RUU Rahasia Negara; Upaya Balikkan Pendulum Sejarah?
Setahun lebih sedikit, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara di tingkat rapat kerja antara Komisi I DPR dan pemerintah, dalam hal ini dipenjurui Departemen Pertahanan, dinyatakan selesai pada Kamis, 25 Juni lalu.
Saat menutup raker pembahasan terakhir tersebut, Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Theo L Sambuaga menyatakan, kedua pihak telah menggelar proses pembahasan bersama sejak 15 Mei 2008 atas 286 poin Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN).
Pembahasan digelar setelah sekitar tiga bulan sebelumnya Komisi I mengembalikan RUU RN ke pemerintah untuk diperbaiki dan kemudian disinkronisasikan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang ketika itu baru saja disahkan.
Theo menyebutkan, sejumlah poin DIM RUU RN disepakati dibawa ke tingkat pembahasan di panitia kerja (panja) yang diketuai Guntur Sasono dari Fraksi Partai Demokrat.
Sejumlah poin yang dibawa ke panja itu, antara lain, poin ke-24 dan ke-25 tentang Lembaga Negara dan Lembaga Negara Pembuat Rahasia Negara serta poin ke-222 hingga ke-231 tentang Pengelolaan Rahasia Negara yang meliputi lima pasal (Pasal 30-Pasal 34).
Dalam raker pembahasan RUU RN pada 23 Juni 2008, baik pemerintah maupun Komisi I sepakat mengedrop poin ke-176 hingga ke-201 DIM RUU RN, meliputi Pasal 21-25 tentang Badan Pertimbangan Kebijakan Rahasia Negara (BPKRN).
Pertimbangannya, keberadaan badan baru dinilai hanya akan semakin menambah beban bagi pemerintah, baik pekerjaan maupun alokasi anggaran. Saat rapat, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sepakat menghilangkan keberadaan badan baru tersebut.
Komisi I menilai positif keputusan itu. Namun, tak kurang sejumlah kalangan mencurigai langkah tersebut diambil terutama untuk mempercepat proses pembahasan RUU RN yang sejak awal memicu kontroversi dan penolakan sejumlah pihak.
Kontroversi terkait RUU RN tersebut dikhawatirkan hanya akan memunculkan kembali rezim pemerintahan seperti pada masa lalu yang tertutup dan serba rahasia.
Pada satu sisi, ketakutan yang muncul bisa diterjemahkan sebagai masih kentalnya trauma dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah diyakini beritikad tidak baik ingin mengembalikan pendulum sejarah balik ke masa lalu saat pemerintahan masih dijalankan secara represif, otoriter, dan serba rahasia.
Ketakutan, kekhawatiran, serta kecemasan adalah bentuk ketidakpercayaan masyarakat dan memang beralasan, apalagi jika melihat konsekuensi hukuman pidana yang diatur dalam RUU RN itu.
Dalam Bab IX RUU Rahasia Negara, atau meliputi delapan pasal (Pasal 42-49), diatur ketentuan pidana yang beragam, mulai dari ancaman pidana penjara lima tahun sampai maksimal 20 tahun dalam situasi normal atau bahkan hukuman mati dalam kondisi perang.
Sedangkan ketentuan pidana denda yang dapat dijatuhkan juga bervariasi mulai dari denda sebesar Rp 250 juta hingga Rp 100 miliar. Semua bentuk pemidanaan tadi, baik hukuman penjara maupun denda, tidak hanya dapat dikenakan terhadap individu, tetapi juga pada korporasi.
Dalam Pasal 1 Ayat 7 RUU RN disebutkan, korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Untuk pelanggar korporasi, dalam dua ayat di Pasal 49 disebutkan, pidana pokok berbentuk pidana benda senilai Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar, ditambah menjadikan korporasi berada di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.
Kekhawatiran atas keberadaan RUU RN dan ketakutan pemerintah serta Komisi I melakukan kesepakatan tahu sama tahu atau kongkalikong untuk mempercepat proses pembahasan dan kemudian segera mengesahkannya pada masa ”injury time” akhir periode kerja pemerintah dan DPR periode 2004-2009 dibantah oleh pemerintah.
”Enggak ada itu injury time, memangnya sepak bola. Tidak ada juga kaitannya antara RUU RN dan kekhawatiran bakal mengganggu upaya pemberantasan korupsi, penegakan HAM, atau kebebasan pers. Aturan itu dibuat justru untuk mencegah penyalahgunaan aparat pemerintah dalam menetapkan sesuatu sebagai rahasia negara,” ujar Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.
Menurut Juwono, banyak orang selama ini salah persepsi dan diperparah lagi dengan perilaku sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dinilainya gemar mempersoalkan dan melebih-lebihkan sejumlah isu tadi.
Dalam sejumlah kesempatan, mereka yang tergabung dan menamakan diri Aliansi Masyarakat Menolak Rezim Kerahasiaan dan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melakukan ”road show” menemui Dewan Pertimbangan Presiden dan Komisi I.
Sejumlah perwakilan LSM diterima Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution beserta jajarannya (Kompas, 2/7), yang berjanji akan menyampaikan masukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Permintaan para perwakilan LSM tadi jelas, proses pembahasan RUU RN dihentikan atau ditunda untuk kemudian diserahkan kepada DPR dan pemerintahan periode mendatang. Dengan begitu diyakini akan ada cukup waktu membahas RUU yang terbilang pelik dan sensitif tersebut.
Sehari kemudian, para anggota LSM itu mendatangi Komisi I untuk meminta dengar pendapat. Awalnya acara itu juga akan diikuti empat anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mengaku juga ikut diundang.
Sayangnya, hanya sejumlah anggota LSM saja yang kemudian diterima dalam audiensi dengan Komisi I, sementara keempat komisioner Komnas HAM, yaitu Ifdhal Kasim (Ketua), Ridha Saleh, Yosep Adi Prasetyo, dan Nurkholis, memilih pergi setelah dua jam menunggu tanpa kepastian.
Walau mengaku kecewa gagal ditemui Komisi I, Ifdhal menegaskan, proses pembahasan RUU RN lebih baik ditunda. Menurut dia, jangan sampai terjadi lagi kasus seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, yang sempat terancam pidana karena dianggap melanggar UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ifdhal juga menegaskan, akibat terlalu banyaknya pembatasan yang diatur dalam RUU RN, peran dan kewenangan Komnas HAM pun dapat terancam. Dia mencontohkan terkait aturan soal masa retensi sesuatu yang dikategorikan rahasia negara.
”Bagaimana kami bisa mengakses informasi tertentu untuk kewenangan penyelidikan kami dalam kasus pelanggaran HAM berat apalagi jika dikategorikan rahasia negara dengan masa retensi sampai puluhan tahun. Tanpa RUU RN saja kami kesulitan mengakses dokumen publik,” ujar Ifdhal.
Tidak hanya memicu keprihatinan dan kekhawatiran di kalangan pemerhati isu reformasi sektor keamanan dan kebebasan pers, keberadaan RUU RN juga mengundang keprihatinan kalangan pengamat ekonomi.
Menurut pakar sekaligus dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, sektor perekonomian dan ketahanan ekonomi suatu bangsa akan sangat terjamin jika keberadaan rezim kebebasan informasi mengikutinya dan bukan malah rezim kerahasiaan.
”Justru yang membahayakan jika terjadi yang namanya informasi asimetris (asymetric information) akibat terlalu banyak hal dirahasiakan. Artinya, semakin besar akses informasi yang diberikan kepada para pelaku ekonomi, akan semakin besar pula ketahanan ekonomi negara itu,” ujar Faisal.
Dalam RUU RN terdapat sejumlah pasal yang mengatur informasi atau dokumen tertentu yang bisa dimasukkan dalam kategori rahasia negara.
Faisal juga mempertanyakan bagaimana jika aturan RUU RN malah disalahgunakan untuk menutup-nutupi kontrak atau kesepakatan bermasalah dengan perusahaan asing, terutama terkait dengan eksploitasi sumber daya alam (SDA) Indonesia.
Padahal, tambah Faisal, dalam ketentuan internasional Extractive Industry Transparency Initiative (EITI), terdapat jaminan seluruh perusahaan pertambangan di dunia wajib secara transparan mengumumkan besaran dana yang mereka berikan ke negara tempat eksploitasi SDA dilakukan.
”Begitu juga negara yang bersangkutan, pemerintahnya juga harus transparan mengumumkan berapa uang yang diterima. Indonesia sudah setuju dengan inisiatif itu, tapi kok sekarang malah mau ditutup dengan RUU RN? Perilaku seperti itu berisiko memunculkan abused of power,” ujar Faisal.[Oleh Wisnu Dewabrata]
Sumber: Kompas, 7 Juli 2009