mengherankan,'' tuturnya. (aga/c4/dwi)

Sumber: Jawa Pos, 21 Juni 2010
-----------
Patrialis Sebut Gugatan Petisi 28 Salah Alamat

Rencana Petisi 28 menggugat Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yang dibentuk berdasar Keppres Nomor 37 Tahun 2009, direspons keras kalangan pejabat negara. Menkum dan HAM Patrialis Akbar adalah salah seorang yang mengkritisi tindakan kelompok aktivis Petisi 28 tersebut.

Patrialis berpendapat gugatan yang diajukan ke MA itu salah alamat alias tidak tepat. Sebab, keppres tidak bertentangan dengan undang-undang mana pun. "Tak ada pelanggaran konstitusi. Apa yang mau dibawa ke MA?" kata Patrialis.

"Kalau keppres bertentangan dengan UUD, MA tidak punya kewenangan. Tidak ada rujukan ke MA," lanjut Patrialis setelah acara nonton bareng Piala Dunia 2010 di gedung Kemenkum dan HAM Sabtu malam (19/6).

Patrialis yang juga ketua pansel pimpinan KPK itu menuturkan, satgas bukanlah lembaga negara. Karena itu, tidak ada larangan untuk membentuk lembaga yang bersifat ad hoc tersebut. "Dalam UU, boleh kok. Nggak ada larangan asal bukan lembaga negara," imbuhnya.

Selain itu, dia menyayangkan langkah Petisi 28 tersebut. Menurut dia, selama ini satgas sangat berperan dalam pemberantasan mafia hukum. Satgas sudah membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian dalam memberikan temuan mafia hukum. "Karena itu, saya sangat menyesalkan rencana gugatan tersebut," ujar dia.

Patrialis menegaskan, kekuasaan pemerintah negara berada di tangan presiden. Presiden berwenang mengambil kebijakan dalam upaya menyukseskan tugas-tugas pemerintahan. Salah satunya adalah membentuk satgas.

Satgas, lanjut dia, mampu membongkar mafia hukum di tubuh lembaga penegak hukum satu demi satu. "Jelas berguna kan satgas. Apa yang perlu ditakutkan? Satgas tidak berwenang mengeksekusi atau memutuskan apa-apa," terang dia.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menampik semua tuduhan Petisi 28. Anggota Satgas Mas Achmad Santosa menegaskan bahwa mereka tak pernah mengintervensi para penegak hukum. "Bahkan, LHA (laporan hasil analisis, Red) dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Red) saja kami tak pernah terima," katanya saat dihubungi kemarin (20/6).

Pria yang akrab dipanggil Ota itu menegaskan, hanya lembaga penegak hukum yang bisa mengakses LHA. Yakni, kejaksaan, Polri, dan KPK. Satgas, papar dia, hanyalah lembaga koordinasi dan pemantau kasus-kasus yang berhubungan dengan sindikasi mafia hukum. "Kami tak pernah mengintervensi penegak hukum," ucap dia.

Lagi pula, imbuh Ota, satgas tidak memiliki kewenangan pro justitia dan penindakan, apalagi mengenakan status upaya paksa dalam sebuah kasus. "Pak Yunus Husein (ketua PPATK yang juga anggota satgas, Red) sangat profesional dalam bekerja. Dia tidak pernah memberi kami data-data PPATK," tutur dia.

Ota juga menampik anggapan bahwa pembentukan satgas cacat hukum. Menurut dia, pembentukan satgas dan lembaga-lembaga taktis lain, seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), merupakan hak prerogatif presiden.

Apa tidak takut bernasib seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) dulu? Ota optimistis tidak. Sebab, satgas masih sangat diperlukan. "Dari sudut ketatanegaraan, tidak keliru presiden membentuk satgas selama tidak melampaui atau bertabrakan dengan fungsi dan tugas lembaga lain yang diatur dalam konstitusi," tegasnya.

TGTPK merupakan lembaga produk mendiang Presiden Abdurrahman Wahid. Tim tersebut berada di bawah koordinasi Jaksa Agung Marzuki Darusman dan diketuai Adi Andojo Soetjipto serta didukung 25 personel kepolisian dan kejaksaan saat itu. Sayang, upaya pemberantasan korupsi tersebut tak mendapatkan banyak dukungan. Lembaga itu dibubarkan lewat gugatan judicial review oleh tiga hakim agung yang pernah diperiksa TGTPK.

Meski begitu, Ota tetap menghargai uji materi. Sebab, itu merupakan hak setiap warga negara. Namun, dia berharap aktivis Petisi 28 mempertimbangkannya dengan matang.

Di bagian lain, Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsudin mengatakan mempersilakan aktivis Petisi 28 untuk melakukan judicial review. "Pengajuan (judicial review, Red) itu hak bagi semua warga negara," terang dia saat dihubungi Jawa Pos tadi malam. Meski menyatakan netral, Azis menuturkan kurang setuju saat presiden berencana membentuk satgas. Menurut dia, ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal lembaga independen yang diberi label satgas. Sebab, sebenarnya Indonesia sudah memiliki lembaga-lembaga penegak hukum yang sah. Antara lain, kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Azis lalu menerangkan, beberapa anggota satgas merupakan pejabat penegak hukum. Bahkan, salah seorangnya adalah ketua PPATK, yang keberadaannya sudah diatur dalam UU. Dia lalu menyebut nama Wakil Jaksa Agung Darmono, dan Ketua PPATK Yunus Husein sebagai pejabat penegak hukum yang menjadi anggota satgas. "Keterlibatan mereka menunjukkan bahwa instansi-instansi penegak hukum sudah tidak independen lagi. Sebab, mereka bergabung dengan satgas yang hanya diatur dalam keppres," tuturnya.

Namun, pengamat politik UI Rudi Satrio menilai, Keppres No 37 Tahun 2009 tentang Pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sudah cukup untuk melegalkan lembaga itu. "Jadi, kalau dikatakan tidak sesuai dengan ketatanegaraan kita, itu tidak tepat," jelas Rudi kemarin.

Lebih lanjut Rudi mengatakan, kala kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum sangat lemah, satgas dirasa sangat penting. Bagaimana anggotanya yang sekaligus menjabat dalam sebuah lembaga penegak hukum? "Justru itu yang diperlukan," ucapnya. Dia menerangkan, orang-orang seperti Darmono dan Yunus sangat diperlukan dalam satgas. Sebab, orang-orang seperti merekalah yang mengerti medan penegakan hukum dan mafia hukum. Sebab, mereka adalah orang yang terjun langsung dalam kasus-kasus itu. (ken/aga/kuh/c11/iro)

Sumber: Jawa Pos, 21 Juni 2010
---------------
Ahli: Dasar Pembentukan Satgas Anti-Mafia Hukum Kuat

Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satrio, mengkritik gugatan uji materi yang diajukan aktivis Petisi 28 atas Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. "Keppres itu sudah cukup kuat untuk membentuk sebuah lembaga yang hanya bersifat sementara seperti Satuan Tugas," katanya kemarin.

Rudy menilai kinerja Satgas Anti-Mafia Hukum selama ini cukup baik, mengingat terbatasnya waktu dan wewenang yang diberikan kepada mereka. "Tugas mereka hanya sebagai pendobrak. Penyelidikan selanjutnya bukan lagi tugas mereka," tuturnya.

Menurut Rudy, Satgas malah perlu diberi kewenangan lebih jelas. Fungsi dan kewenangan lembaga tersebut perlu diperkuat. Struktur kelembagaannya pun perlu dibuat permanen, bukan ad hoc seperti saat ini.

Untuk itu, menurut Rudy, dasar hukum pembentukan Satgas perlu ditingkatkan menjadi undang-undang. "Jadi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi," kata dia.

Sabtu lalu, aktivis Petisi 28, Haris Rusli Moti, menyatakan bermaksud menggugat keberadaan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Rencananya, dia akan mengajukan uji materi atas Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009 ke Mahkamah Agung besok.

"Kami ingin Satgas dibubarkan karena tidak ada manfaatnya," kata Haris dalam konferensi pers di Jakarta saat itu. Menurut dia, keberadaan Satgas justru menyebabkan tumpang-tindih institusi penegak hukum.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, mengatakan upaya menggugat keberadaan Satgas Anti-Mafia Hukum merupakan buah dari pikiran yang lugu. "Mereka pikir hukum bisa tegak sendiri," kata Arbi kepada Tempo kemarin.

Menurut Arbi, keberadaan Satgas masih diperlukan dalam pemberantasan mafia hukum di Indonesia. "Mereka kan bisa terobos sana, terobos sini," ujar Arbi. "Ini bukan terobosan prosedural. Ini terobosan riil."

Namun, Arbi mengingatkan, Satgas jangan sampai menjadi lembaga yang diktator. Karena itu, "Mereka harus tetap transparan."

Berkaitan dengan gugatan Petisi 28, Arbi meminta hakim-hakim di Mahkamah Agung bertindak lebih bijaksana. "Mereka perlu bersikap arif, tidak ikut-ikutan lugu," ujar Arbi. Pingit Aria
 
Sumber: koran tempo, 21 Juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan