RUU Tipikor; Pemerintah Tidak Punya Konsep dan Komitmen

Masyarakat harus aktif mengawasi pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menarik draf RUU itu dari Sekretariat Negara menunjukkan, pemerintah tidak punya konsep dan komitmen yang jelas dalam pemberantasan korupsi.

Demikian disampaikan Sarifuddin Sudding, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hanura, Senin (4/4) di Jakarta. ”Untung saja pencabutan dilakukan saat draf masih ada di pemerintah. Jika draf yang dibuat pemerintah itu sampai dikirimkan ke DPR, bisa-bisa DPR yang dituding melakukan pelemahan pemberantasan korupsi,” tutur Sudding.

Sudding menegaskan, DPR dalam posisi menunggu draf RUU dari pemerintah. DPR belum punya sikap terkait RUU tersebut.

Meski demikian, Saan Mustopa, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, meminta masyarakat terus mengawal pembahasan RUU tersebut dari awal hingga akhir. Tekanan harus terus dilakukan agar RUU itu sesuai dengan harapan, yaitu bisa memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sementara itu, Aziz Syamsuddin, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, justru menyesalkan penarikan kembali RUU tersebut oleh pemerintah. Langkah itu akan menghambat perubahan RUU lain, seperti RUU KUHP. ”Jika ingin direvisi, nanti saja ketika pembahasan,” ucapnya.

Kemarin di Jakarta, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan, KPK siap memberikan masukan untuk menyempurnakan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diharapkan, draf UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai revisi atas UU No 31/1999 akan makin memperkuat upaya pemberantasan korupsi, bukan mengendurkannya.

Busyro menyatakan menghargai langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menarik kembali draf UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) setelah menuai banyak kritik. ”Setelah draf ditarik, mari kita duduk bersama. Jika diajak, KPK siap memberikan masukan,” katanya.

Busyro menjelaskan, korupsi sudah merupakan tindakan kriminal luar biasa sehingga perlu dibentuk lembaga luar biasa seperti KPK. Keluarbiasaan itu terwujud dalam bentuk kewenangan yang kuat. Kalau kewenangan itu dicopot, misalnya kewenangan penyidikan dan penuntutan, berarti langkah itu tak sesuai dengan semangat awal pembentukan KPK.

”Sebaiknya kewenangan penuntutan dan penyidikan oleh KPK itu tetap dipertahankan,” katanya.

Menurut Busyro, korupsi sekarang makin canggih. Tak hanya dalam bentuk penggelapan uang, tetapi juga berupa kebijakan politik. Bentuknya bisa berupa rancangan besar yang menguntungkan sekelompok penguasa dan memiskinkan rakyat. Korupsi semacam ini harus dikontrol dan dihentikan.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Febri Diansyah, kemarin, mengatakan, mutlak diperlukan pelibatan publik dalam memperbaiki UU Tipikor.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra mengatakan, ”Yang penting sekarang adalah jangan sampai revisi UU Tipikor ini menjadi monopoli sendiri oleh pemerintah.”

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto mengatakan, belum saatnya penuntutan atas pidana korupsi diserahkan kepada kejaksaan. Alasannya soal kepercayaan terhadap institusi itu. (nwo/ray/iam/bil)
Sumber: Kompas, 5 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan