Santun Dulu, Baru Bernegara Hukum

Inefisiensi hukum Indonesia sudah terlalu banyak. Cara bangsa ini berhukum dan berperilaku hukum pun sudah begitu kasar.

Meski demikian, jangan katakan di negeri ini tidak ada hukum. Pada masa Presiden Habibie, negeri ini digelontor sejumlah undang-undang baru, tetapi ketertiban bergeming. Mudahnya, hukum tidak menyelesaikan masalah, tetapi memicu masalah.

Dan Indonesia merupakan sebuah laboratorium hukum par exellence di dunia. Perilaku hukum yang anomatik mudah dijumpai di negeri ini. Karena itu, Indonesia merupakan laboratorium hukum yang amat bagus, interaksi antara hukum, masyarakat, dan manusia bisa diamati jelas, termasuk fungsi dan disfungsi hukum.

Diagnosis kita menyimpulkan, hukum tidak hanya bisnis peraturan (rule), tetapi lebih daripada itu berupa perilaku, perbuatan, tindakan, dan pengalaman (Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, Kompas, 23/9/2002).

Dari laboratorium hukum Indonesia kita belajar, hukum memerlukan syarat dan prakondisi psikis tertentu. Prakondisi itu adalah hidup santun, seperti menghormati sesama, menginginkan kedamaian, saling percaya, rukun, dan lainnya.

Tak perlu hukum
Jika bangsa ini hidup dalam atmosfer serba santun, hukum hampir tidak diperlukan lagi. Menurut Fukuyama, kepercayaan (trust) menentukan kualitas masyarakat. Masalahnya, di negeri ini, kehidupan yang santun sudah rusak dan dirusak. Kita sulit membangun negara hukum sebagai rumah bahagia, jika harus didirikan di atas fondasi kesantunan yang rusak.

Melalui suluk dalang dalam wayang, Indonesia adalah surga yang turun ke dunia, negeri gemah-ripah, loh jinawi, tata tentrem, kerta rahardja. Orang Belanda menyebutnya, het zachtste volk der aarde (bangsa terlembut di dunia), sebaliknya orang Belanda disebut wong sebrang lor, manusia dari seberang lautan yang kasar dan ganas. Belanda mengakui, jika tidak ada Nederlandsch-Indie (Indonesia), Belanda sudah ambruk di abad ke-19.

Indonesia pun disebut sebagai gabus, tempat Belanda mengapung. Itu dilakukan Belanda, yang kala itu hampir bangkrut, dengan menciptakan kultur stelsel (tanam paksa). Teun Jaspers, dalam disertasi Rechtspreken in de maatschappij (1980) menulis, Hetm kultuurstelsel werd zo het eenige stelsel waardoor Java blijven kan de kurk waarop Nederland drijit (Sistem tanam paksa merupakan satu-satunya sistem yang mempertahankan agar Jawa tetap menjadi gabus tempat Belanda mengapung).

Namun, keunggulan, kelembutan, kesantunan bangsa yang dipuja-puja Belanda itu kini sudah luntur. Indonesia anno 2000 penuh pergolakan sosial, kekerasan, prevalensi amok yang tinggi, yang tidak terbayangkan ratusan tahun lalu.

Modernisasi dan industrialisasi mungkin bisa ditunjuk sebagai penyebab. Kesantunan dan kemuliaan perilaku dibabat individualisme dan komodifikasi. Hukum tidak dijalankan dengan kesantunan dan kemuliaan hati, tetapi menjadi alat yang dijadikan barang dagangan.

Dalam lingkup lebih terbatas, Gerry Spence, advokat senior AS, mengkritik keras komunitas lawyers di negerinya sebagai kumpulan lawyers yang dengan buas menggunakan hukum untuk keuntungan pribadi. Kualitas kehidupan hukum di AS pun merosot. Itu disebabkan bukan karena para lawyers tidak profesional dan kompeten, tetapi karena mereka sudah kehilangan rasa-perasaan Kemanusiaannya (Gerry Spence, The Death of Justice, 1997). Jadi, menjadi manusia harus didahulukan sebelum menjadi profesional.

Ternyata, hal itu tidak hanya terjadi pada lingkup komunitas ahli hukum, tetapi juga dalam lingkup bangsa dan negara, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan hukum dimulai dari manusia.

Gerry Spence berpendapat, sebelum menjadi ahli hukum profesional, mereka hendaknya menjadi manusia yang peka terhadap penderitaan manusia lebih dulu. Istilah yang digunakannya, a developed person. Itulah yang seyogianya terjadi dalam konteks bangsa dan negara hukum.

Jepang
Dalam konteks bangsa, Jepang boleh menjadi ikon. Meski pada Era Meiji, kurang dari 10 tahun, Jepang berhasil memperbarui hukumnya sehingga sejajar negara-negara lain, meski Jepang tetap Jepang yang tradisional.

Cara berhukum Jepang amat indah. Mereka tidak larut (transformed) menjadi individualistis, tetapi tetap berbasis nurani (kokoro). Di Jepang, seorang lawyer melayani 9.400 orang. Di AS, tiap 370 penduduk harus dilayani seorang lawyer. Hubungan orang Jepang dengan lawyer dilakukannya dengan hati yang menangis karena mencerminkan gagalnya cara penyelesaian secara tradisi Jepang. Jepang menjadi tertib bukan karena hukumnya, tetapi karena perilaku santun dan disiplin bangsa Jepang.

Kualitas negara hukum tidak menjadi lebih baik dengan mengutamakan unsur perundang-undangan, tetapi dengan meningkatkan kualitas manusia, entah hakim, jaksa, advokat, polisi, birokrat, legistator, atau rakyat biasa. Marilah kita berkonsentrasi pada pembangunan budi pekerti manusia Indonesia dalam rangka membangun negara hukum.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan