Saksi Ahli dalam Rapat Pansus Angket Century Pojokkan BI

KETERANGAN saksi ahli dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Angket Century semakin mempertegas adanya dugaan kejahatan perbankan dan pelanggaran aturan. Mayoritas saksi yang dihadirkan pansus mendukung bahwa Bank Century tidak perlu diselamatkan.

''Kuncinya adalah adanya asas diskresi (penyimpangan dari aturan UU) kebijakan. Ada dugaan korupsi di sini,'' ujar Ichsanuddin Noorsy, salah seorang ahli yang dihadirkan pansus Century kemarin (21/1). Ahli lain yang dihadirkan pansus kemarin adalah Hendri Saparini, Dradjad H. Wibowo dan Chatib Basri.

Menurut Ichsan, panggilan Ichsanuddin, sejak awal Century merupakan bank kecil. Diangkat dari sisi mikro maupun makroekonomi, posisi Century tidak memiliki kontribusi yang besar. Dugaan korupsi yang dimaksud Ichsan adalah kebijakan Bank Indonesia untuk menyalurkan fasilitas peminjaman jangka pendek (FPJP) Rp 632 miliar yang selanjutnya berubah-ubah menjadi Rp 1,1 triliun.

Kebijakan tersebut didahului dengan menetapkan PBI 10/31, yakni bank bisa mendapatkan FPJP asalkan CAR atau rasio kecukupan modalnya positif. ''Dana itu mungkin hanya untuk menutupi solvabilitas, di mana itu tidak dipenuhi,'' jelasnya.

Merunut hasil audit investigatif BPK, terdapat aliran dana penyertaan modal sementara (PMS) untuk nasabah. Ichsan juga mempertegas data itu. Dalam audit disebutkan bahwa terdapat dana dari PMS yang dipakai membayar dana USD 18 juta milik nasabah Bank Century Budi Sampoerna. Ada persoalan dalam aliran tersebut.

Sebab, seharusnya kewajiban melunasi dana itu menjadi tanggung jawab Robert Tantular. ''Jika dikaitkan dengan pernyataan Pak Susno (mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji), ada dugaan pencucian uang,'' ungkapnya.

Ichsan mencoba mengaitkan klaim adanya dampak psikologis terjadinya krisis jika Bank Century tidak diselamatkan. Jika pemerintah menyebut Century berperan terhadap penyelamatan krisis, harus ada manfaat tinggi yang diterima publik.

Namun, dengan analisis sederhana, kata dia, klaim tersebut tidak terbukti. ''Confidence (kepercayaan) yang dibangun di pasar modal, yang di Tanah Abang, ataupun Pasar Wonokromo tidak punya hubungan untuk itu,'' tegasnya. Dia mengkritik suatu kebijakan yang ditetapkan BI yang akhirnya harus mengalahkan UU.

Dalam hal ini, dia mempertanyakan psikologis segmen pasar mana yang disasar oleh kebijakan penyelamatan Century. ''Maka muncul apa yang, maaf, disebut presiden, distrust,'' ujarnya.

Dia menyimpulkan, masalah sebenarnya dalam Bank Century adalah pengawasan yang tidak efektif oleh BI serta regulasi yang berubah-ubah dari lembaga yang sama. Sejak merger saja, seharusnya BI sudah langsung menutup bank itu karena memiliki CAR yang negatif.

''Saat merger, dengan CAR minus 100 sekian, seharusnya Bank Century tidak layak hidup. Dengan standar tahun 1998 dengan minus 25 sekalipun,'' tegasnya.

Hendri Saparini menambahkan, patut diragukan juga bahwa Century ke depan bakal memberi manfaat. Pernyataan pemerintah bahwa ekonomi telah membaik dan prediksi setelah tiga tahun modalnya kembali juga patut diragukan. ''Sebab, selama track record, pengembalian PMS hanya 28 persen dari total dana,'' katanya.

Menurut dia, pembuktian perubahan PBI oleh BI demi penyelamatan Bank sangat kabur. Sebab, hanya Bank Century yang kemudian hanya memanfaatkan, meski saat itu ada bank lain yang berkondisi sama. ''Ini memperburuk iklim investasi di sektor riil. Jika setiap perubahan kondisi harus dilakukan dengan perubahan kebijakan, sektor riil akan berpikir dua kali,'' jelasnya.

Berbeda dari dua saksi ahli lainnya, Chatib Basri justru mendukung upaya bailout. Staf ahli Departemen Keuangan itu menyatakan, masalah Century terjadi karena perilaku pemilik bank. Selama ini ada stigma bahwa penyelamatan bank dilakukan untuk pemilik. Padahal, terbukti ada penyehatan dari Century setelah berganti nama menjadi Bank Mutiara.

''Jika ada pidana, sebaiknya diurus oleh KPK atau PPATK saja. Saya bingung mengapa terus mempermasalahkan sistemik ini,'' ujarnya.

Menurut dia, perubahan angka terkait FPJP sangat mungkin terjadi. Sebab, perubahan yang terjadi saat krisis saat itu memerlukan antisipasi segera. ''Ketika angkanya meningkat, itu supaya menjamin sampai 8 persen,'' jelasnya.

Sementara itu, dalam rapat pansus tadi malam, Ekonom Dradjad H. Wibowo mengungkap fakta baru seputar kasus bailout Century. Apa yang diungkapkan Dradjad mementahkan pernyataan Menkeu Sri Mulyani Indrawati bahwa pemerintah tidak mengetahui potensi pembengkakan bailout.

Dradjad mengatakan, dalam audit investigatif BPK disebutkan adanya surat No. 10/232/BI/2008 bersifat Rahasia dari Gubernur BI Boediono kepada Menteri Keuangan. Surat tersebut dikirim pada 20 November 2008, atau di hari yang sama ketika berlangsung rapat

KSSK yang akhirnya berujung pada penyelamatan Bank Century. "Dalam surat tersebut ada lampiran yang menyebut kemungkinan bailout Bank Century bisa mencapai Rp 6,7 triliun," ujarnya dalam rapat tadi malam.

Surat tersebut, kata Dradjad, memuat angka-angka seputar kebutuhan dana Bank Century. Untuk kebutuhan rasio kecukupan modal (CAR) yang saat itu kurang dari 2 persen agar menjadi 8 persen, memang dibutuhkan Rp 632 miliar. ''Tapi, disebutkan pula jika kebutuhan dana tersebut akan terus bertambah. Untuk keperluan likuiditas diperlukan Rp 4,79 triliun. Jadi Rp 632 miliar untuk rasio penyediaan modal minimum dan ditambah Rp 4,79 triliun. Jadi, butuhnya sampai Rp 5,4 triliun," katanya.

Selain itu, lanjut Dradjad, ada pula dokumen mengenai Century yang ditujukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk keperluan audit Bank Century. Dokumen itu menyebut, keperluan pemenuhan modal bank Century, dibutuhkan lagi tambahan dana Rp 1,7 triliun. "Jadi, sejak awal, BI telah menghitung kebutuhan Rp 1,7 triliun ditambah Rp 5,4 triliun, jadi dibutuhkan sekitar Rp 7 triliun. Tapi pada Desember ada selisih di mana surat-surat berharga dijual, dan selisih kurs dari US treasury sehingga menjadi Rp 6,7 triliun," terangnya.

Karena itu, lanjut Dradjad, jika Menkeu sebagai Ketua KSSK mengaku hanya mengetahui kebutuhan dana Rp 632 miliar, maka perlu diklarifikasi apakah Menkeu tidak menerima surat tersebut. ''Bisa jadi, pertama, Beliau (Menkeu) tidak tahu adanya lampiran secara komplit. Ke dua, ada yang mengubah isi lampiran. Ke tiga, bisa jadi membaca tapi tidak mengerti. Ke empat, bisa jadi membaca, mengerti, tapi lupa. Jadi, mohon ini ditindaklanjuti oleh Pansus," paparnya. (bay/owi/dyn/iro)

Sumber: Jawa Pos, 22 Januari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan