Sampai Kapan Kita Sandang Predikat Terkorup
Sungguh menyakitkan, namun harus tetap diterima dengan lapang dada. Hasil penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di Hong Kong untuk kesekian kali masih menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup se-Asia. Menyusul di bawahnya adalah Filipina, Vietnam, India, dan China. Sedangkan negara yang dinilai paling bersih adalah Singapura, Jepang, dan Hong Kong. Suka atau tidak suka itulah kenyataan pahit yang harus diterima. Bagaimana tentang perasaan dan harga diri kita di tengah percaturan dunia. Setelah ribuan TKI ilegal diusir dari Malaysia dan Blok Ambalat direbut dengan seenaknya oleh negara tetangga, sekarang hasil penelitian itu kembali mengungkapkan kebobrokan moral bangsa kita.
- Masih adakah bangsa lain yang sungkan dan mau menghormati bangsa Indonesia. Mungkin pikiran itu terlalu merendah atau perasaan rendah diri memang mulai menyelimuti bangsa ini. Tidak boleh hal itu dibiarkan terjadi. Kita haruslah tetap tegak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sebutan negara terkorup sangatlah memukul, namun tidaklah perlu sampai menghilangkan rasa percaya diri. Toh negara-negara lain seperti Filipina, China, ataupun Vietnam juga belum bisa sepenuhnya memerangi korupsi. Perbedaan skor yang tak terlalu signifikan kiranya dapat membesarkan hati. Bukan mencari pembenar atau permakluman. Kita tetap harus menyadari realitas ini untuk kemudian berupaya keras memperbaiki kondisi moral bangsa.
- Harapan selalu ada. Kemunculan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden baru menimbulkan optimisme ke depan. Setidak-tidaknya dua figur itu dikenal relatif bersih dan berkomitmen tinggi memberantas korupsi. Orang boleh mengkritik dan mencibir soal kapabilitas maupun kinerja pemerintahan baru dengan tim kabinetnya. Memang masih banyak kekurangan dan hasilnya belumlah memuaskan. Tetapi untuk komitmen terhadap upaya perwujudan clean and good governance tetap kita acungi jempol. Banyak kasus korupsi yang mulai disidangkan. Banyak pejabat setingkat gubernur dan wali kota/bupati yang diizinkan untuk diperiksa atas dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi dan sebagainya.
- Hanya harapan itu tak boleh terlampau tinggi. Ada realitas lain yang tak bisa ditolak. Yakni ketergantungan pada kapasitas, kapabilitas, dan moralitas aparat penegak hukum. Betapapun kuat komitmen SBY-Kalla untuk menegakkan hukum dan mengungkap kasus-kasus KKN tak bisa serta merta persoalan selesai. Bahkan, timbul kesan masih ada jarak yang lebar antara kemauan dan kenyataan di lapangan. Bukankah pemerintah tak bisa melakukan intervensi terhadap proses hukum. Sementara kita mengetahui persoalan hukum tidak saja menyangkut hal-hal normatif, tetapi juga bergantung pada kultur. Kalau ternyata aparat hukum korup bagaimana? Bisakah kita membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang juga kotor.
- Kembali pada soal peringkat terkorup yang diberikan oleh PERC sebenarnya itu lebih terkait dengan masalah iklim investasi. Responden penelitian itu terdiri atas investor dan pengusaha yang banyak bergerak di Asia. Sudah semestinya pemerintah mulai memberikan perhatian serius dan kalau perlu melakukan gebrakan-gebrakan untuk memperbaiki iklim investasi. Caranya dengan meminimalkan biaya-biaya siluman baik yang terkait dengan proses perizinan, urusan bea cukai, keamanan, dan masih banyak lagi. Karena kita sedang bersaing dengan negara-negara lain dalam soal ini. Kalau hanya dengan cara-cara imbauan atau sekadar seruan moral, rasanya sudah tak mungkin. Jadi, perlu ada deregulasi atau pun pola-pola lain untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi black economy.
- Kita boleh saja tak memedulikan hasil penelitian semacam itu. Tetapi sama sekali tak boleh menganggap enteng ketika angka realisasi penanaman modal asing (PMA) mengalami penurunan atau melihat banyak investor asing yang justru hengkang karena berbagai penyebab. Semua merupakan ancaman bagi pertumbuhan makroekonomi. Maka sudah saatnya, dan bahkan sudah agak terlambat, pemerintah melakukan upaya khusus dan efektif. Tak perlu menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengungkap kasus-kasus di masa lalu, walaupun itu juga penting demi keadilan. Namun yang jauh lebih penting adalah segera membuka lembaran baru. Bagaimana agar investor tak lagi dihadapkan pada aparat yang korup dan investasi dapat berjalan lebih lancar dan terjamin.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Suara Merdeka, 10 Maret 2005