Saatnya Dibentuk Badan Keimigrasian

DALAM rangka pengawasan keberadaan dan kegiatan orang asing dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), keimigrasian pada hakikatnya bukan hanya sebagai penjaga pintu gerbang, melainkan juga sebagai penjaga tegaknya kedaulatan negara. Apalagi dalam menghadapi kehidupan lima atau sepuluh tahun mendatang, yakni memasuki kurun waktu perekonomian dan perdagangan bebas. Langsung atau tidak langsung akan membawa pengaruh pada pola pikir dan perilaku warga dunia, termasuk manusia Indonesia.

Menteri Negara Pendayaan Aparatur Negara (Menteri PAN) sedang mengkaji bentuk organisasi Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi untuk restrukturisasi. Dalam kaitan ini perlu kita perhatikan bersama bahwa dampak globalisasi akan membawa pengaruh pada pola pikir global dan perilaku bebas akibat terjadinya transformasi, transfigurasi dan modernisasi di segala bidang.

Kita perlu mengawasi dan mewaspadai perkembangan tersebut, termasuk dampak negatifnya seperti kejahatan money laundering, kejahatan perpajakan, perdagangan kejahatan narkotik, penyelundupan, dan terorisme.

Meningkatnya kejahatan internasional dan kejahatan transnasional, seperti perdagangan anak-anak dan wanita, kejahatan internasional yang terorganisasi, itu semua perlu diantisipasi sebagai akibat dari perkembangan transformasi (perubahan rupa) dan transfigurasi (perubahan bentuk). Terjadi pula modernisasi dalam melakukan kejahatan, termasuk alat serta modus operandi tindak kejahatannya yang lebih canggih.

Implikasi yang lebih luas dari globalisasi, transfigurasi dan modernisasi adalah pudarnya sekatan ideologi, politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya, sehingga hubungan antarmanusia, warga, dan bangsa menjadi lebih terbuka dan transparan.

Menghadapi dan mengamati perkembangan itu semua, maka saya berpendapat kajian Menteri PAN tentang restrukturisasi keimigrasian adalah tidak tepat. Yang diperlukan dan yang lebih penting adalah reposisi imigrasi sebagai penjaga pintu depan kedaulatan bangsa.

Posisi keimigrasian seperti sekarang ini dan kalau itu yang masih dipertahankan dalam kajian Menteri PAN, maka akan tergilaslah keimigrasian dalam arus perkembangan dunia.

Keimigrasian yang fungsinya mengatur lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia, menjaga tegaknya kedaulatan negara, pengawasan keberadaan dan kegiatan orang asing dalam wilayah Republik Indonesia, memerlukan reposisi, bahkan transposisi bentuk organisasinya.

Keimigrasian tidak mungkin dipertahankan lagi keberadaannya di bawah birokrasi pemerintahan, tapi harus langsung di bawah presiden. Kebebasan bergerak dan kelincahan operasional keimigrasian hanya dapat diwujudkan apabila dibentuk Badan Keimigrasian yang posisinya di bawah presiden. Ada Badan Keimigrasian di tingkat pusat dan Badan Keimigrasian di tingkat daerah. Setelah diputuskan posisinya, perlu diadakan upaya reorientasi, fungsi, dan peranan keimigrasian. Karena keimigrasian juga menjadi anggota Intelligence Community, maka antara Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Keimigrasian Pusat terdapat hubungan kerja sama yang erat.

Keimigrasian yang keberadaannya sekarang ini masih di bawah birokrasi pemerintahan, menurut pendapat saya adalah bagaikan kata peribahasa katak di bawah tempurung.

Apa yang ditemukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bidang keimigrasian di Kuala Lumpur seperti adanya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum Imigrasi adalah 'penyakit kambuhan' (endemi pungli). Yang perlu dijaga adalah jangan sampai endemi tersebut menjadi epidemi yang menjalar dan menular di jajaran keimigrasian di lain tempat. Karena itu, siapa pun yang diserahi tanggung jawab di bidang keimigrasian harus menerapkan apa yang saya sebut manajemen operasional atau manajemen lapangan.

Seorang pimpinan atau manajer tidak hanya terpaku duduk di kursi di pusat, tetapi juga terjun ke lapangan. Dengan cara demikian, maka diharapkan dapat dicegah secara dini kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan aparat di lapangan dalam melaksanakan tugasnya. Ada kalanya alasan keterbatasan sarana dan prasarana, aparat di daerah cenderung 'membijaksanakan' kebijaksanaan.

Keimigrasian sudah saatnya diberi Freis Ermessen untuk berkiprah di luar 'tempurung' dengan moto kerja meningkatkan pelayanan, tanpa minta dilayani.

Ismail Saleh, mantan Menteri Kehakiman

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 17 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan