Sanksi tanpa Jati Diri

Rekomendasi Komisi sama dengan hasil penelitian dan temuan bagian pengawasan internal Mahkamah.

Seolah ingin meyakinkan publik dengan kinerja institusi kehakiman, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan meminta lima panitera yang baru dilantik bekerja dengan baik. Jauhilah perbuatan tercela yang membuat kita jadi gunjingan masyarakat, katanya di ruang Mochtar Kusumaatmadja, Mahkamah Agung, Selasa lalu.

Pesan itu tampaknya hendak menyindir enam hakim yang telah diberi sanksi dalam Rapat Pimpinan Mahkamah beberapa waktu lalu. Satu di antaranya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Herman Alositandi. Ia bersama panitera pengganti kasus itu, Andrian Jimmy Lumanow, dipersalahkan memeras saksi dalam perkara korupsi PT Jamsostek, Walter Sigalingging. Pada 26 Juni lalu, Herman divonis penjara 4 tahun 6 bulan. Bersamaan dengan Herman, MA juga memberhentikan lima hakim pengadilan tinggi karena dinilai melanggar kode etik profesional.

Di luar hakim, ada 27 pejabat kehakiman, mulai panitera hingga pejabat struktural pengadilan negeri, yang kena sanksi pembebasan jabatan hingga pemecatan sebagai pegawai negeri sipil. Semuanya ada 43 aparat yang diberi sanksi, kata Kepala Badan Pengawasan MA Ansyahrul.

Namun, selain Herman dan Jimmy, nama-nama mereka yang dikenai sanksi itu masih jadi semacam misteri. Dengan dalih masih berhak mengajukan banding, Mahkamah tak bersedia menyebut jati diri para hakim dan panitera yang dikenai sanksi. Kita mungkin hanya mereka-reka nama mereka dari rekomendasi Komisi Yudisial. Meski tak menjadi rujukan resmi, Ansyahrul mengakui rekomendasi Komisi sama dengan hasil penelitian dan temuan bagian pengawasan internal Mahkamah (lihat boks).

Para petinggi di Mahkamah sepertinya kurang menjiwai pendapat Jeremy Bentham (1748-1832), filsuf Inggris yang pernah terlibat memperbarui sistem hukum pidana di negerinya itu. Dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya.

Sejauh ini baru kepolisian dan kejaksaan yang menghayati pendapat Bentham. Di kepolisian, terhadap seorang jenderal bintang tiga sekalipun pemberian sanksi berlangsung terbuka. Bahkan proses persidangan etik dapat diikuti oleh pers. Contoh paling gres diperlihatkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang menggelar jumpa pers untuk mengumumkan pencopotan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher. Padahal putusan itu pun belum final karena Rusdi masih diberi waktu 14 hari untuk mengajukan banding.

Di tengah sinisme atas perilaku aparat hukum yang dianggap korup, langkah kepolisian dan kejaksaan sepatutnya juga ditempuh Mahkamah. Ya, karena seperti kata Bentham, hanya dengan transparansi semua kepentingan jahat niscaya bisa terhapuskan. Apalagi banyak janji transparansi yang akan dilakukan hingga kini tak kunjung terwujudkan.

Sistem Informasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang ditargetkan rampung pada Desember 2005, misalnya, sepertinya juga belum berfungsi. Padahal lewat sistem ini, proses pemeriksaan perkara di tingkat MA, dari pembagian perkara hingga putusan, dapat diketahui secara gamblang. Sebab, selama ini informasi seputar perkara apa diadili oleh siapa bisa dikomersialkan. YOPHIANDI | SUKMA N LOPIES

Sumber: Koran Tempo, 7 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan