Saat Sidang Kasus Kredit Macet Mandiri; Neloe Lebih Banyak Menunduk

Kasus kredit bermasalah Bank Mandiri yang menjerat para top eksekutif bank BUMN terbesar itu kemarin mulai disidangkan di PN Jakarta Selatan.

Tiga terdakwa yang dihadirkan pada sidang perdana itu adalah mantan Dirut Bank Mandiri ECW Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan.

Mereka diadili bersamaan dalam perkara pengucuran kredit bermasalah ke PT Cipta Graha Nusantara (CGN) Rp 160 miliar. Selain Neloe dkk, ada tiga tersangka dari PT CGN yang diberkas terpisah. Mereka adalah Dirut Edyson, Komisaris Utama Saiful Anwar alias Ng Kim Seng, dan Direktur Diman Ponijan. Baik Neloe dkk maupun Edyson dkk ditahan di Rutan Kejagung.

Persidangan yang dibuka pukul 10.30 di Ruang Garuda itu berlangsung lancar. Neloe dan dua koleganya mengenakan kemeja putih berdasi dan tampak percaya diri. Tapi, Neloe tampak paling serius dibanding dua koleganya. Seluruh isi dakwaan diikuti dengan saksama. Setiap ada poin penting langsung ditandai spidol merah. Saking seriusnya, Neloe tak sempat menengok ke kursi pengunjung.

Hanya sesekali dia melirik ke arah kursi belasan para pengacaranya. Di barisan itu, tampak pengacara senior seperti O.C. Kaligis dan LLM Samosir. Maklum, bankir kelahiran Makassar itu lebih banyak menunduk saat mengikuti pembacaan dakwaan.

JPU silih berganti membaca surat dakwaan setebal 82 halaman itu. Terdakwa memerintahkan saksi Fachruddin Yasin agar permohonan kredit investasi diproses dengan pemberian kredit bridging loan senilai Rp 160 miliar. Padahal, saat itu belum ada nota analisis kredit, jelas JPU Andi Darmawangsa. Fachruddin adalah group head corporate relationship management Bank BNI.

Menurut JPU, para terdakwa tidak mempunyai data dan informasi akurat tentang agunan CBG dalam bentuk hak tagih milik PT Tahta Medan (TM) yang akan diperoleh dari PT Manunggal Wiratama (MW). Hak tagih itu belakangan ternyata dikuasai PT Trimanunggal Mandiri Persada (TMMP). Para terdakwa juga tidak menyertakan neraca laba/rugi tiga tahun terakhir milik debitor dan daftar jaminan sebagai syarat pengucuran kredit di atas Rp 1 miliar, bebernya.

Selanjutnya, saat jatuh tempo, pembayaran angsuran pokok triwulan IV/2003 sampai triwulan II/2005 senilai USD 6,3 juta ternyata hanya bisa dilunasi USD 150 ribu. Praktis, yang tidak dibayar USD 6,150 juta atau setara dengan Rp 58,425 miliar.

Edyson lantas mengajukan permohonan pengalihan utang (novasi kredit) seluruh kredit PT CGN USD 18,5 juta ke Bank Mandiri. Dan, hal tersebut disetujui untuk penggunaan refinancing pembiayaan fix aset Hotel Tiara Medan, Tiara Convention Centre, dan penyelesaian Tiara Tower. Semua dengan jaminan aset yang hendak dibiayai, tiga rumah, dan beberapa jaminan tambahan.

Tetapi, renovasi tersebut menimbulkan permasalahan karena tidak dilaksanakan dengan baik. Debitor juga tidak merenovasi bangunan hotel lama. Demikian juga keharusan penyerahan self refinancing Rp 22,5 miliar untuk men-take over saham yang dimiliki Dana Pensiun Bank Mandiri, jelas JPU. Dan, gilirannya, negara dirugikan USD 18,5 juta atau setara dengan Rp 160 miliar.

Bagaimana tanggapan terdakwa? Neloe dalam eksepsinya membeberkan bahwa pemberian kredit ke PT CGN merupakan perintah jabatan dan perintah undang-undang. Dasarnya LoI (letter of intent) antara RI dan IMF (International Monetary Fund) 16 Maret 1999 dan 14 Mei 1999 tentang program restrukturisasi perbankan, bahwa Bank Mandiri harus solvent dan clean balance sheet, kata O.C. Kaligis.

Dari aspek bisnis, lanjut Kaligis, pemberian kredit bertujuan menghindari kerugian Bank Mandiri. Yakni, berupa kerugian investasi Rp 27,5 miliar dan reputation risk USD 31 juta. (agm/yon)

Sumber: Jawa Pos, 11 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan