Said Agil Akui Terima Rp 4,5 Miliar

Jaksa menilai mantan Menteri Agama itu salah menginterpretasi peraturan.

Mantan Menteri Agama Said Agil Husein al-Munawar, terdakwa perkara dugaan korupsi Dana Abadi Umat dan Dana Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji, mengaku mendapatkan dana sebesar Rp 4,5 miliar. Dana ini diterimanya selama menjabat menteri pada periode 2002-2004.

Dana itu adalah akumulasi dana taktis uang lelah, uang transpor, uang honor, insentif, dan tunjangan lain di luar gajinya sebagai menteri. Ia membenarkan pernyataan jaksa penuntut umum tentang penerimaan dana itu dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin lalu.

Namun, Said Agil mengaku tidak ingat besarnya dana taktis dan tunjangan lain yang diterimanya setiap bulan. Yang resmi saya mendapat Rp 10 juta dari BPIH dan Rp 15 juta dari Ketua Badan Pengelola DAU setiap bulan di luar gaji sebesar Rp 19,9 juta dari Sekretariat Negara.

Semua uang yang diterimanya, menurut Said Agil, telah sesuai dengan prosedur kepegawaian. Uang lelah, insentif honor, uang transpor, uang rapat, uang lembur, dan lain-lain masuk komponen tidak langsung operasional pusat belanja pegawai. Semua itu masuk komponen BPIH.

Karena itu, dia menampik jika dikatakan menumpuk harta selama menjadi menteri. Saat ini dana di rekening saya hanya Rp 56 juta, ujarnya.

Sedangkan saldo rekening DAU dan BPIH justru meningkat selama Departemen Agama dipimpinnya. Saat awal menjabat, DAU sekitar Rp 361 miliar, lalu menjadi Rp 382 miliar. Sedangkan BPIH naik dari Rp 67 miliar menjadi Rp 121 miliar.

Said juga mengatakan, pengelolaan DAU selalu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17/1999 tentang Ibadah Haji. Tapi undang-undang itu, menurut Said, tidak dijabarkan dalam bentuk peraturan pemerintah, melainkan Keputusan Presiden Nomor 22/2001 tentang Pengelolaan DAU dan BPIH. Keppres itu mengizinkan Menteri Agama menetapkan kebijakan.

Jaksa penuntut umum Ranu Mihardja menilai, Said Agil selalu berkilah hanya menjalankan Keppres Nomor 22/2001, terutama Pasal 8, yang disebutnya membolehkan menteri membuat kebijakan. Tapi, kata Ranu, pasal 8 keppres itu secara eksplisit menyatakan Menteri Agama hanya bisa menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas Badan Pengelola untuk DAU dan BPIH.

Ranu berpendapat, Said salah menginterpretasi keppres tersebut. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya keputusan Menteri Agama yang memungkinkan Said bertindak sendiri. Misalnya pada Pasal 10 ayat 6 Keputusan Menteri Agama Nomor 484/2001 yang berbunyi bantuan kegiatan atas kebijakan Menteri Agama, ujar Ranu.

Tapi Said mengatakan, kebijakan yang diambilnya selalu bersifat bottom-up. Semuanya dibicarakan bersama direktur jenderal, ujarnya. THOSO PRIHARNOWO

Sumber: Koran Tempo, 11 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan