RUU Perlindungan Saksi Masuk Prioritas DPR
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi termasuk satu dari 55 RUU yang menjadi prioritas pembahasan DPR dan pemerintah selama 2005. Ketua Badan Legislasi DPR A.S. Hikam mengatakan, penentuan prioritas RUU yang akan dibahas tahun ini merupakan persetujuan atas Program Legislasi Nasional DPR.
Kami sudah mempersiapkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai RUU usulan Dewan, kata Hikam dalam lokakarya UU Perlindungan Saksi di Jakarta kemarin.
Hikam menjelaskan, pokok-pokok pikiran dalam RUU usulan DPR itu mendasarkan kehadiran saksi dan korban sebagai salah satu alat bukti menjadi penentu kelancaran proses peradilan. Sebab itu, kata dia, dibutuhkan perlindungan bagi para saksi dan korban. Selama ini, kata dia, penegak hukum kurang memperhatikan hal ini.
Pembicara lain dalam lokakarya, Romli Atmasasmita, berpandangan, RUU Perlindungan Saksi belum memberikan proteksi hukum terutama pada kejahatan-kejahatan terorganisasi seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, pencucian uang, terorisme, dan perjudian. RUU versi DPR ini, kata dia, menekankan kesaksian menjadi unsur penting dalam pemeriksaan pidana. Sebab itu, RUU ini belum menyentuh inti persoalan perlindungan saksi itu sendiri, ujarnya.
Menurut pakar hukum internasional ini, kesaksian mestinya dipanang sebagai hak dan bukan kewajiban. Ia berargumen, jika saksi diwajibkan bersaksi, maka tak akan muncul partisipasi.
Pengamat hukum Universitas Indonesia Rudi Satryo yang ikut merancang RUU Perlindungan Saksi versi Koalisi Perlindungan Saksi sependapat dengan Romli. Menurut dia, selama belum ada perlindungan bagi saksi, sebisa mungkin dibatasi kehadiran saksi di persidangan. Pada akhirnya, kata dia, akan hilang kehadiran saksi di persidangan dengan adanya kemajuan teknologi. Misalnya bisa dengan telekonferensi atau keterangan tertulis, kata dia.
Rudi memaparkan, hak-hak yang diperlukan saksi dan pelapor dalam RUU itu adalah hak atas perlindungan keamanan fisik, keamanan psikologis, mendapatkan informasi atas kelanjutan kesaksiannya, mendapatkan informasi kegunaan kesaksiannya, hak dibebaskan dari terpidana, hak mendapatkan identitas baru, mendapatkan bantuan hukum, mendapatkan ganti biaya transportasi, dan hak mendapatkan bantuan medis. Terutama jika dia adalah korbannya, ujarnya. istiqomatul hayati
Sumber: Koran Tempo, 2 Maret 2005