Ruwetnya Pembalakan Haram di Papua

Laporan The Last Frontier dari Telapak dan EIA (2005) mengenai pembalakan haram di Papua tampaknya benar-benar sakti. Laporan yang menyebutkan bahwa 300 ribuan meter kubik kayu merbau dipanen dan diekspor secara haram setiap bulannya itu telah membuat pemerintah Republik Indonesia menggerakkan aparatnya untuk membereskan masalah itu.

Miliaran rupiah dicurahkan untuk Operasi Hutan Lestari II yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal Ismerda Lebang agar pembalakan haram dapat dihentikan serta kekayaan negara dan masyarakat dapat diselamatkan. Selasa (8/3) lalu Lebang mengungkapkan bahwa pembalakan haram di Papua didasarkan atas 131 izin pemanfaatan kayu masyarakat adat (IPK-MA) yang selama ini dikeluarkan oleh otoritas setempat. Tulisan ini hendak mengungkapkan bahwa permasalahan dasar hukum pembalakan haram di Papua sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada sekadar IPK-MA.

Secara umum, ada dua izin yang bisa dipergunakan untuk menebang pohon untuk kepentingan komersial, yaitu hak pengusahaan hutan (HPH) dan izin pemanfaatan kayu (IPK). Selain itu, ada bentuk khusus sebagai penghormatan terhadap masyarakat adat, yaitu hak pemungutan hasil hutan masyarakat hutan adat atau HPHH-MHA. Selama ini, di Papua dikenal juga bentuk izin yang lain, yaitu IPK-MA dan izin pemanfaatan kayu rakyat (IPK-R). Untuk kepentingan nonkomersial (keperluan sendiri, tidak dijual) terdapat izin pemanfaatan hasil hutan atau IPHH.

IPK, sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 538/Kpts-II/1999 (SK 538), adalah izin untuk melaksanakan penebangan dan penggunaan kayu dari wilayah hutan yang telah dilepaskan atau pada areal penggunaan lain untuk keperluan pembangunan hutan tanaman atau keperluan nonkehutanan (Pasal 1). Dalam pasal yang sama juga dijelaskan bahwa IPK hanya dapat diberikan apabila suatu wilayah hutan telah ditetapkan beralih statusnya atau ditunjuk ataupun ditetapkan untuk pinjam pakai di keperluan nonkehutanan.

Pasal 2 dari SK 538 menyebutkan bahwa IPK merupakan kelanjutan dari proses pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan atau pencadangan untuk penggunaan lain (pembangunan nonkehutanan atau pembangunan hutan tanaman). Pasal ini memberi pengertian bahwa wilayah yang dapat diberi IPK haruslah yang sedang atau telah menyelesaikan proses pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai. Kewenangan untuk menetapkan alih status lahan tersebut ada di tangan Menteri Kehutanan. Masalah legalitas biasanya timbul karena IPK diberikan oleh otoritas di daerah, bukan pada kawasan sebagaimana yang telah ditentukan serta tanpa persetujuan Menteri Kehutanan.

Seiring dengan dikeluarkannya UU Otonomi dan lebih khususnya lagi UU Otonomi Khusus Papua, terbuka peluang lebih besar bagi masyarakat lokal dan adat Papua untuk dapat berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya. Dalam semangat otonomi khusus ini sempat dikenal bentuk perizinan khusus untuk memotong dan memanfaatkan kayu bagi masyarakat adat.

Salah satu bentuk izin yang dikenal adalah IPK-MA berdasarkan SK Gubernur Provinsi Papua Nomor 522.2/3386/SET Tahun 2002 serta Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor Kep. 522.1/1648 Tahun 2002. IPK-MA tersebut didefinisikan sebagai izin untuk memungut hasil hutan kayu dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan dalam surat izin pada hutan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Selain IPK-MA, ada bentuk IPK-R yang didasarkan pada SK Dinas Kehutanan Provinsi Papua Nomor 522.5/1401 yang diterbitkan pada 2001.

Sesuai dengan pemahaman mengenai tata susunan peraturan perundang-undangan, idealnya setiap produk perizinan haruslah berasal dari kewenangan suatu institusi yang diberikan oleh institusi yang lebih tinggi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini yang masih belum secara tegas terlihat dalam kedua proses izin tersebut.

Dalam hal perizinan kehutanan di Provinsi Papua, terdapat dua sumber hukum yang menjadi acuan bagi kewenangan serta produk hukum turunannya, yaitu Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 serta undang-undang yang berkenaan dengan otonomi, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan/atau Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua.

Dalam Undang-Undang Kehutanan, kewenangan dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam kehutanan berada di Departemen Kehutanan dan akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, baik berupa peraturan pemerintah maupun surat keputusan Menteri Kehutanan. Kewenangan pemerintah daerah dalam pemanfaatan kekayaan alam akan dijabarkan juga dalam peraturan pelaksana tersebut.

Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus Papua, walaupun kewenangan menetapkan kebijakan umum di bidang kehutanan tetap berada di Departemen Kehutanan, pemerintah daerah diberi hak serta kewenangan khusus berdasarkan suatu proses yang telah disepakati dan ditetapkan oleh UU Otonomi Khusus Papua tersebut.

Menyangkut pelaksanaan lebih lanjut kebijakan pemerintah di daerah perlu dibentuk suatu peraturan daerah provinsi yang terkait. Sementara itu, guna kepentingan implementasi kewenangan khusus yang diberikan oleh UU Otonomi Khusus Papua, peraturan daerah khusus harus dibentuk sesuai dengan prosedur dan tata cara yang telah disepakati. Dalam hal pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat, kewenangan terkait perlu dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah khusus di tingkat Provinsi Papua. Persyaratan ini tidaklah mudah untuk dipenuhi.

Menteri Kehutanan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 327/Kpts-II/1999 (SK 327) memang memberikan kepada masyarakat adat suatu hak untuk menebang, mengangkut, dan menjual kayu, yaitu apa yang dikenal dengan HPHH-MHA. Namun, apakah IPK-MA dan IPK-R tersebut termasuk dalam lingkup SK 327 merupakan suatu hal yang harus mendapat konfirmasi lebih lanjut dari Departemen Kehutanan? Sebab, lingkup perizinan dalam SK 327 sangat tertentu dan terbatas, dengan IPK-MA atau IPK-R tidak pernah disinggung, serta sifat HPHH-MHA yang kolektif sangatlah berbeda dengan IPK-MA dan IPK-R yang dapat diberikan kepada individu. Lebih lanjut, sesungguhnya SK Menteri Kehutanan Nomor 541/Kpts-II/2002 telah menarik kembali kewenangan pemerintah daerah tersebut sejak 1 Maret 2002.

Izin pemungutan hasil hutan (IPHH) merupakan bentuk izin yang sah sebagaimana yang termuat dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 6886/KPTS-II/2002 (SK 6886). Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan izin ini, yaitu batasan kebutuhan maksimum 20 meter kubik untuk jangka waktu selama-lamanya satu tahun (Pasal 7 ayat 1 SK 6886), dan tujuan untuk kepentingan pemakaian sendiri dan/atau fasilitas umum serta tidak untuk diperdagangkan (Pasal 8 ayat 1 SK 6886). Pada kenyataannya, batasan kubikasi ataupun tujuan nonkomersial ini juga kerap dilanggar, dan tentu saja hasil tebangannya kemudian menjadi tidak legal.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa masalah legalitas IPK-MA boleh jadi merupakan puncak gunung es saja dari seluruh permasalahan kehutanan di Papua. Ketiga bentuk peraturan yang lain kerap dilanggar atau dibuat dengan cacat hukum, juga pelanggaran terhadap ketentuan pemanenan oleh HPH. Belum lagi, kemungkinan besar banyaknya pembalakan haram yang sama sekali tidak berpura-pura berlindung di balik ketentuan hukum tertentu. Apabila masalah ini benar-benar hendak dituntaskan, segala modus operandi itu haruslah diselidiki dan dibongkar terlebih dulu.

Lebih penting dari itu semua adalah bagaimana menjamin bahwa masyarakat Papua dapat menikmati kekayaan alamnya secara lestari dengan tidak melanggar hukum di tingkat daerah ataupun nasional. Sudah terlalu lama saudara kita di ujung timur itu menderita oleh eksploitasi yang dilakukan pihak lain. Kiranya inisiatif seperti pengelolaan hutan berbasis masyarakat perlu kembali dikuatkan, sebelum kita benar-benar kehilangan last frontier untuk selamanya.(Jalal, Penilai Bidang Sosial Keberlanjutan Hutan, Pengajar Ekologi Sosial FISIP, Universitas Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 15 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan