Saatnya Hentikan "Drama" Gayus

Drama skandal pajak dengan aktor Gayus HP Tambunan ibarat telenovela. Membius perhatian publik, tetapi tidak mengungkapkan realitas yang penting diketahui publik. Bahkan, drama Gayus seperti ”didesain” untuk menutupi banyak hal lain yang mesti diungkap, yaitu mafia perpajakan dan mafia hukum yang menggurita di negeri ini.

Bisa diramalkan, publik langsung menghujat begitu Gayus divonis tujuh tahun. Rakyat yang telah berbulan-bulan dibuat jengkel dengan peran antagonis Gayus menginginkan pegawai negeri golongan IIIA itu dihukum lebih berat.

Apalagi, menjelang putusan, anggota Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana merilis paspor Gayus atas nama Sony Laksono. Gayus, yang diketahui memiliki harta lebih dari Rp 100 miliar, juga diketahui puluhan kali meninggalkan penjara. Foto-foto Gayus yang tengah berpesiar di luar negeri juga beredar luas.

Tetapi, benarkah Gayus layak menjadi pemeran utama atas drama itu atau dia sebenarnya hanya pantas menjadi figuran?

Pengacara senior Bambang Widjojanto mengaku tidak terkejut dengan putusan tujuh tahun terhadap Gayus. Dia justru mempertanyakan tuntutan jaksa 20 tahun itu terlalu tinggi untuk perkara suap dari PT SAT yang disangkakan terhadap Gayus.

Kecilnya vonis terhadap Gayus tidak semata-mata karena hakim, tetapi karena kekeliruan sejak awal di proses penyidikan dan penuntutan.

Koordinator Hukum dan Pemantau Peradilan Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah mengatakan, perkara Gayus dikerdilkan sejak awal. Faktanya, Gayus hanya dijerat kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570 juta dan bukan pada kasus utama, yakni kepemilikan rekening Rp 28 miliar.

Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal-muasal kasus itu mencuat, yakni rekening Gayus Rp 28 miliar. Tentunya janggal sekali antara kasus awal dan kasus yang didakwakan kepadanya. ”Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi polisi dan kejaksaan,” katanya.

Kejanggalan lain, menurut Febri, kepolisian seolah tutup kuping dari kesaksian Gayus di persidangan terkait kepemilikan rekening Rp 28 miliar yang berasal dari berbagai perusahaan, di antaranya Grup Bakrie yang sudah tersiar luas ke publik.

Teriakan yang sama sebenarnya disampaikan pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution (saat itu), yang meminta agar perkara mafia pajak dan mafia hukum di balik kasus Gayus diungkap. Bahkan, dalam persidangan, Gayus juga menyebut aktor-aktor lain yang terlibat, termasuk atasannya dan sejumlah perwira polisi serta jaksa.

Komisaris Arafat dan Ajun Komisaris Sri Sumartini sudah divonis bersalah. Namun, petinggi kepolisian yang pernah disebut-sebut keterlibatannya oleh Gayus belum juga diproses sama sekali. Menurut Febri, pihak kepolisian melokalisasi kasus ini. Arafat dan Sri Sumartini seolah-olah dijadikan tumbal dalam kasus tersebut. Padahal, mereka hanyalah ”pemain kecil”, seperti pengakuan Gayus bahwa dirinya ”ikan teri”.

Seperti diingatkan Bambang Widjojanto, Gayus tidak mungkin bermain sendiri. Jika sudah demikian, agaknya drama Gayus harus dihentikan. Fokus publik harus mulai melihat lebih jauh, yaitu mafia hukum dan mafia pajak yang telah lama merongrong negeri ini. Masih sangat banyak ”Gayus” atau ”bos Gayus” lain di negeri ini.... (AIK)
Sumber: Kompas, 31 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan